Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejadiannya pada tahun 1960. Sebuah buku tentang media diterbitkan. JudulnyaUnderstanding Media, karya Marshall McLuhan. Buku, yang belakangan disusul dengan edisi infografisnya, The Medium is the Massage, itu terbukti mengubah cara pandang orang tentang kedahsyatan media dalam membentuk cara hidup masyarakat. Di buku-bukunya itu, McLuhan memperingatkan kita tentang masa depan umat manusia yang akan berubah karena penemuan media audiovisual. Bayangkan, saat itu adalah sedikitnya 20 tahun hingga Internet ditemukan.
Dalam Understanding Media juga, untuk pertama kalinya istilah dunia sebagai global village diperkenalkan. Tapi ada pesan unik dan menarik lain yang disampaikan buku legendaris ini. McLuhan dengan sangat orisinal menunjukkan bahwa bukan hanya seperti makna asli istilah itu media adalahsarana penyebaran informasi, ia sesungguhnya adalah isi pesan itu sendiri. Ya. Lepas dari kandungan pesan yang didiseminasikan lewat media, media itu sendiri ikut membentuk cara berpikir dan cara hidup penggunanya. Jangankan media audiovisual, yangdirujuk oleh McLuhan saat itu, orang pun sudah sepakat bahwa gambar saja sudah memberi peluang lebih besar untuk penyampaian informasi. A picture speaks a thousand words. Karakter media audiovisual, sebagai gambar hidup yang diperkaya dengan efek musik dan teknik penyuntingan, telah menjadikan upaya penyampaian pesan menjadi memiliki kekuatan berlipat ganda. Dan pengaruhnya tak lagi semata sensual atau rasional, tapi juga merasuk ke wilayah psikis penikmatnya.
Untuk menekankan poinnya, McLuhan memberikan contoh yang menarik, yakni lampu bohlam. Jika ia dilihat sebagai suatu medium, betapapun tanpa pesan (dalam bentuk apa pun)—dengan kata lain, medium kosong—kita dapati bahwa pengaruhnya dalam mengubah cara orang hidup sangatlah luar biasa. Jika dibandingkan, cara hidup orang sebelum dan setelah ditemukannya bohlam berubah luar biasa. Bohlam memungkinkan orang beraktivitas bebas pada malam hari, setelah mengalami kendala oleh kegelapan. Produktivitas manusia meningkat, orang tidur lebih malam, keluarga dan komunitas bisa punya waktu bercengkerama lebih banyak, dengan segala implikasinya.
Dari sinilah cerita menjadi menarik. Sepintas seperti tak ada yang aneh dalam edisi infografis buku McLuhan yang disinggung di atas. The Medium is the Massage. Medium adalah pesannya? Perhatikan dengan lebih teliti. Meski konon awalnya adalah kesalahan perancang sampul dalam mengeja judul, McLuhan justru meminta agar judul bukunya itu tetap menggunakan kata "massage" ketimbang "message", yang merupakan gagasan asli buku tersebut. Apa pasal? Sebagaimana kata "message" bisa dibaca sebagai "mess age" (zaman kacau), kata "massage" sendiri sebagai suatu kesatuan—selain bisa dibaca "mass age"—bermakna "pijatan". Informasi telah dikemas dengan suatu cara yang begitu memikat sehingga orang-orang tergoda dan terhanyut (baca: tersihir) olehnya. Dilihat sebagai konsep-konsep yang berada dalam satu kesatuan, pesan (message) telah menyihir (me-massage) orang—boleh jadi dalam suatu cara yang manipulatif sekaligus negatif—sehingga melahirkan zaman yang penuh kekacauan (mess age).
Sekarang kita merasa bahwa pengamatan McLuhan, meski bukannya bebas kritik, lebih benar dan relevan dibanding saat buku itu ditulis dan diterbitkan. Di saat media sudah menjadi digital, serta cara pencarian dan penyebaran informasi telah menjadi jauh lebih mudah, lebih cepat dan aksesibel—bahkan amat menggoda—untuk semua orang, terasa memang zaman menjadi lebih "kacau". Sebelum ini tak sedikit penelitian dan pengamatan dibuat orang untuk menunjukkan bahwa "luberan informasi" (information spill over) telah membuat orang mengalami disorientasi. Terlalu banyak informasi telah justru menyebabkan orang kebingungan. Lalu juga orang memperingatkan tentang hilangnya kedalaman, dan lahirnya generasi baru pengguna Internet yang, oleh Nicholas Carr, disebut sebagai "Orang-orang Dangkal" (The Shallows), yang terbiasa menyantap informasi instan dan tanpa kedalaman.
Tak untuk menjadi nihilistik dalam hal manfaat teknologi digital, lebih jauh ternyata pertukaran informasi telah menjadi simpang-siur. Tata penyampaian informasi yang membagi masyarakat ke dalam kelompok produsen dan konsumen selama ini bisa diupayakan bersandarpada keahlian, kejujuran, dan prinsip check and recheck–untuk tak menyebut regulasi–telah menjadi suatu kekacauan atau kesimpangsiuran (mess). Semua orang, tanpa keahlian, tak jarang juga dengan niat buruk, memiliki akses pada pencarian–bahkan produksi informasi-informasi bohong–dan dengan mudahnya menyebarkannya ke masyarakat luas. Kadang melaui Facebook dan website/blog, yang bisa dibuat dengan instan, lebih mudah lagi melalui broadcast WhatsApp, akun Twitter, dan sebagainya. Situasi yang mengkhawatirkan ini masih ditambah dengan perilaku tidak kritis masyarakat, yang dengan mudah menggandakan dan menyebarluaskan apa saja yang dibacanya ke publik. Yang lebih parah, sebagian media tak jarang mendasarkan beritanya pada informasi-informasi dari sumber-sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan ini. Dan ini yang paling memprihatinkan: seorang pemilik akun Twitter, atau Facebook, atau website/blog, bisa mendapatkan follower, teman atau kunjungan besar, justru dengan menyebarkan informasi-informasi yang sensasional dan tidak bisa dipertanggungjawabkan seperti ini.
Seperti fenomena demokratisasi dalam hal apa pun, dengan segala kelebihan dan manfaatnya, demokratisasi informasi yang lahir berkat Internet dan teknologi digital ini telah menipiskan rasa "saling percaya" (trust). Di satu sisi, ini memang esensi demokrasi, yakni sebagai faktor yang menggerogoti peluang bagi sistem-sistem totalitarian dan hegemonik. Tapi, pada saat yang sama, suatu masyarakat atau negara juga tak mungkin bisa bertahan dengan trust yang terlalu tipis di antara warganya. Bukan saja pemerintahan kuat memang tetap diperlukan, toh trust bukan cuma soal penguatan negara. Seperti, antara lain, diungkapkan Fukuyama, trust adalah persoalan penguatan masyarakat madani vis a vis kemungkinan berkembangnya negara autokratik.Maka, seninya selalu adalah untuk menghindarkan keadaan-keadaan ekstrem. Masyarakat tuna-trust tak akan memiliki ikatan kekelompokan, yang dengan amat tepat diidentifikasi oleh Ibn Khaldun–pemikir Islam-Spanyol abad ke-14 dan penulis Muqaddimah, yang dianjurkan untuk dibaca oleh Mark Zuckerberg baru-baru ini–sebagai 'ashabiyah. 'Ashabiyah, menurut Khaldun dan para pemikir kesejarahan dan sosiologis modern yang mengikutinya, adalah modal-dasar bagi setiap kelompok masyarakat untuk survive dan berkembang.
Tak sulit bagi banyak orang untuk melihat betapa masyarakat di negeri ini sekarang dipenuhi dengan ketegangan antarkelompok yang luar biasa. Antarkelompok politik, kelompok etnik, kelompok keagamaan–antar dan intra-agama–dan sebagainya. Tak pernah kecenderungan konflik di tengah masyarakat terasa sekuat sekarang. Terasa luar biasa besar semangat bermusuhan satu kelompok dengan kelompok lain. Persoalan kecil pun dengan sangat mudah dibesar-besarkan, bahkan tak jarang persoalan dibuat-buat tanpa dasar sama sekali sekadar sebagai bahan penyulut konflik. Masyarakat kita pun jadi sasaran empuk misinformasi dan disinformasi. Jika tak ada langkah-langkah serius yang diambil oleh pemerintah untuk menata lalu lintas penyebaran informasi di masyarakat, dikhawatirkan suatu saat keadaan bisa terlepas di luar kendali. Aturan larangan hate speech yang dikeluarkan Kapolri beberapa waktu yang lalu perlu diapresiasi.
Terlalu banyak preseden dalam sejarah modern betapa konflik kekerasan, bahkan perang saudara di antara suatu komunitas, di dalam dan luar negeri, mudah dieskalasijika kebencian antarkelompok telah menyebar luas.Cukup kiranya kita pelajari kasus konflik Ambon, perang saudara di Libanon, atau pun perang Suriah, yang reperkusinya masih terasa sampai sekarang. Pemicunya lebih sering adalah masalah-masalah yang terbatas dan lokal, seperti tabrakan kendaraan yang melibatkan dua kelompok, atau tak jarang juga operasi false flag dari pihak-pihak ketigayang mempunyai agenda jahat. Kejadian-kejadian tersebut meledak di luar kendali, meski awalnya bersifat lokal, tapi kemudian menyeret pihak-pihak yang memiliki kepentingan atau mendapatkan jalan untuk memanipulasi kelompok yang berkonflik demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Termasuk pemerintahan-pemerintahan autoritarian, kelompok-kelompok militer dalam pemerintahan, kelompok-kelompok politik, maupun kelompok radikal terorganisasi, baik di dalam maupun di luar negeri. Teror bom yang terjadi belum lama ini di Jakarta kiranya bisa menjadi alarm tanda bahaya mengenai kemungkinan eskalasi konflik lebih jauh ke ranah pascawacana.
Maka, tentu tetap harus dalam bingkai konstitusi dan pemeliharaan hak asasi, pemerintah kiranya perlu mengambil tindakan-tindakan lebih sigap dan tegas untuk menerapkan aturan-aturan yang berlaku demi menghindarkan negeri ini dari dicabik-cabik oleh konflik kemasyarakatan yang tidak terkendali. Pemerintah perlu melibatkan masyarakat dan para ahli hukum untuk mengambil tindakan yang bersifat persuasif, preventif dan, jika perlu, represif, agar potensi konflik yang telah sedemikian mengkhawatirkan tidak lepas di luar kendali.
Saya percaya, dalam iklim demokratis yang telah berkembang dengan begitu baik di negeri kita, juga partisipasi masyarakat sipil yang begitu intens dalam pengelolaan negara, ekses yang mungkin timbul daritindakan-tindakan seperti ini terhadap iklim kebebasandapat ditekan bahkan dihindarkan, sehingga situasi dinamis namun tetap kondusifdi tengah masyarakat dapat dipulihkan tanpa korban atas prinsip demokrasi itu sendiri. l
Haidar Bagir (Dosen pemikiran Islam di Islamic College for Advanced Studies, Universitas Paramadina)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo