Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemadaman listrik di sejumlah wilayah belakangan ini membuat ba nyak orang marah. Ini reaksi yang wajar, mengingat tanpa listrik kehidupan modern boleh dikatakan lumpuh. Lampu padam, lemari es mogok, pompa air berhenti, televisi mati, dan penyejuk ruangan tak berfungsi. Industri terganggu dan argo kerugian pun mulai berputar. Persoalannya tinggal: kemarahan itu diarahkan ke mana?
Sasaran paling empuk adalah Perusahaan Listrik Negara. Badan usaha milik negara ini dianggap tidak efisien, bahkan oleh sebagian orang dituding marak korupsi. Ditambah lagi PLN tercatat terus-menerus merugi, sehingga tahun lalu butuh subsidi besar, sekitar Rp 65 triliun. Maka makin besarlah kecenderungan orang banyak untuk menjadikannya sebagai kambing hitam.
Tapi benarkah ketidakbecusan pengelolaan PLN sebagai penyebab utama krisis pasokan listrik belakangan ini? Majalah ini berpendapat, tuduhan ini kurang tepat. Pengelola perusahaan pelat merah ini memang belum menunjukkan kinerja optimal, bahkan masih jauh dari harapan. Tapi mereka bukan penyebab utama krisis listrik belakangan ini. Itu sebabnya, siapa pun yang terpilih menjadi pimpinan perusahaan, menggantikan direksi sekarang yang selesai masa jabatannya tahun ini, tak akan dapat menghentikan terjadinya krisis listrik nasional tanpa perubahan kebijakan pemerintah di sektor energi.
Sumber utama kalang-kabutnya pasokan listrik nasional memang berada di luar PLN. Kenaikan harga bahan bakar yang gila-gilaan belakangan ini, yang dimotori oleh meroketnya harga minyak dunia, membuat harga produksi setrum turut melompat. Kenaikan biaya ini dibebankan kepada PLN, sementara sumber penerimaannya tak dapat disesuaikan karena tarif listrik ditentukan oleh pemerintah dan sampai saat ini tarif belum berubah.
Akibatnya mudah ditebak, kerugian langsung melonjak. Bagaimana tidak. Untuk menghasilkan listrik satu kWh, pembangkit listrik berbahan bakar minyak membutuhkan pasokan sepertiga liter. Jika harga minyak sekitar Rp 6.000 seliter, biaya bahan baku pengadaan listriknya saja sudah Rp 2.000 setiap kWh. Karena PLN menjual listrik ke masyarakat dengan harga rata-rata Rp 634 per kWh, bisa dimaklumi jika pabrik setrum ini cenderung meminimalkan pemakaian pembangkit listrik berbahan bakar minyak.
Pembangkit listrik dengan bahan baku nonminyak pun lantas digenjot. Paling diharapkan tentunya pembangkit listrik tenaga air (PLTA) karena paling murah. Di Waduk Jatiluhur, misalnya, PLN hanya membutuhkan biaya Rp 140 untuk menghasilkan setrum 1 kWh. Tumpuan selanjutnya adalah turbin berbahan bakar batu bara. Sebab, hanya dengan setengah kilogram batu bara, dihasilkan listrik satu kWh. Dengan harga batu bara sekitar Rp 400 ribu per ton, ongkosnya hanya Rp 200 per kWh. Alternatif lain yang sedikit lebih mahal tapi lebih bersih adalah pembangkit bertenaga gas alam. Satu mmbtu gas alam, yang berharga US$ 3,60, dapat menghasilkan listrik 12 kWh. Artinya, biaya pengadaan listrik sekitar Rp 300 per kWh.
Penggantian jenis pembangkit tentu butuh waktu dan dana. Membangun bendungan untuk menjalankan PLTA memerlukan waktu lama dan modal besar. Pembangkit listrik bertenaga gas dapat dikonstruksi jauh lebih cepat, tapi pengoperasiannya terhambat pasokan gas. Maklum, pemasok gas umumnya terikat kontrak jangka panjang dengan pembeli. Memanfaatkan panas bumi sebenarnya sangat menjanjikan, tapi perlu modal besar dan waktu pembangunan lama.
Karena krisis listrik harus cepat diselesaikan, pemerin- tah telah memilih pembangkit listrik tenaga batu bara, dan diharapkan pasokan 10 ribu megawatt dapat diraih secepatnya. Pilihan ini sudah tepat, tapi pelaksanaannya agak mengkhawatirkan. Jika tak ada perubahan mendasar, proyek ini baru dapat mengamankan pasokan setrum pada 2010. Ini berarti pemadaman listrik akan terus terjadi dan bahkan akan lebih sering lagi tahun depan. Sebab, pertumbuhan permintaan terus meninggi, meninggalkan kemampuan PLN dalam memasok listrik.
Memburuknya krisis listrik nasional ini bukannya tak dapat diatasi. Bila pemerintah dapat mempercepat beroperasinya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bertenaga batu bara yang sedang dibangun, dan menjamin volume pasokan serta kestabilan harga batu baranya, pemulihan pasokan setrum pasti dapat berlangsung lebih cepat.
Ini bukan mission impossible. Kebutuhan batu bara PLN untuk mengamankan pasokan listrik negeri ini hanya sekitar 30 juta ton setahun, tak sampai sepertujuh produksi nasional. Kualitasnya pun tak perlu yang prima, bahkan dapat memakai batu bara muda, yang tak begitu laku di pasar internasional. Memastikan sebagian besar PLTU baru ini dapat beroperasi tahun depan juga cuma persoalan seberapa serius pemerintah mendorongnya.
Walhasil, pilihan memang bukan pada PLN, melainkan pada pemerintah SBY-JK. Bila mau menanganinya dengan serius, suasana pemilu tahun depan akan terang-benderang. PLN tak lagi perlu disubsidi, bahkan meraih untung dengan tarif yang berlaku sekarang. Pilihan lain adalah membiarkan keadaan tetap seperti sekarang dan menjalankan Pemilihan Umum 2009 dalam suasana gelap-gulita.
Saat itu, kebanyakan orang yang antre mencoblos sedang marah dan mendambakan perubahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo