Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kiri

27 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA mystique di dalamnya, ada politiquedi dalamnya. Dengan itu kita berbicara tidak hanya tentang Gereja Katolik, tapi juga tentang komunisme. Dalam surat terakhir yang ditulis seorang tokoh novel The Comedians Graham Green, itulah yang dikatakan waktu ia jelaskan kenapa ia kagum kepada gerakan kiri itu.

Mystique berkait dengan pesona. Di Indonesia, mystique itu bertambah karena sejarah. "Kiri" telah jadi semacam label yang memukau kalangan cendekiawan dan anak muda: ada sesuatu yang "tidak biasa" di sana, ada keberanian, perlawanan, kebandelan, sesuatu yang seksi. Orang tua boleh merasa jeri, tuan dan nyonya boleh terus waswas, bapak boleh terus tertib dan membosankan. Tapi justru sebab itu—untuk memberontak dan mengusik yang nyaman, untuk mengguncang yang terlena dan tak peduli dunia di luar pintu—jadi "kiri" memberi rasa bangga tersendiri. "Kanan", sebaliknya, dirasakan sebagai cemooh.

Apalagi karena yang "kiri" dikaitkan dengan Marxisme-Leninisme, apalagi karena Marxisme-Leninisme itu barang terlarang (dan tiap barang terlarang adalah barang yang merangsang), apalagi karena "bahaya PKI" selalu didengung-dengungkan seakan-akan dialah kekuatan rahasia yang tak kunjung kalah.

Tetapi tentu tak hanya sebab itu "kiri" jadi menarik. Juga tak salah untuk terpesona. Magiot, tokoh dalam The Comedians itu, punya alasan yang layak didengar: "Orang Katolik dan orang Komunis pernah berbuat kejahatan besar, tapi setidaknya mereka tak cuma berdiri di pinggir… dan acuh tak acuh."

Mungkin itu yang bisa dikatakan tentang ciri ke-kiri-an: mereka yang tak cuma berdiri di pinggir ketika "kaum yang lapar, kaum yang terhina" yang disebut dalam lagu Internationale itu sedang dirantai, tak hanya berdiri acuh tak acuh ketika kemerdekaan sedang dibabat.

Tetapi tentu saja kini ada beberapa persoalan besar yang belum terjawab. Marxisme-Leninisme, dengan segala mystique dan politique-nya, gagal membangun jalan ke pembebasan yang dimimpikan rakyat bertahun-tahun. Di Polandia, seperti hampir di seluruh Eropa Timur, yang terjadi ialah tumbangnya kekuasaan "kediktatoran proletariat" oleh pemberontakan kaum proletariat. Dan tak cuma itu: kemudian kita pun lihat bagaimana organisasi buruh yang tampil memimpin negeri itu dengan cepat menswastakan perusahaan-perusahaan publik—dan kapitalisme pun lahir, berkembang, seperti tak akan terkalahkan.

Kenapa? Kenapa "kediktatoran proletariat" itu akhirnya jadi "kediktatoran atas proletariat"—suatu hal yang sebenarnya sudah diperingatkan oleh Rosa Luxemburg ketika tokoh besar sosialisme Jerman itu mengkritik partai yang dibangun Lenin? Bukankah terbukti benar buku Milovan Djilas, Kelas Baru, yang 45 tahun yang lalu dicerca habis-habisan oleh kaum Kiri, karena tokoh komunis Yugoslavia itu mengungkapkan transformasi para fungsionaris Partai jadi tuan-tuan yang hidup lezat di atas kaum pekerja? Benarkah eksploitasi manusia oleh manusia hanya bisa diterangkan dengan teori "nilai-lebih", hingga hanya mereka yang bermodal yang bisa mengisap?

Pertanyaan itu bisa ditambah sampai panjang daftarnya. Sebuah sosialisme yang menyebut diri "sosialisme ilmiah" seharusnya mampu mengusahakan jawab yang bisa diperdebatkan dengan serius. Tapi kesulitan telah timbul karena ajektif "ilmiah" di situ berbau positivisme yang tajam: "ilmiah" berarti "pasti betul".

Di zaman ini, positivisme itu menggelikan. Ketika ilmu pengetahuan semakin rumit, kita tahu bahwa justru kata "ilmiah" berarti bertolak dari kemungkinan untuk salah. Justru dengan mengakui kemungkinan itu, sebuah teori menuntut verifikasi dan sifat ilmiah itu menjadi sah. Tapi ketika akhirnya teori Marxis bersikap "pasti betul", tiap pertanyaan pun mengganggu, tiap keraguan jadi bidah. Yang tersisa hanya jawab yang final. Dan ketika jawab itu merasa sanggup menyahut segala perkara—dari soal land reform sampai dengan soal puisi, dari soal fisika sampai dengan soal politik luar negeri—ia pun tak bisa menjelaskan kenapa ia sampai bisa keliru begitu jauh.

Sebenarnya, bagi mereka yang "tidak cuma berdiri di pinggir" ketika pengisapan harus dilawan, kekeliruan apa pun tak butuh para apologis. Di tengah jalan pembebasan yang tak sederhana, salah teori adalah bagian dari laku. Dan ketika menjadi "Kiri" yang tak lagi sikap yang dramatis, dan mystique itu susut, yang dipertaruhkan tinggal politique. Dengan kata lain, yang dipertaruhkan adalah tindak dalam kancah kebersamaan.

Barangkali akhirnya "Kiri" yang berani adalah "kiri" yang berangkat melawan penderitaan tanpa bekal kebenaran, tapi penuh dengan kecintaan.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus