Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN DPR yang melarang narapidana menjadi calon anggota legislatif patut disokong. Narapidana, terutama koruptor, sejatinya memang tak layak ”mewakili” rakyat dalam lembaga legislatif. Perkecualian diberikan kepada bekas narapidana politik atau mereka yang dihukum karena tindak pidana ringan.
Partai Golkar, dalam pembahasan amendemen Rancangan Undang-Undang Pemilu, ngotot menghapus pasal larangan itu. Semula mereka ingin badan legislatif bisa dimasuki bekas narapidana tanpa syarat apa pun. Belakangan, muncul revisi: seorang bekas napi diskors tak boleh mencalonkan diri hanya dalam jangka waktu yang sama dengan masa hukumannya. Misalnya, bekas koruptor yang dihukum dua tahun hanya dilarang nyalon selama dua tahun. Setelah itu, ia bisa asoi geboi melenggang ke Senayan. Untungnya, tekanan kepada Golkar menguat hingga akhirnya partai itu menyerah.
Golkar semula menyatakan bahwa dalam politik semua orang harus berkedudukan sama. Bekas napi, seperti juga mereka yang belum pernah dihukum, punya hak yang seragam untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum. Para bekas napi, toh, sudah membayar kesalahannya di penjara. Jadi, biarkan mereka menjadi calon legislatif untuk kemudian rakyatlah, dalam pemilu, yang menjadi juri.
Argumentasi Beringin itu terkesan masuk akal, tapi mereka lupa bahwa dalam sistem pemilu kita—bahkan setelah 10 tahun reformasi—pemilih bukanlah satu-satunya penentu. Peran partai tak kalah besarnya: merekalah yang menyusun daftar calon berdasarkan urutan yang mereka sukai. Jika calon anggota legislatif yang terpilih tidak memenuhi perolehan suara minimal, calon akan ditentukan oleh nomor urut yang ditetapkan partai. Penetapan apakah seorang calon mendapat ”nomor peci”, ”nomor sabuk”, atau ”nomor sepatu”—ini istilah untuk urutan atas, tengah, atau bawah dalam daftar calon legislatif—ditentukan dalam ajang ”kasak-kusuk” internal partai.
Daerah pemilihan calon juga sepenuhnya ditentukan oleh partai. Seorang bekas napi korupsi bisa saja melobi petinggi partai agar ditetapkan di daerah yang ”basah” agar kemungkinannya terpilih jadi besar. Lobi-lobi semacam ini, termasuk kisah tentang ”mahar” dan pelbagai ”iming-iming”, sudah pula sering kita dengar.
Dengan fakta ini tak sulit menduga ke mana arah usul Golkar tersebut. Di pelbagai daerah, mereka memang mempunyai kader yang terjerat pidana korupsi. Sebutlah, misalnya, Nurdin Halid, anggota Fraksi Partai Golkar yang divonis dua tahun oleh Mahkamah Agung karena skandal pengadaan minyak goreng. Ada pula Bupati Kutai Kartanegara Syaukani Hasan Rais yang masuk bui 2,5 tahun karena menyelewengkan dana pembangunan bandara di daerahnya. Contoh lain: Adiwarsita Adinegoro yang diputus bersalah oleh pengadilan dengan tuduhan mengkorupsi uang asosiasi pengusaha hutan.
Tak ada alasan bagi Golkar untuk tetap ngotot. Apalagi, Ketua Umum Golkar, Jusuf Kalla, sejak awal sudah menyatakan bahwa partainya bukan bunker bagi para koruptor. Kalla harus membuktikan tekadnya itu. Melindungi koruptor dalam gedung legislatif hanya akan memberi coreng di wajah.
Setelah pasal napi dilarang menjadi calon legislatif itu gagal dicoret dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu, maka Golkar, juga partai-partai lain, mestinya bergerak maju: mereka yang ditengarai korupsi atau tengah diusut dalam kasus korupsi mestinya disetip saja dari daftar calon. Dengan begitu, kepada pemilih, sejak awal partai politik telah menawarkan kader yang terbaik dan ”bersih”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo