Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sampai gagal lagi disahkan Dewan Perwakilan Rakyat tahun ini, rasanya Indonesia layak disebut negeri berperadaban misoginis yang terus terjebak di masa lalu. Diajukan sebagai inisiatif DPR sejak lima tahun lalu, rancangan aturan ini sempat kandas pada akhir 2019. Sekarang usulan peraturan ini kembali masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani menyebut masuk kembalinya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam agenda prioritas legislasi sebagai bukti keberpihakan negara terhadap korban. Itu pernyataan kepagian yang mesti dibuktikan dengan perbuatan. Dua tahun lalu Dewan Perwakilan Rakyat berhenti membahas rancangan undang-undang ini dengan alasan tidak cukup waktu. Tahun lalu RUU ini bahkan tak masuk agenda legislasi karena dinilai “terlalu sulit”. Keduanya cuma dalih semata karena DPR terbukti bisa mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja yang isinya luar biasa kompleks dalam waktu luar biasa singkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2019, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sempat dibahas sampai tingkat pertama di Komisi Sosial dan Perempuan DPR. Meski hanya Partai Keadilan Sejahtera yang terang-terangan menolak, kegagalan koalisi partai-partai politik pendukung Presiden Joko Widodo mendorong aturan ini menunjukkan tidak bulatnya dukungan mereka. Semua tahu koalisi pemerintah menguasai mayoritas kursi di DPR.
Kita juga tahu sebagian besar politikus di Senayan menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena pikiran mereka yang kolot dan patriarkis. Itu tecermin dari komentar-komentar mereka terhadap usulan pasal yang mengatur pemerkosaan dalam pernikahan atau rumusan berbagai jenis perundungan seksual. Perempuan, dalam benak mereka, tak punya hak untuk dilindungi dari kekerasan seksual dalam rumah tangga dan tak boleh melapor ke polisi jika dipaksa berhubungan seksual tanpa persetujuan.
Meski begitu, di muka umum, para anggota DPR ini mengklaim penolakan mereka mewakili konstituen. Ini jelas mengada-ada. Menurut survei International NGO Forum on Indonesian Development dan Indonesia Judicial Research Society pada medio 2020, sebanyak 70,5 persen dari 2.210 responden di 34 provinsi mendukung pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Survei mutakhir dari Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia pada 6-8 Maret lalu juga menemukan 87,8 persen dari 400 responden di lima kota besar mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Besarnya dukungan publik itu menandakan urgensi aturan ini makin nyata. Tak ada lagi alasan untuk menunda pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Apalagi situs Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan kasus kekerasan seksual terus meningkat. Dari 2.465 kasus yang dilaporkan tahun lalu, hampir 80 persen korbannya adalah perempuan. Jumlah kasus yang tak dilaporkan pasti jauh lebih besar.
Saat ini upaya penghapusan kekerasan seksual sudah menjadi isu global. Di banyak negara, muncul kesadaran baru, terutama di kalangan anak muda, mengenai pentingnya kesetaraan gender dan penghentian segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Inilah nilai moralitas dan standar etika di era ini. Bukan zamannya lagi menyelesaikan kasus pemerkosaan dengan meminta pelaku menikahi korban atau menyalahkan busana perempuan yang menjadi korban perundungan seksual. Itu semua masa lalu.
Memang sebuah undang-undang bukan obat mujarab yang bisa menyelesaikan permasalahan seketika. Namun keberadaan aturan yang melindungi perempuan dari kekerasan seksual penting sebagai penanda zaman yang bergerak. Tanpa itu, tingkat keadaban bangsa ini menjadi tanda tanya besar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo