Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

SMA Unggulan Garuda untuk Siapa

Proyek SMA Unggulan Garuda dapat memicu kesenjangan kualitas antarsekolah. Bertentangan dengan konstitusi.

 

16 Januari 2025 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Proyek SMA Unggulan Garuda yang dicetuskan Presiden Prabowo Subianto dapat memicu kesenjangan sosial.

  • Konsep sekolah unggulan bertentangan dengan konstitusi yang mewajibkan pemerintah menyediakan pendidikan tanpa membedakan latar belakang.

  • Anggaran sekolah unggulan dapat digunakan untuk meningkatkan kompetensi guru dan kualitas SMA yang sudah ada.

PROYEK SMA Unggulan Garuda yang digagas Presiden Prabowo Subianto bisa memicu kesenjangan sosial di bidang pendidikan. Alih-alih memberikan akses dan kesempatan yang sama kepada semua orang, rencana ini berisiko menghasilkan sitgma kelas dengan menciptakan kesenjangan antara siswa unggulan dan siswa bukan unggulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prabowo meminta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi membangun SMA Unggulan Garuda. Sekolah ini akan dilengkapi dengan fasilitas modern, asrama, dan kurikulum International Baccaulaureate (IB) yang meningkatkan peluang siswanya melanjutkan pendidikan di universitas ternama di luar negeri. Ada 40 sekolah yang akan dibangun dengan anggaran masing-masing Rp 200 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sekolah unggulan seperti ini berisiko membentuk kelompok elitis. Kementerian Pendidikan Tinggi menyebutkan SMA Unggulan Garuda disiapkan sebagai wadah untuk siswa pintar. Mereka terpisah dari anak-anak seusia mereka yang "tidak pintar", yang belajar di sekolah biasa dengan fasilitas kelas dua.

Proyek ini bertentangan dengan konstitusi. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Caranya dengan memastikan semua warga Indonesia punya kesempatan dan akses yang setara ke pendidikan yang berkualitas. Bukan cuma yang pintar atau yang bisa membayar.

Persyaratan pintar itu pun bermasalah. Pemerintah melupakan konsep kecerdasan majemuk yang menyatakan seseorang unggul di bidang yang berbeda-beda. Anak yang jenius di bidang musik, misalnya, bisa ditolak masuk sekolah unggulan karena nilai akademisnya dianggap kurang.

Dalam praktiknya, seleksi berbasis bakat sering kali bias dan menguntungkan anak-anak dari keluarga dengan akses pendidikan yang lebih baik. Anak-anak dari kelompok kurang mampu bisa dianggap tidak berbakat karena parameter seleksi didasarkan pada standar yang bias terhadap budaya dominan. Hasilnya, sekolah elite itu dipenuhi murid berlatar belakang keluarga kaya. Lantas apa bedanya sistem pendidikan kita dengan pendidikan pada masa kolonial Belanda?

Anak yang gagal masuk sekolah unggulan ini akan menggolongkan dirinya sebagai kelompok kelas dua, tidak berbakat, dan terpinggirkan. Sementara itu, mereka yang ada di dalam sekolah itu akan menghadapi tekanan besar dengan statusnya yang serba adiluhung—misalnya, meminjam sebutan dari Kementerian Pendidikan Tinggi, "calon pemimpin bangsa".

Lebih jauh dari itu, proyek SMA Unggulan Garuda juga kontradiktif dengan upaya pemerintah memeratakan kualitas pendidikan lewat sistem zonasi. Meski banyak kekurangan, seperti terjadi pengutan liar dan praktik jual-beli kursi, secara perlahan, program ini mulai berhasil mengangkat pamor sekolah-sekolah yang selama ini dianggap pinggiran. Sebab, anak-anak yang masuk tidak lagi semata mereka yang ditolak di sekolah lain yang dianggap lebih bagus.

Sistem zonasi juga membawa banyak manfaat sampingan. Para siswa tidak perlu kurang tidur karena harus bangun pagi-pagi buta untuk mencapai sekolah favorit yang ada di seberang kota. Orang tua juga tidak perlu jauh-jauh mengantar anak mereka sehingga produktivitas kerja meningkat, dan secara tidak langsung bisa mengurangi kemacetan.

Maka, patut kita pertanyakan, apa yang ingin dicapai Prabowo lewat SMA Unggulan Garuda ini? Jika dia ingin memperbaiki kualitas pendidikan serta menghasilkan siswa yang mampu masuk ke kampus bereputasi dunia di luar negeri, dana Rp 8 triliun itu lebih dari cukup untuk meningkatkan kompetensi guru dan fasilitas SMA yang sudah ada. Anggaran itu juga bisa digunakan untuk membangun sekolah di daerah yang belum memiliki fasilitas pendidikan.

Dengan begitu, manfaat uang negara bisa dirasakan oleh banyak orang. Pendidikan harus memberdayakan semua individu tanpa memandang latar belakang mereka.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus