Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah mencabut gugatan perdata terhadap PT Newmont Minahasa Raya dalam kasus pencemar-an Teluk Buyat, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Sebagai kompensasinya, perusahaan penambang emas itu akan memberikan US$ 30 juta plus garansi maksimal US$ 20 juta.
Kesepakatan itu dibuat dalam ”Perjanjian Itikad Baik”. Perjanjian ditandatangani oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie dan Komisaris Newmont Robert Gallagher di Jakarta, Kamis pekan lalu.
Aburizal menyebutkan, dana kompensasi untuk program pembangunan masyarakat dan pemantauan ilmiah selama 10 tahun. Sepuluh hari setelah ditandatangani, Newmont akan menyetor US$ 12 juta ke rekening penampung. Setelah pemerintah mencabut gugatannya, sisa dana akan ditransfer ke rekening yayasan yang akan dibentuk.
Pada tahun kelima hingga ke-10, Newmont akan mentransfer US$ 3 juta per tahun. Jika panel ilmiah independen menemukan pencemaran lingkungan, Newmont wajib membayar maksimal US$ 20 juta.
Ketua Komisi VII (Lingkungan) DPR Sonny Keraf mempersoalkan perjanjian itu. Ia menyatakan akan meminta penjelasan dari pemerintah. ”Bahasa kasarnya, pemerintah disuap Newmont,” katanya.
Surat Sudi untuk Renovasi
Sudah setahun dua surat dari Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi itu dikeluarkan. Namun, baru ramai dipersoalkan pada Kamis pekan lalu.
Ini adalah suratsurat Sudi yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Surat pertama tertanggal 20 Januari 2005, dan yang kedua 21 Februari 2005. Isi keduanya sama, yakni adanya surat dari PT Coin Nusantara Gas dan persetujuan Presiden Yudhoyono pada rencana renovasi gedung Kedutaan Besar RI di Korea Selatan.
Sudi menulis bahwa Presiden memberi petunjuk agar Menteri dapat merespons dan menerima presentasi dari manajemen PT Sun Hoo Engineering. ”Hasil presentasi kiranya dapat dilaporkan kepada Presiden,” demikian bunyi surat yang ditembuskan ke Presiden dan manajemen Sun Hoo dan beredar di kalangan Istana Wakil Presiden pekan lalu itu.
Tak jelas apa hubungan Presiden, Sudi, Coin Nusantara, dan Sun Hoo. Dari kartu nama yang dilampirkan dalam surat, Sun Hoo dan Coin Nusantara berkantor di Jalan Mega Kebon Jeruk, Joglo, Jakarta Barat. Saat Tempo mengeceknya, tempat itu ternyata sudah berganti penghuni sejak tahun lalu.
Anggota parlemen Djoko Susilo curiga, Coin dan Sun Hoo adalah satu di antara banyak makelar yang kini memang berebut proyek Kedutaan di Seoul. ”Dalam beberapa tahun terakhir, proyek ini memang menggiurkan banyak orang,” katanya.
Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengaku tak pernah menindaklanjuti surat Sudi. ”Setiap hari lusinan surat seperti itu di meja saya,” katanya di Bali, ”tapi semuanya lewat saja.”
Sudi membantah suratnya itu sebagai surat sakti. ”Itu surat resmi,” katanya. Soal persetujuan presiden yang ditulis dalam surat, ia menyebutnya sebagai ”formalitas saja”.
Sudi tampaknya akan jadi sorotan. Para anggota parlemen dari berbagai fraksi sepakat akan meminta penjelasan darinya. Ketua Fraksi PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo menilai Sudi melakukan kesalahan fatal. ”Ia melampaui kewenangannya,” ujarnya.
Dibangun oleh Duta Besar Sarwo Edhie Wibowo pada 1976, kantor Kedutaan berada di wilayah strategis, Yeouidodong, Seoul. Sayang, gedungnya sudah usang. Duta Besar Jacob Tobing yang ”kebetulan” hadir di Istana Wakil Presiden, Kamis, mengaku sudah mengusulkan untuk merenovasi gedung itu.
MA Tolak Kasasi Tomy Winata
Mahkamah Agung menolak dua kasasi pengusaha Tomy Winata dalam kasus perdata melawan Koran Tempo dan majalah Tempo. Majelis hakim kasasi yang dipimpin Bagir Manan dengan anggota Djoko Sarwoko dan Atja Sondjaja memutuskan perkara ini pada sidang 9 Februari.
Putusan itu menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI. ”Majelis menilai pertimbangan hukum Pengadilan DKI sudah tepat dan benar,” kata Ketua Muda Perdata MA Harifin A. Tumpa, Kamis pekan lalu.
Dalam kasus pertama, Tomy menggugat wartawan Koran Tempo, Dedy Kurniawan, Pemimpin Redaksi Koran Tempo Bambang Harymurti, dan penerbit Koran Tempo, PT Tempo Inti Media Harian. Ia merasa dicemarkan nama baiknya dalam berita ”Gubernur Ali Mazi Bantah Tomy Winata Buka Usaha Judi”. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebelumnya menghukum Koran Tempo untuk membayar ganti rugi US$ 1 juta (sekitar Rp 9,2 miliar). Pengadilan DKI kemudian mengabulkan banding Koran Tempo.
Pada kasus kedua, Tomy Winata menggugat majalah Tempo karena berita edisi 3–9 Maret 2003 berjudul ”Ada Tomy di ’Tenabang’?”. Tergugat adalah wartawan dan direksi PT Tempo Inti Media, penerbit majalah ini. Pengadilan Jakarta Pusat menghukum majalah Tempo meminta maaf melalui beberapa media cetak serta membayar ganti rugi imateriil Rp 500 juta. Tempo pun mengajukan banding dan diterima.
Pengacara Tomy Winata, Desmond J. Mahesa, mengaku belum tahu putusan MA itu. ”Saya belum bisa berkomentar,” kata Desmon.
Lobi Bahas RUU Pemerintah Aceh
Pemerintah melancarkan lobi kepada para anggota parlemen menjelang pembahasan Rancangan UndangUndang Pemerintahan Aceh. Perwakilan dari sejumlah fraksi Dewan Perwakilan Rakyat pun hadir dalam pertemuan di Hotel Darmawangsa, Jumat malam pekan lalu.
Dari kalangan pemerintah hadir Menteri Dalam Negeri M. Ma’ruf serta Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil. Dari Fraksi Kebangkitan Bangsa ada Ida Fauziyah dan Hilmi Faisal. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera diwakili Zulkiflimansyah dan Mahfud Sidik. Ada pula Endin J. Soefihara dari Partai Persatuan Pembangunan, serta Ketua Fraksi Partai Bintang Reformasi Bursah Zarnubi.
Menurut Endin, pertemuan membahas Rancangan UndangUndang Pemerintahan Aceh. Kedua menteri, kata dia, menjelaskan substansi rancangan.
Endin mengatakan, yang hadir dalam pertemuan tertutup itu sekitar 30 orang. Namun, tidak ada perwakilan dari Fraksi PDI Perjuangan.
Partai Banteng memang masih mempersoalkan perjanjian damai yang diteken pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005, itu. Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menilai perjanjian itu bukan produk hukum yang bisa mendasari pembuatan RUU Pemerintahan Aceh.
Rancangan yang diserahkan pemerintah ke DPR tidak mengakomodasi kemungkinan calon independen pada pemilihan kepala daerah Aceh. Rancangan itu akan segera dibahas oleh Panitia Khusus DPR.
Teman Noor Din Ditangkap di Poso
Satu orang yang diduga berhubungan dengan Noor Din Moh. Top, buron tersangka teroris nomor satu, ditangkap di Poso, Sulawesi Tengah, 9 Februari. Pria itu diidentifikasi sebagai Sahal Alamry alias Sunarto alias Narto, 31 tahun, yang kini ditahan di Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian RI.
Juru bicara Markas Besar Kepolisian RI Komisaris Besar Bambang Kuncoko mengatakan, Sahal ditangkap berdasarkan keterangan tersangka teroris yang ditahan di Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Sahal diduga mempunyai aktivitas yang berhubungan dengan Subur Sugiyarto, tersangka perekrut pelaku bom bunuh diri kelompok Noor Din.
”Kami tengah mendalami peran dan kegiatan Sahal dalam kaitannya dengan aktivitas Noor Din,” kata Bambang, Selasa pekan lalu.
Menurut Bambang, Sahal masih berstatus sebagai saksi. Polisi punya waktu 7 x 24 jam untuk memeriksa dan kemudian menetapkan statusnya.
Bambang menyatakan, polisi terus mengejar Noor Din dan kelompokkelompoknya. Ia mengaku yakin, polisi dalam waktu dekat akan bisa menangkap Noor Din. ”Sepandaipandai tupai melompat, pasti akan jatuh juga,” ia bertamsil soal Noor Din, warga negara Malaysia yang dihargai polisi Rp 1 miliar itu.
Ahmadiyah Diminta Jadi Agama Baru
Gerakan menolak jemaah Ahmadiyah terus berlangsung. Terakhir, aksi perusakan dan pembakaran rumah jemaah Ahmadiyah dilakukan massa di Dusun Ketapang, Desa Gegerungan, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Demi meredam aksi, Sabtu dua pekan lalu para pemuka antaragama pun menggelar pertemuan.
Menanggapi maraknya aksi massa itu, sebuah usul dilontarkan Menteri Agama Maftuh Basyuni. Menurut Pak Menteri, sebaiknya Ahmadiyah keluar saja dari agama Islam dan membentuk agama baru. Terutama jika Ahmadiyah tak mau melepaskan keyakinan kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Ini dilakukan untuk menghindari pertikaian berkepanjangan di antara umat Islam Indonesia. ”Kalau masih menganggap diri mereka Islam, lepaskan keyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmaditu nabi. Tapi, kalau mereka kukuh mempertahankan keyakinannya itu, ya, jangan menggunakan label Islam,” kata Maftuh pekan lalu kepada Tempo di kantornya.
Apalagi, kata Maftuh, Ahmadiyah telah memiliki kitab sucinya sendiri, Tadzikiroh, yang diyakini sebagai kumpulan firman Tuhan untuk Mirza. ”Kenapa tidak seperti penganut agama Baha’i saja, yang meski dilihat unsur Islamnya besar sekali, mereka tidak mengaku beragama Islam,” ujarnya. Dengan begitu, pemerintah dapat melindungi ajaran Ahmadiyah sesuai dengan UUD 45, memberikan jaminan kepada setiap warga negara untuk menjalankan ibadah yang sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
Satu Lagi Anggota KPU Ditahan
Anggota Komisi Pemilihan Umum Daan Dimara menyusul sejumlah rekannya yang telah menghuni sel tahanan. Komisi Pemberantasan Korupsi Senin pekan lalu menahannya dengan tuduhan menyelewengkan anggaran sebesar Rp 2,7 miliar pada proyek pengadaan segel sampul surat suara Pemilu 2004.
”Kualitas barang berbeda dengan kontraknya,” kata Tumpak Hatorangan Panggabean, Ketua Bidang Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jumat lalu, anggota KPU lainnya, Rusadi Kantaprawira, divonis empat tahun penjara. Guru Besar Ilmu Politik Universitas Padjadjaran itu dinyatakan terbukti korupsi pada proyek pengadaan tinta sidik jari pemilihan anggota badan legislatif 2004.
Rusadi dinyatakan melakukan pekerjaan tanpa ada penjelasan soal harga perkiraan sendiri. Ia juga dinilai menunjuk langsung empat rekanan untuk pengadaan tinta impor yang tidak memenuhi syarat.
Selain hukuman empat tahun, Rusadi diwajibkan membayar denda Rp 200 juta atau pengganti dua bulan penjara serta uang pengganti sekitar Rp 1,4 miliar. Jika tak dibayar dalam satu bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap, hartanya akan disita.
Soal putusan itu, Rusadi berujar: ”Vonis ini dilakukan secara tergesagesa.” Jaksa sebelumnya menuntut Rusadi dengan hukuman empat tahun tiga bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo