Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ketika yogya diserang belanda

Pada saat belanda menyerang yogya, soedirman bergerilya seperti yang direncanakan. sukarno, hatta & pembesar lainnya memilih tetap di kota. akibatnya abri kurang percaya pada kepemimpinan sipil.

26 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA sudah jelas Yogyakarta diserang musuh, Panglima Besar Soedirman mengirimkan Kapten (kini: Menteri Dalam Negeri) Soepardjo Rustam, ajudannya, ke Gedung Agung, pusat pemerintahan Republik, untuk mendapatkan instruksi Presiden Soekarno. Beberapa jam menanti di rumah, di Binaran, Soedirman, yang kehilangan kesabaran, dengan mantel hitam menutupi piyama, berangkat menyusul Soepardjo. Presiden Soekarno, sadar akan lemahnya tubuh Soedirman yang baru saja kehilangan sebelah paru-parunya lewat sebuah operasi, mencoba meyakinkan panglima besar itu untuk tenang. "Tidak ada hal penting yang terjadi. Adinda masih sakit, pulanglah ke rumah, beristirahat," kata Soekarno. Sementara itu, pesawat tempur Belanda terbang rendah menyambar-nyambar di atas Gedung Agung, dan menjatuhkan bom di berbagai penjuru kta. Para pembesar Republik mulai berdatangan, dan sidang kabinet darurat berlangsung pada Minggu tengah hari, 19 Desember 1948. Soedirman, ditemani ajudan dan pengawal, menanti di luar ruang sidang, hingga akhirnya jelas bahwa Soekarno, Hatta, dan para pembesar lainnya memilih tetap di kota -- tidak bergerilya seperti yang mereka putuskan bersama jauh sebelumnya. Soedirman meninggalkan Gedung Agung dengan keputusan memimpin perang gerilya sebagaimana direncanakan. Sejumlah perwira di Markas Besar Tentara masih mencoba membawa pergi Soekarno dengan andong. Gagal. Sidang kabinet berkesimpulan, tidak cukup tentara untuk mengawal pimpinan negara, jika mereka harus ke luar kota. Lagi pula, dengan berada di dalam kota, para pimpinan itu yakin akan terus punya kesempatan berhubungan dengan anggota Komisi Tiga Negara (KTN), yang ditugasi PBB mencari penyelesaian konflik Indonesia-Belanda. Ditinjau dari perspektif sejarah masa revolusi kemerdekaan, alasan sidang kabinet adalah prinsip yang amat mendasar, yang selalu melandasi kebijaksanaan setiap kabinet masa itu. Alasan itu dikenal sebagai prinsip yang lebih menonjolkan diplomasi ketimbang perjuangan. Konflik antara diplomasi dan perjuangan itu merupakan corak dominan yang mewarnai sejarah Indonesia di masa revolusi. Hanya dengan mengetahui konflik itulah kita dapat mengerti keputusan Soedirman untuk tetap memimpin pasukannya bergerilya. Konflik antara diplomasi dan perjuangan ini tampil pertama kali dalam masalah apakah Indonesia, yang baru merdeka, perlu segera memiliki tentara atau tidak. Pimpinan negara, Soekarno-Hatta, berpendapat dengan segera membentuk tentara, Indonesia hanya akan memprovokasi Jepang, yang masih bersenjata lengkap, meski telah menyerah, dan tentara Sekutu yang segera mendarat. Sebaliknya, para pemuda. Atas inisiatif sendiri, pemuda-pemuda di berbagai kota bergerak merampas senjata dari Jepang, dan kemudian mengatur diri dalam barisan-barisan ketentaraan. Di kemudian hari, Soekarno, dalam memoarnya mengakui tentara Indonesia tidak diciptakan oleh pemerintah meiainkan lahir sendiri secara spontan. Tentara yang menciptakan dirinya inilah yang memilih Soedirman menjadi panglima besar pada 12 November 1945. Pemerintah, di bawah pimpinan Perdana Menteri Sutan Syahrir, yang merasa wewenangnya dilanggar tentara, memerlukan waktu sebulan sebelum akhirnya mengakui Soedirman sebagai panglima besar. Pengakuan dan pelantikan Soedirman menjadi panglima besar adalah monumen pertama dari perjalanan konflik antara diplomasi dan ambisi Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Pemerintah bukannya tinggal diam menghadapi konflik itu. Tapi, pemerintah hanya berhasil membungkam oposisi pimpinan Tan Malaka. Usaha menjadikan tentara sepenuhnya alat negara, yang hanya bergerak atas perintah pemerintah, tidak pernah berhasil. Kegagalan ini paling sedikit disebabkan oleh dua hal. Pertama, tentara tidak mudah begitu saja menghapuskan otonomi mereka. Sikap itu bisa dimengerti, karena pada masa revolusi percekcokan terus terjadi antara pemerintah dan partai-partai oposisi. Percekcokan ini menyebabkan lemahnya pemerintah. Lemahnya pemerintah inilah penyebab kedua, yang menyebabkan tentara tidak pernah dapat dijadikan sebagai alat negara semata. Adalah otonomi politik tentara ini yang diartikulasikan Panglima Besar Soedirman lewat angkah laku politiknya, yang cenderung amat independen terhadap pemerintah. Hanya dengan mengerti tingkah laku politik Panglima Besar itulah kita bisa dengan gampang mengerti sikap tentara yang memutuskan untuk bergerilya, tatkala pimpinan politik memutuskan menyerah kepada Belanda. Kontras antara Soedirman (yang bergerilya) dan Soekarno (yang menaikkan bendera putih di Gedung Agung) merupakan monumen kedua dari konflik diplomasi lawan perjuangan. Hanya saja, monumen kedua ini amat fatal akibatnya. Ia telah menyebabkan goyahnya kepercayaan tentara kepada kepemimpinan sipil. Menyerah kepada musuh adalah haram bagi tentara, yang telah bersumpah untuk tidak kenal menyerah. Antara lain, karena takut melanggar sumpah itulah Soedirman menolak bujukan Soekarno agar beristirahat saja di dalam kota ketika pesawat tempur Belanda menghujani Yogyakarta dengan bom. Perang gerilya itu berlangsung sekitar setengah tahun. Dan, seperti diduga para pemimpin sipil, diplomasi -- terutama berkat tekanan Washington -- juga yang menyebabkan Belanda menarik pasukannya dari wilayah Republik. Mungkinkah Belanda enyerah pada tekanan diplomasi, Jika merasa sanggup menghancurkan Republik secara fisik? Pertanyaan yang sama juga bisa dikemukakan terhadap kesediaan Belanda menyerahkan Irian Barat (kini Irian Jaya) dulu. Tidakkah Belanda menyerahkan Irian Barat setelah Washington -- yang kemudian mendesak Den Haag -- yakin Komando Mandala di bawah pimpinan Mayor Jenderal (kini Presiden) Soeharto betul-betul siap dan sanggup menyerbu Irian Barat? Soalnya bukan siapa yang benar: pihak diplomasi atau pihak perjuangan. Sudah terbukti bahwa hanya dengan kombinasi perjuangan dan diplomasi akhirnya Indonesia berhasil membebaskan diri dari penjajahan Belanda. Yang jadi masalah, sebagai akibat perbedaan reaksi terhadap serangan Belanda atas Yogyakarta pada 19 Desember 1948, adalah berkembangnya persepsi kurang percaya di kalangan ABRI pada kepemimpinan sipil. Persepsi ABRI yang demikian harus dilihat sebagai suatu warisan (legacy) yang bersumber tidak saja ada menyerahnya kepemimpinan sipil ketika Yogyakarta jatuh, tapi juga suatu hal yang lahir dan perlahan-lahan berkembang, sejak pemerintah ragu membentuk tentara di awal revolusi. Naiknya bendera putih di Gedung Agung hanya merupakan puncak tertinggi persepsi tersebut. Warisan penting lainnya dari masa itu adalah pengalaman tentara membentuk dan mengelola pemerintahan gerilya setelah pemerintahan sipil menyerah. Adalah pengalaman-pengalaman itu yang merupakan titik tolak dari apa yang kemudian kita kenal sebagai Dwi-Fungsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus