Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Citra

“Daging”, “mata”, “kulit”—yang fisik dan yang psikis—telah membentuk bahasa kekerasan rasisme. Juga di Indonesia.

3 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RASISME tumbuh dari borok. Ada sisa luka psikis akibat paranoia yang laten dan politik yang cemas. Sebab itu ia bisa tampak liar dan tak masuk akal, tapi pada saat yang sama mampu bersiasat dan menyusun alasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sesekali borok itu—terkena infeksi—menimbulkan demam dan delirium. Agaknya itu yang menyebabkan “rasisme” meledakkan aksi yang menakutkan dan membuat wacana kebencian seperti igauan yang berulang-ulang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dunia pernah menyaksikannya berkali-kali.

Gerakan Nazi, yang berniat membersihkan Jerman (dan Eropa) dari orang Yahudi, hanyalah satu contoh yang paling terkenal. Koreng luka dimulai ketika Jerman yang kalah perang dunia pertama harus menandatangani dokumen (disebut “Traktat Versailles”) yang melucuti dan menghina mereka habis-habisan. Pada saat itu, rakyat banyak menanggungkan sakit dan miskin akibat bom dan bedil. Jerman dengan gampang berubah jadi ladang kemarahan, dengki, dan curiga.

Ladang yang luka itulah—sebuah borok besar—yang diolah Hitler: kebencian kepada “mereka”, kepada yang “bukan-kita”—yang dirumuskan sebagai Yahudi, atau Slav, atau Komunis. Klimaksnya pada sebuah kekejaman yang paling gelap di abad ke-20: enam juta orang Yahudi dibasmi, antara lain di kamar-kamar gas.

Kita tahu yang terjadi di Jerman juga terjadi di tempat lain, di waktu lain.

8 November 1898. Ini hari pemilihan umum, yang jadi hari paling tegang di Wilmington, di Negara Bagian North Carolina, Amerika Serikat. Di kota itu, warga kulit hitam berkembang secara ekonomi dan politik, hingga pemerintah daerah yang terbentuk terdiri juga atas “Negro”. Pemilihan hari itu tampaknya akan melanjutkan posisi orang Hitam yang mulai membaik itu.

Tapi, selama sebulan sebelumnya, orang-orang kulit putih—yang ingin menjaga “keunggulan rasial” mereka—dengan sengit berkampanye menghantam calon-calon Hitam, mengekspresikan paranoia dan cemas yang akut. Mereka bikin patroli bersenjata yang berkeliling Wilmington.

Dengan intimidasi seperti itu, partai mereka menang.

Tapi, sehari setelah pemungutan suara, warga kulit putih tetap berkumpul dalam sebuah rapat umum. Mereka buat deklarasi. Mereka maklumkan bahwa “warga Kota Wilmington tak mau lagi dikuasai orang-orang keturunan Afrika”. Mereka menuntut agar wali kota dan kepala polisi mengundurkan diri.

Esok harinya mereka berbaris menuju kantor surat kabar The Daily Record yang dipimpin seorang wartawan hitam. Gedung itu mereka bakar. Bukan hanya itu. Di jalan, mereka tembaki orang-orang hitam, juga anak-anak. Sekitar 100 orang tewas di kota kecil itu.

Pada waktu yang bersamaan, segerombolan warga kulit putih menduduki Balai Kota. Mereka mengancam, dengan senjata, menuntut para pejabat meletakkan jabatan. Wali kota pilihan rakyat pun mereka turunkan, mereka ganti dengan pemimpin mereka.

Sepekan setelah kudeta itu, para pemimpin masyarakat dan pebisnis kulit hitam diusir dari Wilmington.

Di Washington, DC, ibu kota pemerintah federal, tak ada yang bertindak. Perampokan politik yang sewenang-wenang di abad ke-19 itu berhasil, dan dilupakan seakan-akan hal yang lumrah. Baru di abad ke-21 ini ia dibicarakan lebih luas. Meskipun, kita tahu, itu tak menghentikan paranoia, kebencian, dan bahkan pembunuhan.

Di sini, di tempat ini, kita daging, daging yang menangis, daging yang menari dengan kaki telanjang di rumput”—suara Baby Suggs, sang ibu pengkhotbah Hitam dalam novel Beloved Toni Morrison, jadi nyaring. “Cintailah dia. Cintailah dia kuat-kuat. Di luar sana, mereka tak suka dagingmu. Mereka nistakan. Mereka tak suka matamu, mereka akan cungkil....

Ya, “daging”, “mata”, “kulit”—yang fisik dan yang psikis—telah membentuk bahasa kekerasan rasisme. Juga di Indonesia. Dalam Bukan Takdir, sebuah telaah sejarah pencitraan orang Tionghoa di Nusantara sejak abad ke-19, yang ditulis Widjajanti W. Dharmowijono, kita temukan dokumen ini:

Masih saja orang Mongol, yang berkeliaran di sekitar sini dengan nama orang Cina, merupakan contoh kejelekan.... ...kejelekannya tidak begitu didasarkan kepada kekasaran dan kecerobohan bentuk... bahkan ekspresinya yang menimbulkan rasa jijik. Seluruh sejarah Tiongkok, seluruh karakter peradabannya, agama dan pandangan hidupnya terbaca di muka orang Cina: sejarah orang-orang pengecut dan pembohong: karakter sebuah peradaban yang tidak mengenal gerak selain dari sapi yang diikat di padang rumput....

Dokumen itu ditulis seorang Belanda di tahun 1884—yang tak bisa membedakan “Cina” dengan “Mongol”, yang melihat ciri orang Jawa “rupa kera” dan orang Negro punya “sifat bodoh hewani”. Picik, tapi tak sendiri.

Di masa itu, seperti ditulis dalam Op Java, langs kruisweg en slingerpad; kritische pennekrassen oleh Robert Nurks den Jongere, tersirat rasa waswas—dan iri—orang Belanda di Nusantara sewaktu melihat meningkatnya kemakmuran “orang Cina”. Dalam tulisan itu kita baca: “Orang Cina telah menjadi lebih kuat dan lebih jahat”. Mereka tak lagi hanya “mengisap orang asli, tetapi juga orang Eropa”.

Kalimat itu berulang di abad ke-20. Tak persis, tapi menunjukkan bangsa Indonesia pasca-kolonial juga punya waswas, paranoia, dan luka psikis yang laten. “Kerusuhan” yang merusak dan menjarah milik orang yang diberi label “Tionghoa” berulang kali terjadi. Pada gilirannya, waswas, paranoia, dan luka psikis juga terbentuk di kalangan mereka.

Rasisme tentu tak hanya satu jurusan, tak hanya di satu kelompok. Dan tak akan hilang. 

Tapi tak mungkin kita menyerah. Ada bagian masa kini yang harus diselamatkan, karena hari ini selalu berjalan masuk ke hari depan.

GOENAWAN MOHAMAD
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus