Kadang, impian terlampau pendek untuk sebuah kenyataan yang getir. Tanyakanlah itu kepada bekas Menteri Koperasi dan Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah, Adi Sasono. Dua tahun lalu, ia begitu bergelora dengan ide perekonomian rakyat dan distribusi aset. Tanpa ampun ia menyerang mereka yang mengkhawatirkan kredit yang disiapkannya untuk pengembangan usaha kecil dan menengah. "Apa artinya uang Rp 10 triliun ketimbang utang konglomerat?" katanya berapi-api. Ia seperti yakin betul, dana triliunan itu akan sampai ke sararan dan mampu mengangkat hidup kaum papa.
Tapi kenyataan tak seindah cita-cita. Tak sampai dua tahun kemudian: borok itu diungkap di depan sidang DPR oleh Menteri Pertanian, dua pekan lalu. Menurut Menteri Prakosa, kredit macet KUT kini mendekati Rp 6 triliun. Jumlah itu hampir 80 persen total KUT tahun anggaran 1998/1999, yang nilainya Rp 7,7 triliun. "Ini rekor yang sungguh-sungguh fantastis," kata seorang pejabat Departemen Pertanian.
Selama ini KUT dikenal sebagai kredit tol alias bebas macet. Tingkat pengembaliannya di atas 80 persen. Bahkan, menurut Djokosantoso Moeljono, Direktur Utama BRI, yang banyak menyalurkan pinjaman bank ke desa-desa, kredit macet KUT di BRI cuma 2-4 persen. Lagipula, pada masa-masa sebelumnya, plafon KUT dalam satu tahun anggaran tak lebih dari Rp 300 miliar. Lah kok, sekarang ada KUT Rp 6 triliun, macet lagi. Opo tumon?
Tudingan langsung diarahkan ke Adi Sasono dan Partai Daulat Rakyat (PDR), yang sempat mencalonkan Adi sebagai presiden dalam pemilu lalu. Maklumlah, KUT raksasa itu disalurkan ketika Adi menjadi Menteri Koperasi dan Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah. Menurut Badan Analisa Keuangan dan Moneter (BAKM) Departemen Keuangan, pelbagai penyimpangan muncul seiring dengan kebijakan Adi mengelola penyaluran KUT.
Untuk menggenjot gerak perekonomian kecil dan menengah, Adi membuat pelbagai kebijakan sehingga KUT mudah dicairkan. Misalnya, ada 17 skema kredit baru yang memberi peluang kepada petani nonberas—buah, misalnya—ikut mendapatkan KUT. Sistem penyalurannya juga diubah dari semula langsung (lewat bank) jadi lewat perantara LSM dan koperasi. Bunganya pun disunat dari 14 persen jadi 10,5 persen. Menurut Adi, itu dilakukan untuk memberikan perlakuan yang adil kepada petani, yang selama Orde Baru ditinggalkan dan disisihkan.
Tapi ternyata konsep-konsep gagah itu penerapannya mencang-mencong. Departemen Keuangan mencatat, jumlah alokasi kredit yang diajukan kantor Adi jauh lebih besar ketimbang kebutuhan petani selama ini. Itu terjadi karena pemerintah membiayai seluruh kebutuhan produksi. Padahal, sebelumnya petani biasanya hanya membutuhkan kredit 40-50 persen dari ongkos produksi.
Selain itu, Departemen Keuangan juga menemukan ada manipulasi luas lahan yang mendapatkan KUT. Pejabat itu menjelaskan, KUT diberikan berdasarkan luas lahan pertanian. Jika dihitung cermat, dana KUT pada tahun anggaran 1998/1999 itu dipakai untuk membiayai ongkos produksi pertanian yang 20 persen lebih luas dari lahan yang ada. Bahkan ada kejadian lucu di Sulawesi. Luas lahan yang dimintakan KUT-nya melebihi luas kabupaten bersangkutan. Tak aneh jika jumlah KUT membengkak.
Repotnya lagi, sebagian besar kredit itu ternyata macet. Menurut temuan Departemen Keuangan, tingkat pengembalian KUT di berbagai daerah cuma 10-20 persen. Sampai Maret 2000, ketika semua KUT 1998/1999 jatuh tempo, sumber TEMPO di Departemen Keuangan mengaku tidak yakin jumlah KUT yang kembali akan melebihi 30 persen—jauh di bawah rata-rata 80 persen seperti selama ini.
Bagaimana itu semua bisa terjadi? Pejabat Departemen Keuangan tadi menduga penyaluran KUT dilakukan serampangan. Keterlibatan LSM dan koperasi yang belum berpengalaman membuat dana KUT salah sasaran. Bahkan, tak jarang, ada KUD atau LSM yang nakal sehingga dana KUT itu tidak sampai ke tangan petani, seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan atau Malang, Jawa Timur. Di Sul-Sel ada Rp 27 miliar dana KUT yang tak diterima petani.
Bukan hanya itu. Koperasi dadakan bermunculan menyambut datangnya rezeki tiban dari KUT. Hitung saja, fee yang secara resmi bisa diperoleh perantara mencapai 5 persen. Tak aneh jika anggota DPR sampai menemukan fakta bahwa KUT yang diterima petani hanya 70 persen. Selebihnya masuk kantong pejabat atau para penyalurnya.
Sudah begitu, penagihan kredit yang jadi tanggung jawab para makelar itu kedodoran. Menurut Teguh Wahyu, seorang analis di BAKM, banyak koperasi atau LSM yang didirikan hanya agar bisa ikut menyalurkan kredit. Setelah kredit cair, mereka tak mau lagi berurusan dengan petani. Ada pula pengurus LSM atau koperasi yang menunda penyetoran cicilan petani ke pemerintah. "Mereka tahu," katanya, "bahwa masa pengembaliannya setahun, jadi duit cicilan itu diputar dulu." Tak aneh jika petani terkaget-kaget ketika ada pegawai bank yang menagihnya.
Barangkali karena begitu banyak lubang, ada yang menduga kebocoran ini dirancang sejak awal. Ketua Urban Poor Consortium Wardah Hafidz mengatakan, penyaluran KUT dengan cara makelar dipakai Adi untuk mengumpulkan dana bagi kepentingan PDR, partai yang baru berdiri setelah Soeharto tumbang. "Dengan sistem kredit langsung," katanya, "mereka tak mungkin menjala dana politik itu." Wardah antara lain mengungkapkan pendirian PDR di Jawa Timur yang dilakukan pimpinan Kanwil Koperasi Jawa Timur atau juga pengeluaran dana sosialisasi PDR di Jombang oleh Kepala Kandep Koperasi Jombang, Jawa Timur.
Hebatnya pula, pelbagai "pesta-pora" ini seperti dilindungi peraturan pemerintah. Menurut Peraturan Pemerintah No. 83/1999, pemerintah menanggung risiko kredit KUT. Padahal, sebelumnya, risiko ditanggung bank penyalur, pemerintah cuma menanggung subsidi bunga. Kalau kreditnya sekarang macet 80 persen, pemerintahlah yang harus membayarnya kepada Bank Indonesia. Pemerintah juga masih menanggung beban tambahan subsidi bunga gara-gara tingkat bunga KUT diturunkan menjadi 10,5 persen. Pada tahun lalu saja, subsidi bunga yang dibayar pemerintah dan masuk APBN mencapai Rp 2,1 triliun.
Tapi benarkah Adi terlibat dengan semua kebocoran ini? Walahualam. Tapi, yang pasti, Adi membantahnya. Bekas menteri dan pentolan LSM yang dikabarkan terbaring sakit itu membantah keterlibatannya di PDR. "Saya tak masuk partai mana pun," katanya kepada TEMPO. "Saya juga tak bisa melarang PDR mencalonkan saya."
Adi juga membantah bahwa tingkat pengembalian KUT amat kecil. Dia mengaku terus memantau pengembalian KUT. Menurut dia, rata-rata tingkat pengembalian KUT mencapai 28,5 persen. Bahkan, untuk program yang didampingi dengan intensif pengembaliannya sampai 41 persen. "Masa, dibilang cuma 10-20 persen," katanya. "Ini soal nama baik petani, jangan memfitnah rakyat."
Menurut Adi, perekonomian nasional selama ini berpihak kepada pengusaha besar. Selama Orde Baru, katanya, areal sawah yang mendapatkan KUT cuma 2 persen, tak ada artinya dibandingkan dengan Thailand, yang bisa menyediakan 100 persen. Selain itu, jatah untuk petani sangat kecil dibandingkan dengan konglomerat, yang hidup dengan kredit kakap. Lulusan ITB itu menghitung, konglomerat secara keseluruhan mendapatkan pinjaman perbankan sekitar Rp 930 triliun, yang sebagian besar (Rp 650 triliun) sekarang macet.
Lebih dari itu, konglomerat yang punya bank masih juga mendapatkan bantuan pemerintah berupa subsidi bunga rekapitalisasi Rp 42 triliun setahun. "Coba cari tahu, berapa orang yang dapat untung dari situ. Mengapa kita mesti meributkan pinjaman kepada 6 juta orang yang selama ini selalu kesulitan mendapat pinjaman bank? Mengapa usil sama orang kecil?" katanya.
Walaupun begitu, semua alasan Adi tak membuat KUT bisa bebas tanpa bayar. Bagaimanapun, utang harus dibayar. Kalau tidak, petani juga yang rugi. Pinjaman musim tanam 1999/2000, misalnya, akan diberikan berdasarkan pengembalian KUT tahun sebelumnya. Jika kecil, KUT tahun berikutnya akan lebih kecil. Lagipula, kalau konglomerat dan petani sama-sama ngemplang utang, kepada siapa lagi perbankan bisa menyalurkan uangnya?
Karena itu, DPR dan pemerintah dalam pertemuannya dua pekan lalu sepakat mengembalikan penyaluran KUT ke mekanisme lama. Adi serta-merta jengkel mendengar kesepakatan itu. "Mereka mengkhianati petani. Ini kejahatan politik," katanya. Tapi hukum dan keadilan tetap harus ditegakkan. Ketimpangan alokasi tak ada kaitannya dengan pengemplangan. Jika ngutang, baik petani maupun pengusaha mesti sama-sama bertanggung jawab.
M. Taufiqurohman, Iwan Setiawan, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini