Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALAU terbiasa berpikir sebatas kulit, siapa pun sulit memecahkan masalah pelik yang berjalinan. Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8/2007 tentang ketertiban umum, yang sekarang masuk tahap sosialisasi, barangkali seketika menghalau pengemis, gelandangan, dan pengasong minggir dari jalan dan tempat umum. Tapi, percayalah, itu hanya sebentar. Kaum tak beruntung itu akan datang lagi, dengan berbagai ”teknik” dan ”taktik” baru. Yang akan terjadi, permainan kucing-kucingan. Bila aparat lengah, mereka datang. Kalau aparat berjaga, mereka menghindar.
Kasus joki di jalur three in one semestinya menjadi pelajaran mereka yang menggagas peraturan daerah yang menyangkut rakyat miskin. Aturan tentang kendaraan pribadi berpenumpang minimal tiga orang di jalur tertentu dilihat golongan tak berpunya sebagai peluang ”bisnis” untuk menjajakan jasa ”tumpangan”. Polisi tentu saja tak senang. Para joki membuat tujuan mengurangi kendaraan pribadi masuk jalur three in one menjadi tak tercapai. Joki pun diburu, ditangkap, dikirim ke tempat ”rehabilitasi”.
Segala indoktrinasi—baca: ”pembinaan”—dilakukan di tempat ”rehabilitasi”. Mereka boleh keluar setelah ”dibina” sekian belas atau puluh hari. Yang sanggup memberikan ”uang tebusan” dibebaskan lebih cepat. Tapi lihatlah Jakarta hari ini. Joki three in one tetap berderet di pinggir jalan utama Jakarta seperti penonton karnaval, pada pagi dan sore hari.
Mereka seperti punya hitung-hitungan sendiri. Biaya membebaskan diri dari tempat ”rehabilitasi” lebih murah ketimbang penghasilan sebagai joki. Kalkulasi nekat begini agaknya didorong oleh suatu keadaan yang memaksa, keadaan yang mengharuskan mereka turun ke jalan dan menentang aturan.
Siapa pun tahu, di balik kenekatan para joki—atau pengemis, pengasong, gelandangan, kelompok mana pun yang miskin—ada satu soal besar: kemiskinan. Membuat peraturan daerah, memberlakukannya dengan kekuatan maksimum, tanpa mengkaji kemiskinan, sama saja dengan terus meninggikan tanggul bendungan tanpa mempedulikan air yang terus datang. Suatu saat bendungan jebol juga.
Peraturan daerah melarang pengemis beroperasi di jalanan. Si pemberi sedekah akan ikut didenda. Alasan perancang peraturan daerah bahwa jalan umum bukan tempat bersedekah memang benar. Kemacetan, bahkan kecelakaan, bisa terjadi. Tapi seorang pejabat Jakarta yang mengatakan kalau mau menyumbang sebaiknya lewat yayasan, mewakili mereka yang berpikir sebatas kulit tadi.
Pemilik kendaraan pribadi, juga anggota masyarakat lain, pasti mau menyumbang untuk pengemis asalkan ada lembaga yang jelas dan kredibel. Pemerintah DKI perlu mendirikan lembaga itu, kemudian menampung sumbangan masyarakat. Lembaga perlu melaporkan penggunaan dana sumbangan kepada penyumbang lewat media massa. Dengan demikian, penyumbang tahu persis, sudah berapa banyak pengemis yang dibantu dan apa saja hasil yang sudah dicapai.
Barangkali cara ini bisa memutus siklus pengemis di Jakarta: Pemerintah DKI menangkapi pengemis setiap kali, mengirimnya pulang ke daerah, tapi setiap kali pula ada rombongan pengemis yang menerobos masuk Ibu Kota. Sebagian dana sumbangan bisa dipakai menciptakan lapangan kerja di daerah untuk si pengemis.
Butuh waktu lama memerangi kemiskinan, tapi bukankah setiap pemerintahan memang berkewajiban melakukannya? Peraturan daerah bisa dibuat, yang menentang bisa ditangkap, tapi sanggupkah menjawab jeritan si miskin, ”Memangnya pemerintah bisa ngasih kerjaan.” (Baca Jreng-jreng-jreng, Lalu Masuk Bui).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo