Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERBANG bebas di ketinggian sawang tanpa-pa-ndom-tanpa-sistem-komunikasi tentulah merupakan peng-alaman mengerikan-sekaligus absurd. Paling t-idak, itu-lah yang dirasakan sebagian penumpang-dan se-mua awak-pesawat Boeing 737-300 milik maskapai penerbangan Adam Air, Sabtu dua pekan lalu.
Lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta pada 06.20, sekitar dua jam kemudian pesawat dengan nomor penerbangan DHI 728 itu seyogianya sudah duduk manis di landasan Bandara Hasanuddin, Makassar, pelabuhan tujuannya. Tapi, hanya 20 menit setelah take off, kapal terbang yang mengangkut 145 penumpang dan tujuh awak itu rusak total sistem navigasi sekaligus sistem komunikasinya.
Pesawat itu raib dari layar radar. Tapi nun di Tambolaka, bandara kecil di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, pada sekitar 10.45 waktu lokal, sebuah "unidentified flying object" mengitari langit Sumba tiga kali sebelum mendarat dan membuat geger seantero pangkalan. Betapa tidak? Pesawat B737-300 membutuhkan runway minimal 2.200 meter untuk mendarat dan lepas landas, sedangkan Tambolaka baru punya 1.800 meter.
Lebih dari satu jam pesawat itu mengembara tanpa arah, dan melenceng sekitar 525 kilometer dari bandara tujuannya. Dari perbandingan waktu dan jarak bisa disimpulkan, pesawat berbelok kian ke mari sebelum menemukan Tambolaka. Dari perspektif "nasib", keberbelokan itu bisa dipandang sebagai blessing in disguise. Sebab, jika pesawat lurus ke timur setelah melampaui Hasanuddin, dalam 80 menit ia sudah mencapai wilayah Maluku. Dan setelah itu: ranah Papua dengan pegunungannya yang tinggi, garang, beku, dan berkabut.
Waktu yang lebih dari satu jam itu sebetulnya merupa-kan saat paling kritis bagi pesawat ini dan seisi lambungnya. Lebih dari satu jam melakukan "penerbangan buta" (blind flight) menjadikan pesawat ini terbuka untuk bahaya apa saja, mulai bertabrakan dengan pesawat lain sampai ditembak oleh pesawat militer yang tidak mengenalnya. Apalagi jika diingat, wilayah terbangnya juga merupakan jalur penerbangan internasional.
Pendaratan yang dilakukan oleh pilot B737-300 itu pun, sebetulnya, bukanlah "pendaratan darurat"-jika menggunakan istilah yang tepat. Dalam pendaratan darurat, pe-nerbang biasanya tahu di mana ia mendarat. Pada kejadian kemarin, sang pilot bahkan menyangka ia sudah tiba di atas Makassar. Dengan kata lain, itulah "pendaratan buta", yang jauh lebih berisiko dari pendaratan darurat.
Kerusakan total sistem navigasi dan sistem komunikasi pesawat itu sangat layak dipertanyakan. Sebuah pesawat terbang masa kini seyogianya dilengkapi sistem navigasi dan sistem komunikasi berlapis, simultan, dan independen. Kerusakan pada lapis tertentu, biasanya, secara simultan langsung digantikan oleh lapis sistem yang lain, dan begitu selanjutnya.
Dengan sekitar 25 perusahaan penerbangan reguler dan 12 perusahaan penerbangan carter yang melayani penumpang transportasi udara di Tanah Air pada saat ini, hendak-lah masalah keamanan penerbangan mendapat perhatian maksimal. "Peristiwa Tambolaka", termasuk "evakuasi" pe-sawat yang sangat terkesan terburu-buru, harus diusut tuntas dan dibuat terang duduk perkaranya.
Sanksi yang dijanjikan para otoritas penerbangan atas pihak yang bertanggung jawab, betapa pun beratnya, tetap merupakan aspek "akibat", dan bukan aspek "sebab"-yang bermuara pada upaya menangkal. Padahal, siapa pun tahu, menangkal jauh lebih efisien ketimbang mengatasi bencana. n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo