Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOCORNYA sumur pengeboran lepas pantai PT Pertamina Hulu Energi di perairan Karawang, Jawa Barat, merupakan skandal yang harus diusut tuntas secara transparan. Kerusakan ekosistem laut dan wilayah pesisir yang kini meluas tak cukup dibayar dengan komitmen Pertamina untuk mengganti segala kerugian. Pemerintah juga harus memastikan biang persoalan yang menyebabkan proyek senilai US$ 85,4 juta atau sekitar Rp 1,2 triliun ini berakhir tanpa hasil.
Petaka berawal pada Jumat dinihari, 12 Juli lalu, di anjungan YYA-1 yang berhadapan dengan Pantai Pasir Putih, Cilamaya, Kabupaten Karawang. Fasilitas produksi terbaru milik PHE itu sedianya akan mereaktivasi bekas sumur eksplorasi YYA-4 di Blok Offshore North West Java. Namun operasi dihentikan ketika gelembung gas tampak menyembul di sekitar anjungan. Empat hari kemudian, minyak mentah mulai meluap dan melapisi permukaan laut dengan volume 3.000 barel per hari.
Rentetan peristiwa itu baru dipaparkan Pertamina dua pekan setelah kebocoran sumur teridentifikasi. Kala itu, minyak telah menerjang bibir pantai di delapan desa Kabupaten Karawang. Sebelumnya, perseroan lewat pemberitaan hanya menyinggung soal kebocoran gas dan miringnya anjungan YYA-1. Padahal dari paparan itu pula akhirnya diketahui bahwa Pertamina telah menyatakan keadaan darurat dan melaporkannya ke sejumlah kementerian, dua hari setelah kebocoran.
Pertamina semestinya tak menganggap ringan masalah ini. Perusahaan pelat merah itu seperti mengulang kesalahan dalam menghadapi bencana di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, awal tahun lalu. Kala itu, perseroan juga sempat menutup fakta bahwa kobaran api dan tumpahan minyak di laut dipicu oleh bocornya saluran pipa penghubung Kilang Balikpapan dengan Terminal Crude Lawe-lawe di Penajam Paser Utara.
Sikap Pertamina yang kembali tertutup di masa awal kondisi darurat kali ini telah membuang waktu yang berharga bagi masyarakat di Karawang dan Kabupaten Bekasi untuk menghindari kerugian. Hingga akhir bulan lalu, ribuan hektare tambak dipastikan gagal panen karena tercemar tumpahan minyak. Puluhan alat tangkap nelayan pun rusak terpapar pekatnya emas hitam. Mangrove yang tersebar memanjang di dua wilayah tersebut kini terancam mati.
Sepekan terakhir, tumpahan minyak dilaporkan telah memasuki perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, yang kaya biota bawah laut. Pertamina tidak hanya wajib bertanggung jawab, tapi juga layak dihukum berat atas segala bentuk kerusakan yang mungkin meluas.
Insiden di perairan Karawang sekali lagi menjadi bukti betapa lemahnya mekanisme penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006. Aturan ini hanya mengedepankan koordinasi antarinstansi dan mengabaikan pentingnya informasi kepada publik tentang potensi bahaya. Padahal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan tegas memprioritaskan pemberian informasi kepada masyarakat dalam penanggulangan pencemaran.
Itu sebabnya pemerintah dan Pertamina perlu segera memaparkan kepada publik soal detail kebocoran di sumur YYA-1. Hingga kini, tak satu pun yang mau menjelaskan bagaimana minyak dan gas bisa meluap ke luar sumur. Apakah ada kebocoran di pipa atau mulut sumur? Atau ada permukaan dasar laut di sekitar sumur yang ambrol? Ketidakjelasan informasi justru melemahkan kepercayaan publik terhadap upaya menutup sumber kebocoran yang tengah dilakukan Pertamina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo