Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kesan-kesan non-bahasa dari ...

Kongres bahasa indonesia iii berlangsung di hotel indonesia, menunjukkan bahwa bahasa indonesia diberi status sosial tinggi. hanya amran halim, ketua penyelenggara yang berbahasa baik dan benar.

25 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNDANGAN ke seminar atau kongres: untuk apa gerangan? Sebuah tas seminar, pin nama peserta, makan siang, makanan kecil, paper gratis dan kesempatan luas untuk ketemu kawan lama dan kawan baru. Sepintas lalu kongres dan seminar bagaikan model suatu intermezo: libur kantor, banyak bicara, pikir sedikit dan extra-fasilitas. Dengan adanya kongres Bahasa Indonesia III (28 Oktober 3 Nopember 1978) gambaran seperti itu ambruk. Fasilitas? Memang ada. Tempat seminar tak kurang dari Ruang Bali Hotel Indonesia Sheraton. Tetapi, maaf, makan siang tak disiapkan. Akomodasi lain harus ditanggung sendiri. Selain penulis kertas-kerja dan beberapa undangan khusus, para peserta diharuskan membayar Rp 7.500. Berdasarkan pembayaran itu seorang boleh mengikuti diskusi selama seminar, mendapat pin nama, diberi sebuah "tas direktur", berhak memperoleh kertas-kerja di samping boleh mencicipi makanan kecil yang disediakan. Tiba-tiba terasa pertemuan yang bersifat serius seperti kongres dan seminar ilrniah sebetulnya bukanlah barang gratis. Untuk dapat mendengar pertukaran-pendapat dalam seminar, orang harus bayar "karcis masuk" seperti layaknya kalau ke bioskop. Kenapa tidak? Bioskop memang beri rekreasi dan hiburan. Tetapi sebuah seminar dan kongres yang baik dapat juga beri hiburan tertentu yang lain jenis dan kwalitasnya. Orang yang sumpek pemikirannya bisa dapat hawa pemikiran baru di sana. Yang ingin menyatakan dan menguji pendapatnya, bisa dapat tempat dan lawan-bicara di sana. Setelah membayar uang kongres, perasaan pun jadi lain. Seperti lain pula perasaan kalau bayar uang langganan Intisari atau dapat majalah gratis. Yang gratis-gratis rasanya mirip barang loakan. *** Hal yang mungkin merepotkan dan sering juga tak memuaskan adalah segi organisasi suatu kongres atau seminar. Terlambatnya kedatangan pembicara, kebingungan para peserta karena kebanyakan waktu kosong, tidak tegasnya panitia dalam mengatur waktubicara, cara pembahagian kertas-kerja yang awutan - semua itu adalah beberapa kejanggalan organisasi yang jamak terjadi dalam berbagai seminar di Jakarta selama ini. Kongres Bahasa Indonesia III boleh dikata rapi. Anda perlu kertas-kerja? Silakan menunjuk daftar kertas-kerja kepada para petugas. Anda akan segera mendapat paper yang diperlukan. Petugas akan mencoret nomor kertas kerja yang baru dibagikan, sehingga dengan mudah ketahuan kertas-kerja yang belum anda punyai. Ketertiban waktu dalam kongres ini rasanya boleh disebut juga. Para pembawa kertas-kerja praktis mulai dan berhenti pada waktunya. Demikian pun diskusi kelompok berjalan lancar. Ruangan, acara, jam, pembicara -- semuanya tercatat dalam buku pedoman kongres. Setiap perobahan akan langsung diumumkan oleh Ketua Panitia Penyelenggara sehari sebelumnya. *** Mungkin perlu diceritakan bahwa peserta kongres (dari dalam dan luar negeri) semuanya berjumlah kira-kira 400 orang. Mereka terbagi dalam lima kelompok: Masing-masingnya: Bahasa dan Pendidikan, Bahasa dan Komunikasi, Bahasa dan Kesenian, Bahasa dan Linguistik, Bahasa dan Ilmu & Teknologi. Mengesankan bahwa dari profesi manapun seorang berasal, hak dan kesempatan sama terbuka untuk tiap peserta. Terasa di situ bahwa dalam suatu kongres nasional untuk bahasa Inonesia, masalah bahasa bukan lagi hanya perkara ahli ilmu bahasa . Bahasa Indonesia yang hingga kini dikenal sebagai bahasa persatuan, kini memperlihatkan wajah lain. Ia dimasalahkan kemampuannya sebagai suatu alat untuk berbagai sektor profesi, suatu sarana yang dibutuhkan oleh berbagai bidang keahlian. Bahasa tampil sebagai suatu teknologi yang paling dasar dan utama. *** Terus-terang, mustahil mengharapkan munculnya banyak karya-emas dari 50 kertas-kerja. Sayang bahwa dalam kongres ilmiah yang sangat terhormat ini, masih nongol juga pembahasan yang tak memperlihatkan kesungguhan mencari soal yang lebih substansil. Hal lain yang menyangkut representasi geografis para peserta, tak dapat pula dikatakan sempurna. Ada peserta dari Irian Jaya misalnya, tetapi tak seorang peserta pun dari NTT. Padahal pemakaian bahasa Indonesia di daerah ini memperlihatkan beberapa ciri tersendiri yang unik, khususnya dalam struktur kalimat yang digunakan. Apalagi kedudukan bahasa Indonesia di daerah ini sangat penting sebagai alat komunikasi antar-penduduk. Di sana terdapat amat banyak bahasa daerah, tanpa ada satu bahasa daerah yang besar dan dominan seperti bahasa Jawa dan Sunda. Di pulau Flores misalnya, tiap-tiap dari ke 5 kabupaten yang ada di sana mempunyai bahasa daerah sendiri, belum terhitung variasi dialek-dialek masing-masing bahasa tersebut. *** Pemilihan tempat kongres di sebuah hotel bertaraf internasional -- Hotel Indonesia Sheraton Jakarta -- memberi kesan tersendiri pula. Bahasa Indonesia secara tanpa sengaja diberi "status sosial" yang amat tinggi. Maklumlah bukan rahasia lagi, kalau anda menelepon sebuah hotel besar di Jakarta dengan memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka pelayanannya akan kurang cepat. Bicaralah bahasa asing sekenanya saja, anda pasti dapat pelayanan yang amat segera. Dalam kongres, orang seperti Dr. Soedjatmoko telah pula mensinyalir kecenderungan untuk menganggap dan memperlakukan bahasa Indonesia sebagai bahasa kelas-dua. Di kalangan pergaulan antar-elite bahasa Inggris mulai mendapat pasaran. Bahasa asing ini juga telah jadi alat ampuh untuk menerobos ke lapisan sosial yang lebih atas, dan memungkinkan seseorang bergerak mengikuti mobilitas vertikal. Patut dicatat anjuran kongres agar supaya kemahiran berbahasa Indonesia dijadikan salah satu prasyarat keprofesian dan kepegawaian, baik dalam sektor pemerintah maupun dalam sektor swasta. Dianjurkan pula agar prasyarat tersebut diatur dengan suatu perundang-undangan. Mungkin anjuran itu cukup beralasan. Dibandingkan dengan tuntutan akan kemahiran bahasa Inggeris sebagai prasyarat keprofesian, perhatian dan kewajiban yang berhubungan dengan kemahiran berbahasa Indonesia boleh dikata masih nol besar. *** Masalah praktis pada akhirnya adalah: apakah apresiasi yang dicita-citakan terhadap bahasa Indonesia sudah mulai tercermin dalam sikap bahasa dan perilaku bahasa selama kongres berlangsung? Sepintas lalu apresiasi itu terasa. Dalam kertas acara dan buku pedoman kongres, tak sekali pun kita bertemu dengan Bali Room. Selalu tertulis "Ruang Bali". Dan jika anda ingin mendengar orang bicara bahasa Indonesia dengan benar, tepat dan nikmat, maka dalam kongres ini kesempatan itu ada, walaupun amat sedikit. Prof. Dr. Amran Halim, Ketua Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa serta Ketua Panitia Penyelenggara Kongres, adalah tokoh yang sikap bahasa dan perilaku bahasanya dapat dijadikan teladan. Dengan struktur yang tak pernah patah, lagu kalimatnya yang mantap, dengan lafal yang bersih dan jelas, bahasa Indonesia yang digunakannya terasa anggun, pantas dan punya martabat. Tokoh ini pula yang menjadi "dalang" utama seluruh kongres yang penuh gairah ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus