KALAH dan MENANG
Roman oleh: S. Takdir Alisjahbana
Penerbit: Dian Rakyat, 486 h., 21 x 14 cm, Jakarta,
23 Oktober 1978
BELUM pernah ada sebuah roman Indonesia yang mengambil tema
sebesar dan seluas roman Soetan Takdir Alisjahbana Kalah dan
Menang. Dan Roman itu memuat sejumlah tokoh bersejarah yang
benar-benar ada, meski ditransmutasikan memakai nama-nama lain.
Tapi janganlah beranggapan, bahwa kebesaran tema menjamin
kebesaran sebuah roman. Salah-salah buatan itu berarti
"mengambil terlalu banyak rumput kering pada garpu" - seperti
kata orang Belanda -- dan akibatnya banyak yang tercecer,
berantakan. Memang "di dalam pembatasan dirilah letaknya
keempuan," seperti kata von Schiller.
S.T.A. melukiskan jaman pendudukan Jepang, permulaan revolusi
Indonesia di Jawa dan perang Pasifik, istimewa pertempuran di
Laut Jawa dan tiga bulan terakhir perang di Jepang. Semua tema
itu masing-masing sudah raksasa, tapi ia ingin menyarukannya
menjadi sesuatu yang super-kolosal 'a la Cecile B. de Mille dari
Hollywood. Risikonya: tidak ada pemfokusan yang melahirkan
intensitas pelukisan manusia-manusianya gambaran menjadi buyar
dan buram. Dramatik lolos dari lubang-lubang jala.
Dua Dunia
Sesungguhnya Kalah dan Menang yang diberi dua anak judul, Fajar
Menyingsing di bawah Mega Mendung dan Patahnya Pedang Samurai,
terdiri dari tiga buah roman. S.T.A. menggabungkannya menjadi
sebuah roman dengan kesatuan babak masa sejarah sebagai perekat.
Tentu saja di sana-sini diusahakan adanya titik singgung. Tapi
titik singgung itu tidak cukup untuk menjadi perekat yang
memadukan ketiga roman itu menjadi suatu kesatuan organik.
Masalah tokoh Lien dalam novel ini adalah masalah seorang wanita
di perbatasan antara dua buah dunia yang lama telah lenyap dan
yang baru yang tak mampu lahir. Masalah tokoh Hidayat adalah
masalah seorang patriot, demokrat, anti-fasis, liberal, moderat,
pemuja-Barat. Ia hendak lari keluar dari kulit siput masalampau
bangsanya, yang gejolak semanat tempurnya mereka saksikan
dengan penuh kengerian dan kecurigaan. Dan masalah tokoh lain,
Katsu hiko Okura, adalah masalah pertikaian anak dan bapak,
karena runtuhnya dunia mitos kaum samurai Jepang melihat
kemahaunggulan Jepang dihancur leburkan oleh teknologi industri,
organisasi dan bom-atom Amerika Serikatser ta klimaksnya serbuan
Soviet. Kesadarannya mengenai keruntuhan kemahaunggulan Jepang
menghancurkan tata nilai tradisionil Jepang.
Kekuatan dan kelemahan S.T.A tak beruhah sejak Layar
Terkembang (1937), melalui Grotta Azura (cetakan I 1970,
cetakan II 1978) sampai kepada Kalah dan menang. Ia selalu
hendak terlalu banyak memberi gambaran latar belakang
sosio-historik kepada ceritanya. Roman-romannya menjadi bahan
telaah sosiologi dan sejarah yang penting, tapi juga telah
beralih menjadi sekumpulan esei yang saling mengulang.
Tokoh-tokohnya hanya menjadi corong bicaranya, sukar dicari
kontras dan nuansa watak yang melukiskan eksistensi pribadi yang
mendiri.
Di dalam Kalah dan Menang ini Hidayat, Kartini, Junaidi,
Elizabeth, bahkan Rokayah, adalah S.T.A. sendiri di dalam
aneka-ragam penampilannya. Dengan demikian kita digoda untuk
bertanya apakah beda hakiki antara roman sebagai genre sastera
dengan reportase? Yang pertama seharusnya menghadirkan kembali
tokoh-tokoh secara subjektif-kongkrit. Yang kedua biasanya
memberikan suatu laporan (representasi) yang objektif-abstrak
mengenai orang dan peristiwa. Sebuah roman adalah pengungkapan
emosionil pengalaman manusia, bukan pemaparan gagasan-gagasan
yang saling mengulang.
Dialog panjang pada S.T.A. jarang melukiskan gerak jiwa sang
tokoh, hingga menimbulkan kesan khotbah pastor, pendeta atau
khatib. Di dalam keadaan demikian ulangan banyak terjadi.
S.T.A. kadang-kadang mengabaikan detail. 'Batavia' telah
dinyatakan menjadi kota terbuka pada tanggal 5 Maret 1942 dan
Jepang telah memasukinya 6 Maret, bukan 9 Maret seperti
ditulisnya. Belanda menyerah kepada Jepang 8 Maret 1942, bukan 9
Maret 1942. Pangkat panglima Hindia-Belanda Herman ter Poorten
ketika menyerah kepada Jepang belumlah letnan jenderal,
melainkan baru jenderal mayor. Kita bertanya-tanya tentang
idiosinkrasi S.T.
A.: ulet menjadi ulat, ruwet menjadi ruwat, sumber menjadi
sumbar, bahkan salem (=zalm, salmon) menjadi salam, ap(p)el
menjadi apal. Ketakutan kepada pepet (pepet-fobia) ini pada S.
T.A. telah berlebihan. Ulat, ruwat, sumbar punya arti lain,
yakni ulat, tahbis, omong besar menantang. Kalau mau menghindari
pepet mengapa tidak gigih dan rumit untuk ulat dan ruwat?
Dan mengenai pelukisan sanggama sampai detail kadang-kadang saya
ingin bertanya: Apakah ia kemaruk membayar penasaran yang belum
lunas karena pada masa mudanya tak memperoleh peluang
melukiskannya di dalam roman? Atau mau berguru kepada Alberto
Moravia, penulis A Woman of Rome?
Maaf, saya hanya sekadar menumpang bertanya!
S.I. Poeradisastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini