Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

S.t.a: dengan tema besar

Pengarang: sutan takdir alisyahbana jakarta: dian rakyat, 1978.

25 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAH dan MENANG Roman oleh: S. Takdir Alisjahbana Penerbit: Dian Rakyat, 486 h., 21 x 14 cm, Jakarta, 23 Oktober 1978 BELUM pernah ada sebuah roman Indonesia yang mengambil tema sebesar dan seluas roman Soetan Takdir Alisjahbana Kalah dan Menang. Dan Roman itu memuat sejumlah tokoh bersejarah yang benar-benar ada, meski ditransmutasikan memakai nama-nama lain. Tapi janganlah beranggapan, bahwa kebesaran tema menjamin kebesaran sebuah roman. Salah-salah buatan itu berarti "mengambil terlalu banyak rumput kering pada garpu" - seperti kata orang Belanda -- dan akibatnya banyak yang tercecer, berantakan. Memang "di dalam pembatasan dirilah letaknya keempuan," seperti kata von Schiller. S.T.A. melukiskan jaman pendudukan Jepang, permulaan revolusi Indonesia di Jawa dan perang Pasifik, istimewa pertempuran di Laut Jawa dan tiga bulan terakhir perang di Jepang. Semua tema itu masing-masing sudah raksasa, tapi ia ingin menyarukannya menjadi sesuatu yang super-kolosal 'a la Cecile B. de Mille dari Hollywood. Risikonya: tidak ada pemfokusan yang melahirkan intensitas pelukisan manusia-manusianya gambaran menjadi buyar dan buram. Dramatik lolos dari lubang-lubang jala. Dua Dunia Sesungguhnya Kalah dan Menang yang diberi dua anak judul, Fajar Menyingsing di bawah Mega Mendung dan Patahnya Pedang Samurai, terdiri dari tiga buah roman. S.T.A. menggabungkannya menjadi sebuah roman dengan kesatuan babak masa sejarah sebagai perekat. Tentu saja di sana-sini diusahakan adanya titik singgung. Tapi titik singgung itu tidak cukup untuk menjadi perekat yang memadukan ketiga roman itu menjadi suatu kesatuan organik. Masalah tokoh Lien dalam novel ini adalah masalah seorang wanita di perbatasan antara dua buah dunia yang lama telah lenyap dan yang baru yang tak mampu lahir. Masalah tokoh Hidayat adalah masalah seorang patriot, demokrat, anti-fasis, liberal, moderat, pemuja-Barat. Ia hendak lari keluar dari kulit siput masalampau bangsanya, yang gejolak semanat tempurnya mereka saksikan dengan penuh kengerian dan kecurigaan. Dan masalah tokoh lain, Katsu hiko Okura, adalah masalah pertikaian anak dan bapak, karena runtuhnya dunia mitos kaum samurai Jepang melihat kemahaunggulan Jepang dihancur leburkan oleh teknologi industri, organisasi dan bom-atom Amerika Serikatser ta klimaksnya serbuan Soviet. Kesadarannya mengenai keruntuhan kemahaunggulan Jepang menghancurkan tata nilai tradisionil Jepang. Kekuatan dan kelemahan S.T.A tak beruhah sejak Layar Terkembang (1937), melalui Grotta Azura (cetakan I 1970, cetakan II 1978) sampai kepada Kalah dan menang. Ia selalu hendak terlalu banyak memberi gambaran latar belakang sosio-historik kepada ceritanya. Roman-romannya menjadi bahan telaah sosiologi dan sejarah yang penting, tapi juga telah beralih menjadi sekumpulan esei yang saling mengulang. Tokoh-tokohnya hanya menjadi corong bicaranya, sukar dicari kontras dan nuansa watak yang melukiskan eksistensi pribadi yang mendiri. Di dalam Kalah dan Menang ini Hidayat, Kartini, Junaidi, Elizabeth, bahkan Rokayah, adalah S.T.A. sendiri di dalam aneka-ragam penampilannya. Dengan demikian kita digoda untuk bertanya apakah beda hakiki antara roman sebagai genre sastera dengan reportase? Yang pertama seharusnya menghadirkan kembali tokoh-tokoh secara subjektif-kongkrit. Yang kedua biasanya memberikan suatu laporan (representasi) yang objektif-abstrak mengenai orang dan peristiwa. Sebuah roman adalah pengungkapan emosionil pengalaman manusia, bukan pemaparan gagasan-gagasan yang saling mengulang. Dialog panjang pada S.T.A. jarang melukiskan gerak jiwa sang tokoh, hingga menimbulkan kesan khotbah pastor, pendeta atau khatib. Di dalam keadaan demikian ulangan banyak terjadi. S.T.A. kadang-kadang mengabaikan detail. 'Batavia' telah dinyatakan menjadi kota terbuka pada tanggal 5 Maret 1942 dan Jepang telah memasukinya 6 Maret, bukan 9 Maret seperti ditulisnya. Belanda menyerah kepada Jepang 8 Maret 1942, bukan 9 Maret 1942. Pangkat panglima Hindia-Belanda Herman ter Poorten ketika menyerah kepada Jepang belumlah letnan jenderal, melainkan baru jenderal mayor. Kita bertanya-tanya tentang idiosinkrasi S.T. A.: ulet menjadi ulat, ruwet menjadi ruwat, sumber menjadi sumbar, bahkan salem (=zalm, salmon) menjadi salam, ap(p)el menjadi apal. Ketakutan kepada pepet (pepet-fobia) ini pada S. T.A. telah berlebihan. Ulat, ruwat, sumbar punya arti lain, yakni ulat, tahbis, omong besar menantang. Kalau mau menghindari pepet mengapa tidak gigih dan rumit untuk ulat dan ruwat? Dan mengenai pelukisan sanggama sampai detail kadang-kadang saya ingin bertanya: Apakah ia kemaruk membayar penasaran yang belum lunas karena pada masa mudanya tak memperoleh peluang melukiskannya di dalam roman? Atau mau berguru kepada Alberto Moravia, penulis A Woman of Rome? Maaf, saya hanya sekadar menumpang bertanya! S.I. Poeradisastra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus