Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari dunia akademik, tempat setiap kata tidak boleh salah menjalankan fungsinya, selalu datang perkara yang kurang saya pahami, mengapa bisa sampai terjadi bahwa pengertian "saya" ditulis sebagai "kami". Sekadar contoh:
Rencana menulis tesis ini timbul pada Maret 1974 sewaktu kami (penebalan dari saya) mulai menulis skripsi doktoral filsafat pada Centrale Interfakulteit, Rijksuniversiteit di Leiden. (Heraty, 1984: 13).
Tentu saya ketahui betapa bagian pengantar bukanlah bagian dari karya ilmiah, sekaligus pula saya yakini bahwa penulis karya ilmiah tersebut, Toeti Heraty, pembimbing, dan penguji dalam segenap pembelajaran akademik saya, tahu belaka betapa kata kami itu jamak, bukan tunggal. Namun mengapa, dengan segala pengetahuan yang jelas belum terlupakan saat itu, tesis doktoral yang ditulis sendirian, yakni oleh satu orang, disebutkan sebagai kami? Dalam kenyataannya, sebelum dan sesudahnya memang sudah sering saya jumpai dalam dunia akademik bahwa pengertian yang seharusnya berbunyi saya (tunggal) ditulis dengan kata kami (jamak).
Mengingat penguasaan berbahasa Indonesia secara tertulis merupakan prasyarat penulisan ilmiah, yang bahasa gaulnya: "Nggak usah diomongin lagi", adalah terlalu gegabah tentunya menduga-duga bahwa para sarjana ini kurang menguasai bahasa Indonesia. Mungkinkah, tanpa saya ketahui, terdapat suatu argumen yang sahih, untuk menuliskan pengertian saya sebagai kami?
Merujuk kepada perbincangan para pakar bahasa Indonesia, terdapat wacana seperti berikut:
Jika kita benar-benar ingin mulai mewujudkan pergaulan yang demokratis, yang tidak dengan sendirinya harus bercorak kurang sopan, maka dalam antarhubungan yang mengizinkan kelugasan, seperti dunia usaha, kedinasan, ilmu pengetahuan, kita sebaiknya mempertahankan kata saya. Jika berbahasa sebagai wakil jawatan atau kelompok, kata kami sepatutnya dibenarkan [Moeliono, et.al., 1990 (1987): 69].
Dengan kata lain, ketegasan perbedaan fungsi saya (orang pertama tunggal) dan kami (pihak pertama jamak) sudah dipastikan.
Namun tentang mengapa saya begitu getol menjadi kami rupanya terdapat pembahasan tersendiri, yakni bahwa subyek yang berujar seperti meleburkan diri dalam kelompoknya, " … sehingga dirinya itu menjadi kabur. Ia tidak mencolok lagi karena sudah berbaur dengan massa. Dengan cara itu ia beranggapan telah menunaikan tugasnya agar rendah hati (penebalan dari saya)." (Ibid., h. 69). Apakah "rendah hati" merupakan faktor kebahasaan? Jika bicara tentang makna tersirat, tentu ketersiratan merupakan faktor kebahasaan, tapi "rendah hati" itu sendiri ternyata belum menyelamatkan kami.
Atas konsep kami yang "seperti meleburkan diri dalam kelompoknya" dan "dirinya menjadi kabur" itu, kami merupakan modus dasar kebersamaan yang obyektif dan eksklusif, tempat unsur-unsur pendukungnya akan kehilangan subyektivitas masing-masing, dan tidak mampu berkembang, karena ke-kita-an dialami sebagai obyektivikasi oleh yang lain. Bagi seorang pribadi, dunia kami adalah keberadaan dan pemaksaan menuju anonimitas, karena aktualisasi diri menjadi tidak mungkin. Bahkan jelas bukanlah suatu modus keberadaan tempat pribadi memiliki tanggung jawab.
Sebagai modus keberadaan, kami bagaikan suaka yang menjadi pelarian dari kondisi yang tidak dapat membuat pribadi melakukan aktualisasi diri, dan karenanya tidak ingin menerima tanggung jawab atas keberadaan pribadinya. Kami adalah suatu reduksi dan pengasingan diri, yang pada gilirannya menumbuhkan kecemasan eksistensial, karena pribadi yang menyendiri hanya menemukan pelarian temporer, sebelum menyadari ketidakmungkinan menjadi diri sendiri [Hassan, 1989 (1975): 23-8].
Dari pemahaman linguistik, berpindah kepada pemahaman psikologis, dengan pinjaman teori-teori ilmu filsafat, tentu terdapat nuansa berbeda. Pembermaknaan bahasa ternyata juga sangat politis, yakni bahwa pembermaknaannya itu sangat ditentukan oleh kepentingan. Secara filosofis, kami yang obyektif dan eksklusif tampak kerdil dibanding kita yang subyektif dan inklusif. Namun kepentingan politik, terutama politik identitas sebagai bentuk kuasa untuk memberi nama, pada konteks dan momentum sosial historis tertentu akan membuat kebutuhan fungsional berpihak kepada kami.
Itulah yang berlangsung dengan Soempah Pemoeda (1928) dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945). Dalam keduanya, kami merupakan satu-satunya pilihan, sebagaimana konteks politik dalam ideologi nasionalisme membutuhkannya. Pada momentum historis seperti itu, bayang-bayang kepribadian saya menjadi kabur, berbaur dan melebur demi kelahiran dan terbentuknya bangsa baru. Keberpihakan dan pengorbanan sudah dimulai dari bahasa. l
Seno Gumira Ajidarma (Panajournal.com)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo