Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu pemecahan soal yang ditawarkan Menteri Agama Maftuh Basyuni pekan lalu kepada jemaah Ahmadiyah sungguh mengagetkan: keluarlah dari Islam dan bentuklah agama baru. Jalan keluar seperti itu, dalam pandangan Menteri, akan meredam amuk sebagi-an masyarakat terhadap jemaah Ahmadiyah. Dengan re-da-nya amuk sebagian masyarakat, mungkin begitu jalan pi-kiran Menteri, Ahmadiyah tak perlu minta suaka ke luar negeri. Tuduhan bahwa negara menekan satu kelompok di dalam negeri bisa dielakkan. Dan satu kerepotan pemerintah mungkin berakhir dengan jalan keluar yang ditawarkan Menteri Agama.
Tawaran itu mengandung konsekuensi yang serius. Keluar dari Islam mengandung pengertian bahwa orang ter-sebut selama ini telah berlaku sesat. Seakan hendak dikata-kan, ketimbang menjadi bisul yang mengganggu, lebih ba-ik bisul itu didesak keluar. Tudingan ini, tentu saja, akan datang dari mereka yang menganggap dirinya berjalan di jalur yang paling benar. Dengan menganggap diri paling be-nar, kelompok yang memilih jalur lain dianggap salah dan karenanya perlu disadarkan atau malah diusir jauh-jauh. Soalnya kemudian: manakah yang paling benar itu?
Bagi setiap pemeluk agama, yang paling benar ialah aga-ma yang ia yakini. Seorang muslim Sunni akan menganggap Islam-nya yang paling benar. Seorang muslim Syiah pun demikian. Ahmadiyah pun begitu. Orang kerap lupa, dalam anggapan itu sesungguhnya terhimpun segenap pe-ma-haman, penafsiran, dan-yang paling penting-keyakin-an.
Pemahaman dan penafsiran masih dapat diperdebatkan, tapi keyakinanlah yang paling sulit atau malah mustahil dikompromikan. Lantaran itu, siapa yang berhak mengadili bahwa seseorang telah sesat bila yang dituduh merasa dirinya benar?
Keyakinan adalah perkara yang amat intim antara sese-orang dan yang diyakininya, antara seseorang dan tuhan-nya, bahkan antara seseorang dan tiada-tuhannya. Hal ter-baik yang dapat ditempuh ialah menghargai hak setiap ma-nusia untuk memiliki keyakinannya sendiri. Apakah jemaah Ahmadiyah itu sesat, biarlah Tuhan yang mengadili.
Mereka berhak hidup di negeri ini, bumi ini, tak perlu mencari suaka ke negara lain. Suaka hanya akan mengesankan bahwa di negeri ini telah terjadi persekusi, penindasan, terhadap pemeluk sebuah keyakinan. Dan itu amat memalukan. Kekerasan demi kekerasan juga akan mencitrakan Islam yang buruk, yang keras, dan tidak toleran-alih-alih menaburkan kedamaian.
Tawaran keluar dari Islam, karena itu, tidak layak dilontarkan oleh pejabat negara yang justru harus mengawal amanat Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi kita itu jelas-jelas menjamin kebebasan setiap penduduk negeri ini untuk memeluk agama dan kepercayaan yang diyakininya. Lagi pula, di tangan kelompok yang kurang bertanggung jawab atau suka mendahulukan kekerasan ketimbang dialog, pernyataan Menteri itu bisa dianggap pembenaran untuk lebih menekan Ahmadiyah.
Selama ini, harus diakui, aparat tidak melindungi jema-ah Ahmadiyah dengan semestinya. Tempat tinggal mereka dihantam, rumah ibadah mereka dirusak, secara fisik mereka disakiti, tanpa ada pertolongan dari siapa pun. S-u-dah begitu, belum ada pelaku kekerasan yang dihukum karena menghakimi Ahmadiyah. Boleh dibilang negara sudah g-agal melindungi hak warga Ahmadiyah untuk hidup aman seperti warga negara yang lain.
Menteri Agama lebih baik mendorong masyarakat agar dewasa menyikapi perbedaan melalui dialog. Upaya itu niscaya jauh lebih baik ketimbang membuat pernyataan yang meresahkan. n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo