Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU pagi di Connecticut, Amerika Serikat, pekan kedua Desember tahun lalu. Joey Alexander sedang asyik melahap sarapannya. Di tengah aktivitas itu, kabar menghebohkan dari Jason Olaine, produser album My Favorite Things, sampai di telinga Joey. Album di bawah label Motema Music itu dan komposisi Giant Steps sukses menembus nominasi Grammy Awards. "Aku mencoba tenang dan berdoa. Suatu berkat yang luar biasa," kata Joey, mengenang momen membahagiakan itu, lewat surat elektronik kepada Tempo.
Berselang dua bulan, tepatnya 15 Februari, Joey pun hadir di Staples Center, Los Angeles. Inilah gedung tempat malam penganugerahan Grammy Awards ke-58 digelar. Di sana Joey, 12 tahun, tak hanya duduk manis sembari berdebar menanti pengumuman. Ia juga tampil di panggung menunjukkan kebolehannya.
Pada satu sesi bersamaan dengan pidato penyanyi rap, Common, dan Presiden National Academy of Recording Arts and Sciences, Neil Portnow, Joey bersiap memainkan komposisi andalannya di panggung. "Industri musik harus tetap bersemangat demi generasi berikutnya. Dan omong-omong soal generasi berikutnya, inilah Joey Alexander, 12 tahun," ujar Common menyilakan Joey unjuk gigi.
Tidak ada satu patah kata pun dari Joey. Ia langsung menyambutnya dengan permainan jemari yang lincah di atas bilah-bilah piano Steinway & Sons hitam. Dan mengalunlah penggalan komposisi Giant Steps membius ruangan.
Sorot kamera merekam senyum dedengkot jazz, Herbie Hancock. Kepalanya tak henti-henti mengangguk selama satu setengah menit mengikuti musik yang dimainkan Joey. Di sudut lain, tampak Don Cheadle bertepuk tangan ritmis. Pada akhir permainan, remaja kelahiran Denpasar itu diganjar tepuk tangan sambil berdiri seluruh hadirin, tak terkecuali Bruno Mars, Taylor Swift, Selena Gomez, dan Chris Stapleton. "Wow, Joey. Itu sangat luar biasa," kata Neil Portnow.
Joey, yang malam itu mengenakan setelan jas abu-abu, seakan-akan tersipu dan salah tingkah. Dia membalas sambutan itu dengan sebuah salam dengan kedua tangan mengatup.
Reaksi para jagoan musik yang hadir malam itu seolah-olah sebuah konfirmasi bahwa karya Joey memang layak masuk nominasi penghargaan Grammy—ya, meskipun memang malam itu Joey belum berhasil membawa pulang trofi gramofon. Anggota National Academy of Recording Arts and Sciences—jumlahnya sekitar 20 ribu orang, yang punya hak menilai lewat polling—memenangkan John Scofield, 64 tahun, pada kategori improvisasi jazz tunggal. Adapun Christian McBride, 43 tahun, mengungguli Joey pada nominasi album jazz instrumental.
Apa yang membuat karya Joey mampu menembus nominasi Grammy? "Joey's accomplishment is brilliant. Dia musikus real deal. Saat rekaman bagus, juga saat penampilan di panggung," ujar Elanda Yunita, guru jazz Joey semasa belajar musik di Jakarta. Elanda, 45 tahun, mengungkapkan, Joey juga berhasil menciptakan sinergi yang menguntungkan dengan para maestro jazz dalam album My Favorite Things.
Produsernya, Jason Olaine, adalah peraih Grammy. Begitu pula penggebuk drum Ulysses Owens Jr.—jawara Grammy dua kali—yang mengiringi komposisi lagu Joey. "Musikus dunia ini sangat bermurah hati membolehkan Joey bermain bersama. Tak sekadar nebeng ketenaran," kata Elanda.
Indra Lesmana, guru jazz Joey lainnya, lebih diplomatis mengomentari alasan album Joey masuk nominasi. "Jarang ada anak berusia 12 tahun membuat album jazz," ujar Indra.
Pemerhati musik Bens Leo mengungkapkan, album My Favorite Things merupakan paket komplet. Artinya, Joey tak sekadar menggubah beberapa komposisi, seperti Lush Life dan Over the Rainbow, tapi juga menciptakan sendiri komposisi andalannya, My Favorite Things.
Perpaduan itu, menurut Bens, menjadi keistimewaan yang membetot perhatian para penilai Grammy. "Bukan pekerjaan mudah membuat karya semacam itu di usia belasan tahun," katanya.
Purwacaraka sependapat dengan Bens. Komponis itu mengatakan umur belia dan keberanian Joey menekuni jagat musik jazz yang kompleks merupakan nilai tawar album My Favorite Things.
Kelebihan itu berkelindan dengan besarnya kesempatan yang diperoleh putra Denny Sila dan Farah Urbach ini tampil di pelbagai pentas bergengsi sejak hijrah ke Amerika Serikat. Nilai-nilai itulah yang membuat Joey masuk radar juri Grammy. "Amerika Serikat punya iklim yang sangat fair mendukung musikus berbakat, tak peduli asal negara, apalagi usia," ujar Purwacaraka.
Prestasi mengkilap Joey di tingkat dunia ini tak diperoleh dalam sekejap. Remaja bernama lengkap Josiah Alexander Sila itu mengaku pertama kali belajar musik pada usia enam tahun. Bakat musiknya makin kentara tatkala jari-jari mungilnya sudah lihai memainkan lagu Thelonious Monk berjudul Well, You Needn't.
Talenta Joey itu membuat orang tuanya tercengang. Lebih-lebih, Joey sanggup memainkan ulang satu komposisi hanya dengan mendengarkannya beberapa kali. "Kemampuan photographic memory-nya sangat luar biasa," kata Elanda.
Di kampung halaman Joey, Denpasar, remaja itu pernah mengikuti kursus di Purwacaraka Music Studio. Dia juga mengasah bakat musiknya secara otodidaktik dibantu ayahnya, yang menggemari jazz. Kemudian orang tuanya memutuskan hijrah ke Jakarta demi melebarkan peluang belajar musik jazz pada ahlinya.
Di Ibu Kota, Joey berlatih intensif pada Elanda. Lulusan Moscow Conservatory ini menempa Joey selama sekitar satu setengah tahun sejak 2012. Ia menerapkan metode ajar yang membebaskan Joey. "Dia boleh melakukan apa pun sebelum kursus dimulai. Bisa menggambar, bercerita, atau makan cokelat. Agar mood berlatihnya dapat," ujar Elanda.
Joey, menurut Elanda, juga lebih gampang mengingat pelajaran musik dengan gerak tubuh. Tekanan pada nada tertentu saat bermain piano justru tak dipandu dengan komunikasi verbal. "Dia mengingat nada spesifik dengan goyang ke arah yang dia kehendaki," ujarnya.
Bersama Elanda, Joey juga mulai berani berkreasi mengeksplorasi bakatnya. Sebab, kalau hanya mengingat lagu dan meniru, Joey akan tampil monoton. Elanda menyarankan penggemar aktor Sylvester Stallone itu memilih komposisi maestro Indonesia, seperti Ismail Marzuki dan Gesang, sebagai proyek awal menggubah lagu. "Akhirnya, dia sukses menggubah tembang Bengawan Solo dengan sangat indah."
Keberhasilan menggubah lagu ini menunjukkan ketekunan dan kerja keras Joey cilik. Setidaknya, kata Elanda, "Joey bisa duduk berlatih hingga enam jam sehari bila belum sempurna menguasai teknik bermain piano."
Tak hanya berguru pada Elanda, Joey juga pernah menimba ilmu dari musikus jazz kawakan, Indra Lesmana. Bersama Indra, Joey belajar musik intensif selama dua tahun. "Bakat besar Joey memanggil saya untuk membimbingnya, padahal saat itu sedang cuti mengajar," Indra mengenang.
Di tangan Indra, Joey memetik keterampilan seni bermain piano dengan genre jazz modern. Teknik vokal, harmoni, dan improvisasi juga ditularkan pria 49 tahun itu kepada Joey. Tak ketinggalan, pengalaman berharga tampil pada acara "Jazz for Kids" yang diampu Indra di RedWhite Jazz Lounge, Kemang, Jakarta Selatan, membuat remaja berkacamata itu makin piawai tampil di atas panggung. "Di sana Joey bisa belajar beragam lagu jazz standar dan gaya bermusik jazz," ujar Indra.
Setelah semua itu, langkah Joey kian jauh. Dia menggapai prestasi internasional di Odessa, Ukraina, pada 2013. Lalu serangkaian penampilannya di Amerika Serikat membetot perhatian publik jazz.
Joey melanglang ke Amerika itu setelah perjumpaan di dunia maya dengan maestro jazz, Wynton Marsalis, yang juga direktur seni di Jazz at Lincoln Center. Video penampilan Joey menjadi viral yang menarik perhatian Marsalis, peniup trompet, hingga dia mengundang pianis itu tampil di panggungnya. "Dia jenius," kata Marsalis saat diwawancarai Anderson Cooper dalam acara televisi di Amerika.
Setelah tampil di Jazz at Lincoln Center, Joey pun diundang ke berbagai pentas: Dizzy's Club Coca-Cola, The Jazz Foundation of America, dan The Arthur Ashe Learning Center. Media asing mengupas penampilan Joey, dan term yang kerap dipakai untuk menggambarkannya ialah "The Indonesian Jazz Prodigy" alias musikus jazz anak-anak dengan kepandaian luar biasa. Kepandaian itu membuat Joey dan keluarganya mengantongi visa tinggal di Amerika.
Langkah terbesarnya sejauh ini memang tampil dan menembus Grammy Awards. Kendati belum membawa pulang piala, pengagum aktris Emma Stone ini tetap memelihara mimpi-mimpinya. "Saya hanya ingin lebih baik sebagai musikus dan pribadi. Semoga pencapaian ini membuka jalan bagi musikus muda Indonesia lainnya," ujarnya.
Raymundus Rikang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo