Akhir-akhir ini, kepada kita sering disajikan pergelaran putri-putri ayu yang sedang berlenggang-lenggok di pentas memperagakan kebolehannya sesuai dengan maksud pergelaran itu diadakan. Kalau yang diperagakan keindahan tubuhnya, gelar putri ayu yang digunakan. Tapi, apa pun juga gelar yang diberikan, penilaiannya toh sama saja: muka yang harus ayu, lenggang lenggok yang harus luwes, tubuh semampai, dan pintar senyum ke kanan dan ke kiri. Gelar ratu kebaya pun tidak lepas dari penilaian yang sama. Kebaya hanya satu istilah yang membedakan pemilihan satu dengan yang lain. Selanjutnya, ada usaha untuk menampilkan ratu ayu Indonesia ke dunia internasional, agar gengsi kita di dunia internasional bisa bertambah. Supaya masyarakat luar negeri tahu bahwa Indonesia tidak hanya mengekspor TKW saja, melainkan juga bisa mengirimkan wanita cantik yang dipulas dengan gelar ratu ayu Indonesia. Yang sangat memprihatinkan saya, mengapa kita seolah-olah berlomba memamerkan keayuan dan tubuh putri kita. Mengapa? Padahal, kita tahu itu bukan kebudayaan Indonesia. Seharusnya, kebudayaan asing kita saring lebih dulu, baru kita budayakan di masyarakat kita, tapi di pihak lain ada yang getol menjebolnya. Mereka mencampuradukkan modernisasi dengan westernisasi, sehingga sangat dikhawatirkan segala yang datang dari dunia Barat dinilai baik semua karena takut dikatakan kuno. Nah, kita masih cukup waktu untuk memikirkan kembali pengiriman ratu ayu ke perlombaan ratu sejagad. IBU ROCHIMAH Z.A Jalan K.H. Wahid Hasyim Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini