Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia
@mpujayaprema
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Impian Sinuhun Toto Santoso Hadiningrat bersama Fanni Aminadia untuk mendamaikan dunia lewat pendirian Keraton Agung Sejagat di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, kandas sudah. Padahal prosesi deklarasi keraton itu perlu persiapan yang butuh waktu dan biaya. Belum seminggu usia keraton, Raja dan Permaisuri ditangkap polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masyarakat geger, begitu media menulis. Tadinya saya terbahak-bahak karena ini lelucon yang bagus. Jujur saya akui, lelucon ini mampu melupakan kasus penyegelan yang tertunda di kantor PDI Perjuangan, lupa juga dengan Jiwasraya dan Asabri yang merugikan negara triliunan rupiah. Kenapa polisi begitu cepat menangkap Raja Toto dan lambat menemukan Harun Masiku, penyuap Wahyu Setiawan? Polisi pun begitu cepat menggeledah keraton, pasti tak membutuhkan izin dewan pengawas.
Saya lalu menjadi serius. Bukankah orang yang mengangkat dirinya sebagai raja dan mengaitkan dengan Kerajaan Majapahit bukan cuma Toto Santoso? Suatu hari saya ke Museum Majapahit di Trowulan. Petugas museum membisiki saya, ada Raja Majapahit baru, tak jauh letaknya. "Itu di seberang danau," kata dia. Karena dekat dengan museum, saya pun menyambangi "istana" Majapahit Baru ini. "Istana" itu penuh dengan pernak-pernik yang katanya mirip apa yang ada pada era Majapahit. Saya bertemu dengan Sang Raja, bersalaman, mengobrol ala kadarnya, dan mencari beberapa alasan untuk bisa meninggalkan tempat itu.
Di Bali juga ada Raja Majapahit Baru. Ketika dia mengumumkan diri sebagai raja, 31 Desember 2009, usianya tergolong muda. Sang raja memakai sebutan Abhiseka Raja Majapahit Bali Sri Wilatikta Tegeh Kori Kresna Kepakisan XIX. Saya tak paham artinya, tapi sejak awal saya tak ingin berkomentar perihal ini. Sang raja itu adalah Arya Wedakarna.
Apakah salah jika seseorang mengangkat dirinya sebagai raja? Apakah salah kerajaan yang pernah ada di Nusantara mencoba bangkit kembali? Meskipun atas nama melestarikan keratonnya sebagai pusat budaya? Para "pemilik keraton" sudah lama mempersatukan dirinya. Ada organisasi bernama Forum Silaturahmi Keraton Nusantara, yang saat ini diketuai Pangeran Arif Natadiningrat, Sultan Sepuh Cirebon. Setiap tahun festival budaya keraton diselenggarakan dengan meriah. Lalu ada Yayasan Raja dan Sultan Nusantara, dengan ketua umumnya Sultan Mahmud Iskandar Badarudin. Yayasan ini mendirikan Majelis Cendekiawan Keraton Nusantara pada 26 Desember 2017 dengan Ketua Umum Prof Dr M. Asdar. Kegiatannya berupa seminar-seminar yang berkaitan dengan budaya keraton.
Saya tak ingin mempersoalkan apakah ini dilakukan untuk membangkitkan feodalisme. Saya hanya ingin memberikan informasi bahwa mereka, pewaris keraton dan raja atau sultan itu, punya ahli waris yang bisa fanatik pula. Arya Weda dikecam kalangan berpendidikan di Bali atau minimal banyak yang cuek seperti saya. Namun gayanya sebagai raja masa lalu, termasuk membangun Istana Mancawarna tak jauh dari Istana Presiden Tampaksiring, membuat orang perdesaan senang. Dia terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Bali pada pemilu yang lalu dengan suara paling tinggi.
Kenapa Toto Santoso ditangkap? Karena dia penipu. Dia menarik iuran dari anggotanya serta memberikan janji palsu. Omongannya pun bernuansa politis. Adapun keraton yang mau eksis ini berfokus pada masalah budaya. Mungkin pemerintah perlu melirik mereka, mengapresiasi pelestarian budaya masa lalu. Jadi, jika ada warga bangsa yang rindu pada suasana kerajaan dan bosan dengan tingkah pemimpin kekinian, mereka tidak diambil raja penipu semacam Toto Santoso.