Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah tentang Lahirnya ”Suharto Inc.”

Time memerlukan empat bulan untuk menurunkan laporan ”Suharto Inc.”. Sejumlah wartawan melacak harta keluarga Cendana di sebelas negara.

17 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari, awal 1999, George Junus Aditjondro kedatangan tamu yang tak dikenalnya. Saat itu George masih berdiam di Callaghan, New South Wales, Australia. Sang tamu khusus terbang dari Jakarta menemuinya, untuk meminta info seputar kekayaan harta mantan presiden Soeharto. Ketika itu, pengajar sosiologi korupsi di Universitas Newcastle ini memang tengah meneliti sistem oligarki yang dibangun Soeharto dan mantan Presiden Filipina, Ferdinand Marcos.

Tamunya itu ternyata koresponden majalah Time di Indonesia, namanya David Liebhold. Tak langsung menganggukkan kepala, George, yang sebelumnya, September 1998, menerbitkan buku From Suharto to Habibie: The Two Leading Corruptors of the New Order, menantang tamunya. ”Kalau saya bantu Time, apa bantuan kalian untuk penelitian saya?” kata George. Liebhold tak memberikan jawaban apa-apa dan memilih balik kanan, pulang.

Selang beberapa pekan kemudian, Liebhold muncul kembali di depan rumah George. Kali ini ia datang tanpa tangan kosong. Warga negara Australia itu menenteng tiga seri buku Direktori Bisnis Indonesia karya Wilson Nababan. Semua diserahkan ke George untuk melengkapi penelitian George tentang kasus korupsi Soeharto dan Timor Timur. ”Akhirnya, terjalinlah kerja sama organik yang paralel antara Time dan saya,” ujar George, 61 tahun, yang sejak 2004 memilih bermukim di Yogyakarta.

Kerja sama Time dengan George merupakan bagian dari majalah tersebut dalam menelusuri kekayaan Soeharto untuk bahan laporan utama (cover story) mereka, yang kemudian diberi judul: ”Suharto Inc.”. Artikel sepanjang 14 halaman yang dimuat di Time Asia edisi 24 Mei 1999 itu mengungkapkan investigasi majalah itu atas harta kekayaan dan dugaan korupsi yang dilakukan Soeharto dan keluarganya ketika Soeharto berkuasa.

Buntut dari laporan inilah yang pekan lalu menjadi berita utama media lokal dan internasional. Mahkamah Agung memenangkan gugatan Soeharto terhadap Time karena munculnya laporan ”Suharto Inc.” itu. Tujuh pihak tergugat dari Time Asia diharuskan membayar Rp 1 triliun serta meminta maaf di sejumlah media cetak, dalam dan luar negeri, selama tiga kali berturut-turut.

Dasar penurunan laporan khusus yang ditulis wartawan Time Amerika Serikat, John Colmey, dan koresponden Time di Indonesia, David Liebhold, ini adalah informasi yang diterima Time tentang dana yang diduga milik Soeharto di Swiss. Time mendapat info, ada transfer dana berjumlah jumbo milik keluarga Cendana dari sebuah bank di Swiss ke bank Austria pada Juli 1998, beberapa saat setelah Soeharto jatuh. Pengalihan dana itu diduga untuk mencari ”perlindungan” lebih aman. Kementerian keuangan Amerika, ketika itu, memberikan perhatian khusus terhadap informasi ini. Bahkan kementerian tersebut melakukan sejumlah penyelidikan diplomatik di Wina, Austria.

Time memerlukan waktu empat bulan untuk menggarap laporan ”Suharto Inc.” ini. Lebih dari sepuluh wartawan, baik dari Indonesia maupun di sejumlah biro di luar Indonesia, dikerahkan untuk mencari, mengumpulkan, dan menulis laporan ini. Mereka antara lain adalah John Colmey, David Liebhold, Zamira Loebis, Jason Tedjasukmana, Lisa Rose Weaver (Jakarta), Laird Harrison (Los Angeles), Isabella Ng (Hong Kong), dan Kate Noble (London).

Proyek peliputan ”Suharto Inc.” dikoordinasi John Colmey, wartawan Time di Amerika Serikat yang khusus terbang dan tinggal di Indonesia selama empat bulan untuk mengerjakan ”proyek Soeharto” ini. Belakangan, karena dinilai sukses memimpin proyek ini, Colmey ”naik pangkat”. Ia dipromosikan sebagai kepala biro Time di Hong Kong. Colmey sendiri kini tak lagi bekerja untuk Time.

Dalam laporan utama ini, disebutkan harta keluarga Soeharto mencapai US$ 15 miliar (atau Rp 141,7 triliun), yang tersebar di 564 perusahaan. Penemuan jumlah harta fantastis ini didapat setelah Time melakukan penelusuran di 11 negara.

Di Indonesia Time mengumpulkan data tersebut dengan mendatangi berbagai sumber, baik perorangan maupun instansi. Di antaranya Badan Pertanahan Nasional, Pertamina, redaksi majalah Properti Indonesia, sejumlah yayasan milik Soeharto seperti Dharmais dan Supersemar, serta Indonesia Corruption Watch (ICW).

Adapun di luar negeri, salah satu yang didatangi Time adalah ranch untuk berburu di kawasan Mill Ride Golf Club, Selandia Baru, seharga US$ 4 juta (sekitar Rp 37 miliar) milik Hutomo Mandala Putra alias Tommy, putra bungsu Soeharto. ”Saya sendiri sempat ke sana dan sempat diusir petugas keamanan,” ujar George. Sejumlah properti milik keluarga Cendana di Amerika Serikat, Eropa, dan sejumlah negara Asia lainnya yang diduga milik keluarga Cendana juga didatangi Time.

Koresponden Time di berbagai negara memang berhasil ”menemukan” sejumlah properti yang diduga milik keluarga Soeharto. Tapi di Indonesia, tim investigasi Time ini tak bisa ”menembus” Soeharto dan anak-anaknya. Mereka hanya bisa mendapatkan pernyataan lewat pengacara keluarga Soeharto, yakni Otto Cornelis Kaligis dan Juan Felix Tampubolon.

Tak hanya sulit mewawancarai keluarga Cendana, Time juga mengalami kesulitan memaksa membuka mulut narasumber penting di Indonesia yang berhubungan dengan penegakan hukum kasus Soeharto. Salah satu narasumber penting yang nyaris tak bisa ditembus adalah Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib. ”Jika bukan karena perintah Presiden Habibie,” demikian Time menulis, ”Ghalib tak akan memberikan waktu untuk wawancara.”

Laporan Time memang mengejutkan banyak pihak, termasuk keluarga Soeharto. Menurut George Junus Aditjondro, setelah laporan ini putra-putri Soeharto kemudian melepaskan aset-aset mereka di luar negeri. Salah satunya adalah kawasan wisata buru di New Zealand milik Tommy tersebut. Aset yang awalnya ditawarkan US$ 10 juta per meter persegi itu kemudian dilepas US$ 1 juta per meter persegi. Menurut George, ia juga pernah mengunjungi rumah Sigit Harjojudanto di London dengan cara menyamar. Ternyata rumah tersebut, ujarnya, sedang dalam tahap ditawarkan untuk dijual.

Anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi menilai artikel ”Suharto Inc.” yang disajikan Time merupakan bentuk laporan investigasi yang telah memenuhi kaidah jurnalistik. ”Memiliki tingkat akurasi tinggi dan bisa dipercaya,” ujarnya. Pemberitaan tersebut, kata Abdullah, merupakan bagian dari fungsi pengawasan sosial pers untuk mengungkapkan kebenaran kepada masyarakat.

Sejumlah wartawan Time yang ikut mengerjakan ”proyek Suharto Inc.” kini tak lagi berdiam di Indonesia. Sebagian bahkan sudah hengkang dari Time. Di Indonesia, yang tersisa hanya Zamira Loebis dan Jason Tedjasukmana, yang kini masuk daftar tergugat.

Zamira dan Jason tak mau buka mulut seputar pengalaman mereka melakukan investigasi jurnalistik membongkar harta Soeharto itu. ”Pengacara kami tidak memperbolehkan kami memberikan keterangan apa pun kepada pers saat ini,” ujar Zamira. Jawaban yang sama juga diberikan oleh Jason.

D.A. Candraningrum

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus