Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Semen Gula Dan Semen Telur

Teknik memugar atau menyusun batu bangunan kuno tanpa menggunakan semen, kini dipakai pula dalam bangunan baru di Kompleks Museum Majapahit di Trowulan, Jawa Timur.

25 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEKERJAAN pugar-memugar candi tak cuma bermanfaat untuk mengawetkan sisa dari masa lalu. Bahwa itu juga berguna untuk bangunan masa kini, ir. H. Maclaine-Pont telah membuktikannya ketika bertugas membangun Museum Majapahit di desa Trowulan, dekat Mojokerto, Jawa Timur. Orang asing ini sebelumnya cukup lama mempelajari arsitektur dan teknik konstruksi bangunan kuno, khususnya candi-candi corak Jawa Timur. Hasil riset lapangannya itu kemudian dituangkannya dalam bangunan masa kini di kompleks Museum Majapahit tersebut. Ada satu keistimewaan pada candi Jawa Timur ini. Seperti dikemukakan P. Boonekamp C.M. dalam Busos (Juli/Agustus 1978), suatu penerbitan gereja di Surabaya, batu bangunan kuno itu di susun tanpa semen. Ini berlaku baik bagi tembok batu padas maupun batu bata. Lalu, apa yang digunakan sebagai perekat? "Setelah digosok sampai halus dengan campuran air, gula, dan gampin (kapur), batu-batu itu dapat menggigit satu sama lain dengan baik," tulis Boonekamp. Begitulah teknik bangunan batu tanpa semen yang diterapkan Maclaine-Pont dalam proyek museum Trowulan. Selain temboknya dibuat secara tradisional, juga atap Museum Majapahit itu dibikin mengikuti corak asli, yang joglo Jawa Timur. Namun membangui museum saja, belum membuat arsitektur dan teknik konstruksi tradisional itu merakyat kembali. Padahal cita- cita arsitek asing itu adalah: menghidupkan kembali tradisi bangunan lama tanpa mengabaikan tuntutan zaman masa kini. Maka ketika datang tawaran dari seorang pastor desa di Pohsarang, tak jauh dari Kediri untuk membangun gereja dengan teknik yang sama dengan museum Trowulan, Maclaine-Pont tak menunggu lama. Rakyat setempat umat Pastor J. Wolters C.M. itu, diajaknya serta. Selama setahun arsitek itu tinggal di desa Pohsarang, membangun gereja dan bangunan pelengkapnya. Ia sebagian besar menggunakan bahan baku lokal, seperti batu padas, batu bata, keramik, dan kayu. Tanpa semen Cibinong, tentunya. Gereja Pohsarang tersebut dibangun dengan model pendopo, dengan empat soko guru (tiang utama) dan atap melengkung yang ditutupi genteng. Kini, walaupun pemimpin yang antusias seperti ir H. Maclain-Pont dan pastor Wolters itu tak berdiam lagi di sana (keduanya sudah pulang ke negeri asalnya di Eropa), rakyat desa Pohsarang sudah 'menemukan kembali' keahlian nenek moyang mereka dalam hal bangun-membangun gedung. Teknik yang sama, kemungkinan besar telah diterapkan pada Menara Kudus, sebuah peninggalan Islam warisan para wali di Jawa Tengah. Menara bedug inlpun dibuat dari batu bata merah, tanpa semen pabrik. Cuma ada satu masalah: dapatkah 'semen asli' yang terdiri dari gula + gamping yang dicampur dengan air, dapat menggantikan semen pabrik yang juga harus dicampur dengan air, pasir, dan kapur? Tak dijelaskan dalam majalah Busos itu, berapa kwintal gula terpaksa dikorbankan untuk gereja itu. Sebagai bandingan dapat juga dikemukakan teknik membangun tembok bata tanpa semen nun jauh di Aceh. Di tengah kota Banda Aceh, ada kompleks pemandian puteri dan permaisuri dari masa Iskandar Muda (abad ke 17). Bentuknya menyerupai candi, berlabur kapur putih. Batu batanya direkatkan satu sama lain, menurut cerita orang tua-tua, dengan abu dapur yang dicampur telur dan kapur. Entah sudah berapa orang wanita berdarah biru yang mandi di Gunongan itu -- begitu orang Aceh menyebut bangunan tersebut. Dan entah sudah berapa liter air mencoba merembes di selasela batu bata yang hanya ditempelkan dengan campuran abu, telur dan kapur itu. Namun sampai sekarang, bangunan yang sudah berumur tiga abad itu masih berdiri utuh. Mungkin peninggalan sejarah terakhir yang masih menggunakan semen telur hanyalah Mesjid Penyengat, 2 km di luar kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus