Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPOLISIAN Republik Indonesia harus menjelaskan secara gamblang penangkapan terduga teroris Novendri. Ia dituduh terlibat rencana pengeboman sejumlah fasilitas dan kantor polisi di Sumatera Barat pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus nanti. Tuduhan bagi lelaki 39 tahun yang sehari-hari menjadi tukang ojek dan pedagang garam itu sungguh berat sekaligus meragukan.
Novendri diciduk tim Detasemen Khusus 88 Antiteror di rumahnya di kawasan Berok Nipah, Padang Barat, pada pertengahan Juli lalu. Enam hari kemudian, Markas Besar Polri mengumumkan penangkapan ini dengan sederet tudingan. Ia dituduh berafiliasi dengan jaringan Jamaah Ansharud Daulah yang berada di Indonesia dan luar negeri.
Polisi juga membeberkan barang bukti berupa peralatan untuk membikin bom, seperti panci kecil, lima buah gulungan kawat, dan satu buah sambungan pipa kecil. Ada pula sebuah laptop, tujuh unit telepon seluler, enam SIM card, beberapa dokumen pribadi, buku jihad, dan uang tunai Rp 1,5 juta.
Sederet bukti yang diklaim Mabes Polri ditemukan saat penangkapan itulah yang meragukan. Istri dan keluarga Novendri mengatakan bahwa Novendri tidak bisa menggunakan komputer. Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat Inspektur Jenderal Fakhrizal menyatakan anggotanya tak menemukan bahan peledak dan peralatan untuk membikin bom saat penangkapan. Ia pun tidak mencium adanya rencana teror terhadap kepolisian di wilayahnya.
Mabes Polri harus segera menjelaskan kasus Novendri secara transparan. Jangan sampai ia menjadi korban dari penangkapan secara serampangan. Apalagi bukan hanya kali ini polisi ditengarai gegabah dalam menciduk dan memeriksa terduga teroris. Sebelumnya, Detasemen Khusus 88 dituding melakukan interogasi berlebihan terhadap 350 tahanan teroris. Proses penahanan mereka tertutup. Keluarga dan pengacara pun tak bisa menjenguk para tahanan itu. Tindakan sewenang-wenang dan asal tuduh memungkinkan karena Detasemen Khusus 88 diberi wewenang yang amat besar. Sesuai dengan Undang-Undang Pemberantasan Terorisme, yang telah direvisi pada tahun lalu, polisi diperbolehkan menahan siapa pun yang dituduh terlibat terorisme hingga 21 hari. Penahanan bisa dilakukan hanya dengan dasar “bukti permulaan yang cukup”.
Kewenangan yang berlebihan itu rawan disalahgunakan. Undang-Undang Antiterorisme juga memuat definisi yang terlampau luas mengenai kejahatan ini. Akibatnya, simpatisan atau orang yang punya hubungan dengan organisasi teroris saja dapat ditangkap polisi, tanpa peduli derajat keterlibatannya.
Kepala Polri perlu mengevaluasi cara kerja Detasemen Khusus 88 yang terkesan tak profesional. Tuduhan serius seperti terlibat rencana pengeboman semestinya diperkuat dengan bukti yang meyakinkan. Proses pengambilan barang bukti pun harus dilakukan secara cermat dan disaksikan masyarakat setempat.
Terorisme memang harus dicegah dan diberantas, tapi upaya ini tidak boleh dilakukan serampangan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia perlu menyelidiki kemungkinan adanya pelanggaran hak asasi dalam penanganan berbagai kasus terorisme. Dewan Perwakilan Rakyat pun semestinya ikut memantau penanganan kasus terorisme lewat sebuah tim pengawas.
Kasus Novendri makin memperlihatkan bahwa wewenang penegak hukum yang berlebihan dalam menangani terorisme amat berbahaya. Pemerintah dan DPR perlu merevisi lagi Undang-Undang Antiterorisme demi mencegah penangkapan yang sewenang-wenang dan menabrak hak asasi manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo