BEL GEDUWEL BEH
Karya & Sutradara: Danarto
Produksi: Teater Tanpa Penonton
INI memang pementasan kolosal, sampai hampir 4 jam, dengan
lebih dari 100 orang pemain. Dimulai dengan arak-arakan
pengantin lelaki, yang berpakaian pengantin Jawa, Yoso Kartubi
(Sjaeful Anwar), dari depan Teater Tertutup terus merambat ke
plasa Teater Terbuka, ke pintu gerbang Taman Ismail Marzuki
melingkar lewat Teater Besar, kemudian masuk ke Teater Arena --
tempat pementasan Bel Geduwel Beh berlangsung. Arak-arakan itu
diiringi gending Kebo Giro, yang dibawakan oleh para penabuh
dari TIM yang memasang gamelannya di plasa Teater Arena.
Sementara itu di arena Teater Arena telah menunggu pengantin
perempuan, duduk di kursi pengantin yang sandarannya berbentuk
gunungan. Acara mempertemukan mempelai pun berlangsung -- sembah
kepada orangtua dan mertua, menginjak telur ayam dan kemudian
sambutan-sambutan -- yang batal. Karena sihir dari pengantin
lelaki, mereka yang ingin memberikan sambutan kehilangan
suaranya. Pengantin lelaki ingin menasihati dirinya sendiri.
Dari adegan itulah kemudian cerita bertolak. Mempelai lalu masuk
ke dalam kamar (adegan disuguhkan dengan cara menurunkan kotak
besar berkerangka kayu dan berdinding kain dari atas arena
menutup kedua mempelai). Dan ketika kotak diangkat lagi, kedua
mempelai itu telah berseragam serdadu, bertopi sombrero,
berselempang sabuk peluru dan menyandang dua pistol.
Dengan cara itu, Danarto ingin menceritakan bahwa kedua mempelai
di Republik Tegal tersebut telah melakukan perebutan kekuasaan.
Dan kemudian menyatakan diri sebagai diktator.
Tapi BGB tak selesai di situ. Itu baru awal dari sebuah cerita
yang panjang. Karena kediktatorannya kemudian dirasakan oleh
para jenderalnya membahayakan mereka, Kartubi hendak mereka
bunuh. Si diktator ternyata mencium maksud itu. Maka
dicarinyalah orang yang mirip dia, untuk dinobatkan sebagai
dirinya, alias Kartubi palsu -- untuk dijadikan sasaran
pembunuhan.
Bawahan Kartubi yang menemukan Mustapha Lenong (Sutopo HS),
seorang petani, yang mirip Kartubi, menemui kesulitan sedikit.
Mustapha bersedia dijadikan Kartubi palsu asal disogok 40 juta
dollar (mungkin dia tahu, kalau harga tukar dollar akan naik).
Beres.
Cuma rencana Kartubi tidak berakhir sebagaimana dibayangkannya.
Si Mustapha bukan petani biasa. Ia mampu mengalahkan para
jenderal dan gerilya kota yang mencoba hendak membunuhnya.
Bahkan ketika Kartubi asli, jengkel karena Mustapha berbuat
semaunya dan membahayakan kekuasaannya, dan ia menantang perang
tanding dengan pistol, ia kalah. Duel pistol ala koboi itu,
diselesaikan Mustapha hanya lewat cermin kecil yang dipegangnya
-- ia menembak Kartubi dengan masih tetap membelakangi Kartubi.
Sesudah itu Mustapha kembali menjadi petani. Kekuasaan
diserahkan kepada para pendeta bersenjata -- mereka ini bekas
serdadu Republik Tegal juga yang kebetulan saat itu menerobos
masuk istana hendak membunuh diktatornya. Tapi Mustapha tidak
lantas pergi begitu saja. Ia meninggalkan pesan: kalau terjadi
kekacauan lagi, dia, si Mustapha, tentu akan muncul kembali dan
memusnahkan biangnya.
Dengan dukungan para pemain yang lumayan -- yang menonjol ialah
Bambang BS, Gandung, Joko, Sjaeful dan Sutopo -- drama yang
banyak banyolannya ini sedikit terangkat pementasannya. Dan
menurut Danarto memang "naskah dan pementasan ini milik pemain."
Adapun gaya pementasan yang sulit disebut warnanya atau jenisnya
itu, lebih kurang begini: Ada pemecahan bingkai tempat
pertunjukan, ada adegan hukuman mati massal, ada
banyolan-banyolan, ada layar kuning bergambar petruk, ada musik
klasik Barat, gamelan Jawa, gamelan Bali dan dengan kostum
serdadu bersombrero dan suara-suard pistol yang menyarankan
suasana revolusi di Amerika Latin. Belum jelas benar gaya apa.
Tapi ini memang hasil penyutradaraan Danarto yang pertama.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini