UNDANGAN ke seminar atau kongres: untuk apa gerangan? Sebuah tas
seminar, pin nama peserta, makan siang, makanan kecil, paper
gratis dan kesempatan luas untuk ketemu kawan lama dan kawan
baru. Sepintas lalu kongres dan seminar bagaikan model suatu
intermezo: libur kantor, banyak bicara, pikir sedikit dan
extra-fasilitas.
Dengan adanya kongres Bahasa Indonesia III (28 Oktober 3
Nopember 1978) gambaran seperti itu ambruk.
Fasilitas? Memang ada. Tempat seminar tak kurang dari Ruang Bali
Hotel Indonesia Sheraton.
Tetapi, maaf, makan siang tak disiapkan. Akomodasi lain harus
ditanggung sendiri. Selain penulis kertas-kerja dan beberapa
undangan khusus, para peserta diharuskan membayar Rp 7.500.
Berdasarkan pembayaran itu seorang boleh mengikuti diskusi
selama seminar, mendapat pin nama, diberi sebuah "tas direktur",
berhak memperoleh kertas-kerja di samping boleh mencicipi
makanan kecil yang disediakan.
Tiba-tiba terasa pertemuan yang bersifat serius seperti kongres
dan seminar ilrniah sebetulnya bukanlah barang gratis. Untuk
dapat mendengar pertukaran-pendapat dalam seminar, orang harus
bayar "karcis masuk" seperti layaknya kalau ke bioskop. Kenapa
tidak?
Bioskop memang beri rekreasi dan hiburan. Tetapi sebuah seminar
dan kongres yang baik dapat juga beri hiburan tertentu yang lain
jenis dan kwalitasnya. Orang yang sumpek pemikirannya bisa dapat
hawa pemikiran baru di sana. Yang ingin menyatakan dan menguji
pendapatnya, bisa dapat tempat dan lawan-bicara di sana.
Setelah membayar uang kongres, perasaan pun jadi lain. Seperti
lain pula perasaan kalau bayar uang langganan Intisari atau
dapat majalah gratis. Yang gratis-gratis rasanya mirip barang
loakan.
***
Hal yang mungkin merepotkan dan sering juga tak memuaskan adalah
segi organisasi suatu kongres atau seminar. Terlambatnya
kedatangan pembicara, kebingungan para peserta karena kebanyakan
waktu kosong, tidak tegasnya panitia dalam mengatur waktubicara,
cara pembahagian kertas-kerja yang awutan - semua itu adalah
beberapa kejanggalan organisasi yang jamak terjadi dalam
berbagai seminar di Jakarta selama ini.
Kongres Bahasa Indonesia III boleh dikata rapi. Anda perlu
kertas-kerja? Silakan menunjuk daftar kertas-kerja kepada para
petugas. Anda akan segera mendapat paper yang diperlukan.
Petugas akan mencoret nomor kertas kerja yang baru dibagikan,
sehingga dengan mudah ketahuan kertas-kerja yang belum anda
punyai.
Ketertiban waktu dalam kongres ini rasanya boleh disebut juga.
Para pembawa kertas-kerja praktis mulai dan berhenti pada
waktunya. Demikian pun diskusi kelompok berjalan lancar.
Ruangan, acara, jam, pembicara -- semuanya tercatat dalam buku
pedoman kongres. Setiap perobahan akan langsung diumumkan oleh
Ketua Panitia Penyelenggara sehari sebelumnya.
***
Mungkin perlu diceritakan bahwa peserta kongres (dari dalam dan
luar negeri) semuanya berjumlah kira-kira 400 orang. Mereka
terbagi dalam lima kelompok: Masing-masingnya: Bahasa dan
Pendidikan, Bahasa dan Komunikasi, Bahasa dan Kesenian, Bahasa
dan Linguistik, Bahasa dan Ilmu & Teknologi.
Mengesankan bahwa dari profesi manapun seorang berasal, hak dan
kesempatan sama terbuka untuk tiap peserta. Terasa di situ bahwa
dalam suatu kongres nasional untuk bahasa Inonesia, masalah
bahasa bukan lagi hanya perkara ahli ilmu bahasa .
Bahasa Indonesia yang hingga kini dikenal sebagai bahasa
persatuan, kini memperlihatkan wajah lain. Ia dimasalahkan
kemampuannya sebagai suatu alat untuk berbagai sektor profesi,
suatu sarana yang dibutuhkan oleh berbagai bidang keahlian.
Bahasa tampil sebagai suatu teknologi yang paling dasar dan
utama.
***
Terus-terang, mustahil mengharapkan munculnya banyak karya-emas
dari 50 kertas-kerja.
Sayang bahwa dalam kongres ilmiah yang sangat terhormat ini,
masih nongol juga pembahasan yang tak memperlihatkan kesungguhan
mencari soal yang lebih substansil.
Hal lain yang menyangkut representasi geografis para peserta,
tak dapat pula dikatakan sempurna. Ada peserta dari Irian Jaya
misalnya, tetapi tak seorang peserta pun dari NTT. Padahal
pemakaian bahasa Indonesia di daerah ini memperlihatkan beberapa
ciri tersendiri yang unik, khususnya dalam struktur kalimat yang
digunakan.
Apalagi kedudukan bahasa Indonesia di daerah ini sangat penting
sebagai alat komunikasi antar-penduduk. Di sana terdapat amat
banyak bahasa daerah, tanpa ada satu bahasa daerah yang besar
dan dominan seperti bahasa Jawa dan Sunda. Di pulau Flores
misalnya, tiap-tiap dari ke 5 kabupaten yang ada di sana
mempunyai bahasa daerah sendiri, belum terhitung variasi
dialek-dialek masing-masing bahasa tersebut.
***
Pemilihan tempat kongres di sebuah hotel bertaraf internasional
-- Hotel Indonesia Sheraton Jakarta -- memberi kesan tersendiri
pula. Bahasa Indonesia secara tanpa sengaja diberi "status
sosial" yang amat tinggi. Maklumlah bukan rahasia lagi, kalau
anda menelepon sebuah hotel besar di Jakarta dengan memakai
bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka pelayanannya akan
kurang cepat. Bicaralah bahasa asing sekenanya saja, anda pasti
dapat pelayanan yang amat segera.
Dalam kongres, orang seperti Dr. Soedjatmoko telah pula
mensinyalir kecenderungan untuk menganggap dan memperlakukan
bahasa Indonesia sebagai bahasa kelas-dua. Di kalangan pergaulan
antar-elite bahasa Inggris mulai mendapat pasaran. Bahasa asing
ini juga telah jadi alat ampuh untuk menerobos ke lapisan sosial
yang lebih atas, dan memungkinkan seseorang bergerak mengikuti
mobilitas vertikal.
Patut dicatat anjuran kongres agar supaya kemahiran berbahasa
Indonesia dijadikan salah satu prasyarat keprofesian dan
kepegawaian, baik dalam sektor pemerintah maupun dalam sektor
swasta. Dianjurkan pula agar prasyarat tersebut diatur dengan
suatu perundang-undangan.
Mungkin anjuran itu cukup beralasan. Dibandingkan dengan
tuntutan akan kemahiran bahasa Inggeris sebagai prasyarat
keprofesian, perhatian dan kewajiban yang berhubungan dengan
kemahiran berbahasa Indonesia boleh dikata masih nol besar.
***
Masalah praktis pada akhirnya adalah: apakah apresiasi yang
dicita-citakan terhadap bahasa Indonesia sudah mulai tercermin
dalam sikap bahasa dan perilaku bahasa selama kongres
berlangsung?
Sepintas lalu apresiasi itu terasa. Dalam kertas acara dan buku
pedoman kongres, tak sekali pun kita bertemu dengan Bali Room.
Selalu tertulis "Ruang Bali".
Dan jika anda ingin mendengar orang bicara bahasa Indonesia
dengan benar, tepat dan nikmat, maka dalam kongres ini
kesempatan itu ada, walaupun amat sedikit. Prof. Dr. Amran
Halim, Ketua Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa serta Ketua
Panitia Penyelenggara Kongres, adalah tokoh yang sikap bahasa
dan perilaku bahasanya dapat dijadikan teladan. Dengan struktur
yang tak pernah patah, lagu kalimatnya yang mantap, dengan lafal
yang bersih dan jelas, bahasa Indonesia yang digunakannya terasa
anggun, pantas dan punya martabat.
Tokoh ini pula yang menjadi "dalang" utama seluruh kongres yang
penuh gairah ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini