Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengintip Inflasi Sebentar Lagi

Kalau pemerintah berhati-hati menaikkan gaji pegawai negeri, tarif listrik, harga BBM, dan UMR, mengapa DPR menuntut persentase kenaikan yang lebih tinggi? Beban rakyat sudah teramat berat, jadi sebaiknya jangan ditambah lagi dengan lonjakan inflasi.

27 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Pasar Kramatjati, tak ada tempat untuk kantuk pada malam hari. Pasar yang selalu jadi barometer harga pangan untuk kawasan Jabotabek ini sejak pukul sepuluh malam justru tampak kian hidup dan menantang. Pedagang sibuk menggelar aneka barang sembari melayani para pembeli. Beragam aroma, mulai segarnya sayuran sampai amisnya ikan, bertabrakan di sini. Tapi tak ada yang terganggu. Bahkan, kesibukan di pasar yang memakan sebagian Jalan Raya Bogor itu justru makin marak menjelang pagi. Begitulah irama Kramatjati, yang nyaris seragam dari hari ke hari. Memang, ada sedikit perubahan dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya: harga-harga mulai naik. Daun singkong, yang semula hanya Rp 50 seikat, kini harus dibeli seharga Rp 200. Jagung, yang dulu dihargai Rp 250, kini tak boleh kurang dari Rp 300. "Barangkali dari sana barangnya kurang," kata Acib, pedagang sayuran yang biasa mengambil pasokan hasil bumi dari Sukabumi. Kenaikan ini tentu saja dikeluhkan pembeli. Tapi, apalah daya ibu-ibu yang tiap hari harus menghadirkan sayur dan lauk-pauk di atas meja? Lagi pula, harga-harga yang merambat naik bila dibandingkan dengan harga bulan lalu itu sebenarnya masih lebih murah ketimbang harga saat sekitar Lebaran tempo hari. Pendek kata, harga-harga cenderung akan naik setelah secara resmi pemerintah nanti mengumumkan kenaikan gaji pegawai negeri, tarif listrik, dan harga bahan bakar minyak (BBM). Persentase kenaikan itu masih digodok oleh DPR, kini. Yang pasti, wakil rakyat lebih "bersemangat" merencanakan kenaikan ketimbang pemerintah. Andaikata para anggota DPR bersikeras, bagaikan bumerang, kenaikan gaji pegawai negeri yang tinggi akan balik membentur ekonomi rakyat dengan lonjakan harga. Maka, rakyat yang bukan pegawai negeri dan selama tiga tahun terus-menerus terpuruk akan kembali menjadi bulan-bulanan inflasi. Berdasarkan perkiraan itu, tak sedikit orang yang berpendapat agar sebaiknya kenaikan tarif listrik dan harga BBM ditunda saja. Atau, kalau tidak, kenaikannya diperketat. Soalnya, selagi potensi ekonomi rakyat belum bisa diberdayakan—sektor riil belum juga bergerak—sulit mencari alasan untuk membebani hidup mereka dengan kenaikan harga dan lonjakan inflasi. Namun, pengamat ekonomi Adrian Panggabean tak setuju dengan kenaikan yang berhati-hati ini. "Pemerintah sekarang sudah legitimate. Jadi, tak perlu populis dan tak usah takut menaikkan harga," katanya. Ia juga menilai target inflasi sebesar 4,8 persen yang dipatok pemerintah masih sangat wajar, bahkan rendah. Ia tak cemas ekonomi akan memanas karena daya beli masyarakat masih rendah. Memang, dalam waktu singkat—katakanlah enam bulan ke depan—masyarakat akan menjerit, tapi dalam jangka panjang, manfaatnya akan terasa. Karena itu, Adrian menyesalkan pemerintah yang ragu-ragu memangkas subsidi. Harga bensin premium baru, sebesar Rp 1.100 per liter, disebutnya terlalu rendah bila dibandingkan dengan harga di kawasan ASEAN, yang berkisar Rp 1.500-1.600. Soalnya, dengan kenaikan yang malu-malu ini, pemerintah justru kehilangan kesempatan untuk meraih Rp 8 triliun dari kenaikan bensin. Sementara itu, bila tarif listrik bisa naik 20 persen, uang sebesar Rp 2 triliun bisa diraup. Tumpukan dana ini tentu bermanfaat untuk membayar kewajiban bunga obligasi. "Kalau kebijakannya populis terus, yang hancur justru disiplin kebijakan fiskalnya," Adrian mengingatkan. Lain lagi reaksi Direktur Pelaksana Indef, Nawir Messi. Ia mencemaskan buruknya koordinasi antarpejabat tinggi di bidang ekonomi dan keuanganlah yang akan mempercepat lari inflasi. Ia mencontohkan harga gabah, yang kini hancur tapi seolah dianggap sepi oleh lembaga-lembaga yang berwenang. Padahal, bila hal ini berlarut-larut, masyarakat luaslah yang paling menderita karena 30 persen dari struktur inflasi disumbang oleh sektor pangan. Namun, bila hal ini bisa diatasi pemerintah, ia optimistis inflasi paling banter akan bertengger pada kisaran enam persen. "Bila sudah menembus tujuh persen, itu sudah gawat, dan pemerintah harus menaikkan suku bunga," kata Nawir. Lebih jauh, Nawir melihat hanya kenaikan harga BBM yang nanti akan berpengaruh terhadap inflasi, sementara kenaikan gaji pegawai negeri tak akan banyak dampaknya. Inflasi, menurut Nawir, akan terjadi bila perekonomian bergerak. Inilah yang dirasanya masih sulit. Contohnya, penyaluran kredit saja begitu seret, sekalipun suku bunga rendah. Karena itu, bila pemerintah berencana menaikkan suku bunga sekarang, Nawir menganggap, "Itu bunuh diri." Masalahnya, penurunan harga-harga beberapa waktu yang lalu bukan terjadi karena keberhasilan kebijakan moneter, melainkan karena rendahnya daya beli masyarakat. Sementara itu, ekonom Raden Pardede dari Danareksa yakin, inflasi bisa mencapai 7-8 persen dalam tahun anggaran ini. Tapi, "Itu normal saja, asalkan pertumbuhan ekonomi baik," katanya. Suku bunga naik pun sebenarnya tak jadi masalah, sepanjang pemerintah bisa memberi garansi kepada investor bahwa risk premium bisa diturunkan. "Cara ini bisa membuat Indonesia tetap menarik walaupun real interest rate-nya turun," kata Raden. Dalam hal ini, situasi politik dan keamanan harus stabil. Tapi, bila pemerintah ingin menjaga target inflasinya pada kisaran 4-5 persen, diingatkannya agar Bank Indonesia (BI) memainkan kontrol yang ketat terhadap suplai uang. Bila BI mampu mengontrol peredaran uang, inflasi tak harus terlalu dikhawatirkan. Pertimbangan yang menyangkut daya kontrol BI ini memang tepat sekali karena sejak sekarang, bank sentral lebih besar peranannya dalam menciptakan stabilitas moneter, termasuk tingkat inflasi. Bila Adrian dan Raden tak begitu khawatir akan lonjakan inflasi, pengamat ekonomi Sri Mulyani justru tak mampu menyembunyikan kecemasannya. "Beban pemerintah akan makin besar karena harus membayar obligasi," katanya. Pengamat kondang yang akrab dipanggil Ani ini memperkirakan, angka inflasi berkisar 7-9 persen. Suku bunga tinggi, misalnya sampai 15 persen, juga akan membuat obligasi dengan bunga tetap 12-14 persen susah dijual. Berbeda dengan pengamat lain yang "meremehkan" kenaikan gaji pegawai dan upah minimum regional (UMR), ia menilai dua hal itu justru pelecut utama inflasi. Kenaikan inflasi dari sisi ini bisa diatasi jika pemerintah berhasil mempertahankan harga beras. "Tapi, itu hanya menunda masalah," ujar Ani pula. Dalam pandangannya, langkah pemerintah yang terpenting saat ini adalah menentukan skala prioritas, agar tak terjadi inkonsistensi. Bila prioritasnya pemulihan sekaligus melindungi masyarakat yang paling kena krisis, referensi ini tak boleh diselewengkan. Misalnya kebijakan pengenaan tarif beras yang tinggi. "Sepintas ini menguntungkan petani, tapi kalau mereka juga harus membeli beras itu, kan tidak banyak artinya," katanya. Distribusi yang buruk karena tak tersedianya infrastruktur yang memadai juga berpotensi melambungkan inflasi. Namun, Menteri Perdagangan Jusuf Kalla menganggap hal ini belum jadi masalah besar. "Tidak apa-apa, karena ekonomi sedang menurun," katanya. Apalagi, menurut Jusuf, spekulan tidak begitu bisa bermain, misalnya karena tak ada fluktuasi harga. Namun, ia segera menambahkan, begitu ekonomi membaik, kekurangan infrastruktur harus ditambal. Masalah baru dipastikan muncul karena belum tersedianya anggaran pemerintah untuk pembangunan. Karena itu, Jusuf punya kiat pengendalian harga. "Serahkan saja kepada mekanisme pasar," katanya. Bicara soal inflasi, "Yang berbahaya adalah cost-pushed inflation yang menyebabkan naiknya biaya produksi," demikian Anggito Abimanyu, pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada. Dengan kata lain, demand-pulled inflation tidak perlu dikhawatirkan. Tapi, anggapan masih luasnya ruang permintaan ini tidak disetujui Sri Mulyani. Alasannya, sejak krisis, persoalannya bukan pada demand yang menurun, tapi justru pada sisi suplai yang rontok. Ani juga tak sepakat bahwa jika ekonomi tidak terlalu memanas (overheating), kenaikan pendapatan akan kecil pengaruhnya pada inflasi. "Masalahnya bukan di situ, tapi karena supply bottleneck," katanya menekankan. Ini berarti kendala di sisi suplai bukan karena kapasitas rendah, tapi karena bank belum mampu memberikan pinjaman. Banyak perusahaan, sekalipun mempunyai kapasitas, juga tidak bekerja karena terhalang banyak masalah seperti restrukturisasi utang. Dalam upaya menata kembali perekonomian kita, inflasi barangkali tak bisa dihindari. Masalahnya, kalau saja inflasi bisa diprediksi secara lebih tepat—mudah-mudahan instrumen yang dimiliki BI cukup bisa diandalkan—ia akan lebih mudah dikendalikan. Dan ini penting, setidaknya agar beban rakyat juga tak menjadi terlalu berat. Dengan kata lain, kebijakan apa pun yang digariskan, harapan publik cuma satu, yaitu uang mereka masih lumayan nilainya sampai jangka waktu yang cukup lama. Yusi A. Pareanom, Leanika Tanjung, Agus Slamet

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus