Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Samsudin Adlawi*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah hiruk-pikuk peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional, 21 Februari lalu, tiba-tiba saya teringat Ibu. Terutama cara bicara dan bahasa yang digunakannya. Sejak kecil hingga besar seperti sekarang, saya masih sering mendengar kata dan istilah unik dari mulut Ibu. Misalnya saat berkomunikasi lewat telepon ataupun ngobrol langsung ketika Lebaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Unik karena kata dan istilah yang diujarkan Ibu terdengar tidak lazim di telinga saya. Meski begitu, saya tetap paham maksudnya. Sebab, bukan hanya ibu saya, hampir semua warga di kampung tempat tinggal Ibu terbiasa memakai kata dan istilah yang kurang-lebih sama.
Misalnya ketika saya berpamitan (melalui telepon) hendak pergi ke luar negeri, ibu saya langsung mengajukan pertanyaan: “Opo awakmu arep numpak kapal mabur?” Artinya adalah apakah kamu hendak (pergi) naik kapal mabur.
Pertanyaan yang sama selalu keluar dari mulut Ibu setiap saya meminta didoakan agar perjalanan ke luar provinsi atau ke luar negeri berjalan lancar, selamat sampai tujuan, dan kembali ke rumah dengan selamat pula.
Kapal mabur adalah bahasa Jawa. Lebih tepatnya itu frasa bahasa ibu saya. Kalau diindonesiakan menjadi “kapal terbang”. Istilah kapal terbang terdengar aneh di telinga. Karena penasaran, saya pun menelusurinya di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi V. Mula-mula saya lihat lema “kapal”. Definisinya cukup panjang, yakni kendaraan pengangkut penumpang dan barang di laut (sungai dsb) terbuat dari kayu atau besi, bertiang satu atau lebih, bergeladak, digerakkan oleh mesin atau layar.
Penjelasan KBBI itu sangat klir. Bahwa “kapal” adalah 1. Kendaraan yang bergerak di air, bisa laut atau sungai. Selain mengetahui moda angkutan air, kita mengenal moda angkutan darat dan udara. 2. Selalu punya tiang dan geladak. Dan 3. Digerakkan oleh mesin atau layar.
Kata “kapal” melahirkan sangat banyak gabungan kata. Semua berhubungan dengan air, kecuali dua: “kapal terbang” dan “kapal udara”. Kapal udara diartikan sebagai “kapal terbang”. Sedangkan makna “kapal terbang” terkesan dipaksakan oleh KBBI, yaitu kapal atau pesawat yang dapat terbang. Pengertian itu bertolak belakang dengan pemaknaan “kapal” (yang dicatat KBBI), yakni sebagai kendaraan pengangkut penumpang dan barang di laut atau sungai, bukan kendaraan yang mabur di udara.
Masih soal kendaraan, selain memakai istilah kapal mabur, ibu saya sampai sekarang menganggap mobil sama dengan montor. “Opo nggowo montor dewe?” Ibu bertanya saat saya minta didoakan sebelum bepergian ke luar kota. Yang dimaksud ibu saya montor tidak lain adalah mobil.
Bagi orang tua, apalagi tinggal di desa seperti ibu saya, mengubah pemahaman bahwa montor berbeda dengan mobil atau mobil tidak sama dengan montor adalah pekerjaan sangat sulit. Bahkan, saat berbelanja ke pasar kota, para tetangga ibu saya di Kampung Paloloan, Gapura, Sumenep, Madura, Jawa Timur, masih saja mengatakan pergi ke kota naik montor pikap. Padahal sesungguhnya mereka naik mobil pikap.
Ternyata KBBI tidak mencatat montor sebagai salah satu lemanya. Awalnya saya menduga montor yang dimaksud Ibu sama dengan “motor”. Ternyata bukan. Saya kecele. Pada kesempatan lain, ketika saya tanya saat berbelanja pasar kota naik apa, Ibu menjawab: “dibonceng sepeda sama kakak”.
Saya yang tinggal di Jawa (Banyuwangi, Jawa Timur) tidak percaya. Tidak mungkin ibu dan kakak saya pergi ke pasar naik sepeda. Selain jaraknya cukup jauh, jalannya naik-turun begitu curam. Saya cek kepada Kakak, ternyata yang dimaksud Ibu sepeda adalah (sepeda) motor.
Yang pasti sepeda dan motor berbeda dengan mobil. Sepeda atau motor umumnya beroda dua. Depan dan belakang. Sedangkan mobil merupakan kendaraan darat yang digerakkan oleh tenaga mesin, beroda empat atau lebih (selalu genap), biasanya menggunakan bahan bakar minyak untuk menghidupkan mesinnya (KBBI).
Wabakdu. Sudah berulang kali saya mengatakan kepada Ibu bahwa saya pergi ke luar negeri naik pesawat. Tapi ibu saya selalu lupa. Yang terekam di otaknya hanya kapal mabur. Pun saat saya ngomong mengendarai mobil saat mudik ke Madura. Ibu saya tetap kesulitan menyebut “mobil”. Beliau lebih lanyah menyebut “montor”.
Saya tidak akan mengoreksi Ibu lagi. Sebab, kapal mabur dan montor selalu mengingatkan saya kepada Ibu. Itulah bahasa ibu saya. Bagaimana dengan bahasa ibu Anda?
*) BARU SAJA MENERBITKAN BUKU FENOMENA BAHASA: MAKAN KAPAL SELAM
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo