Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KE mana saja dana triliunan rupiah yang telah digelontorkan negara untuk program deradikalisasi para teroris? Setelah berjalan belasan tahun, seberapa efektifkah program ini untuk menangkal kemunculan teroris baru? Jika program diklaim berhasil, kenapa masih saja ada aksi teror baru di Indonesia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah pertanyaan itu menyeruak kembali seusai aksi bom bunuh diri di depan gereja katedral di Makassar, Ahad, 28 Maret lalu. Meledak tiga tahun setelah insiden bom serupa di Surabaya, wajar jika teror itu mengguncang kita semua. Apalagi tiga hari kemudian menyusul aksi nekat seorang perempuan menyerang polisi dengan air gun di dalam Markas Besar Kepolisian RI, Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari mana kita harus mulai menjawab serangkaian pertanyaan tersebut? Pertama-tama, harus disadari bahwa pada dasarnya program deradikalisasi adalah sebuah kegiatan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018. Semangat program ini adalah melunakkan ideologi pelaku terorisme yang tertangkap agar mereka tidak kembali ke jaringan lama. Dengan kata lain, ideologi yang dibalut dengan narasi agama—yang selama ini diyakini sebagai akar masalah—harus diurai oleh program tersebut.
Sampai hari ini, sedikitnya 700 narapidana terorisme tersebar di 90-an penjara dan rumah tahanan di Indonesia. Merekalah sasaran utama program deradikalisasi. Pada level operasional di lapangan, paling tidak ada tiga lembaga keamanan yang terlibat sebagai pemain utama dalam program ini. Mereka adalah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri, dan Badan Intelijen Negara (BIN). Belakangan, Kementerian Sosial juga dilibatkan dalam proses integrasi sosial para eks narapidana terorisme.
Karena banyaknya aktor yang bermain, tak mengherankan eksekusi program deradikalisasi kerap bermasalah. Ada tiga masalah klasik yang kita hadapi dalam pelaksanaan program ini, yaitu koordinasi, substansi, dan evaluasi.
Mari kita mulai dari yang pertama: koordinasi. Ini adalah kata yang mudah diucapkan tapi sangatlah susah dipraktikkan di lapangan. Lemahnya koordinasi antarlembaga bisa jadi dipicu kurangnya “chemistry” yang positif di antara pemimpin lembaga. Masalah bisa juga dipicu perbedaan dalam memilih strategi atau prioritas setiap kegiatan deradikalisasi.
Tentu setiap lembaga keamanan yang terlibat mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dalam “dunia ideal”, BNPT, Densus 88, dan BIN seharusnya bisa saling melengkapi. Koordinasi menjadi penting agar tidak terjadi masalah tumpang-tindih dalam setiap rancangan intervensi ke jaringan teroris.
Secara internal, koordinasi ini juga harus dilakukan agar para napi terorisme tidak memanfaatkan program tersebut untuk kepentingan transaksional. Tanpa komunikasi dan koordinasi, napi terorisme akan memasang tarif tertentu jika diajak terlibat dalam program deradikalisasi. Di tingkat ekstrem, ada napi terorisme yang sengaja membandingkan nilai nominal “uang jalan” yang ia dapatkan dari ketiga lembaga ini.
Akibatnya, misi mulia negara untuk memberikan kesempatan kedua kepada napi terorisme justru menjadi sebuah permainan petak umpet yang tidak sehat. Para operator program deradikalisasi di setiap lembaga saling intai adu lihai dengan para terpidana terorisme.
Selain faktor “chemistry”, perbedaan titik tekan atau substansi program deradikalisasi di setiap lembaga kerap menyulitkan koordinasi. Misalnya, bagi BNPT, landasan filosofi program adalah “deradikalisasi” pelaku teror. Sadar atau tidak sadar, dengan memakai istilah itu, ada proses “pelabelan” dalam pelaksanaannya. Dengan kata lain, program ini berasumsi bahwa para teroris ini adalah kelompok “radikal” dan karena itu bermasalah. Sedangkan negara, dalam hal ini BNPT, akan datang “meluruskan” paham “radikal” yang mereka anut.
Dengan perspektif semacam itu, jelas ada relasi kuasa yang timpang dalam hubungan BNPT dengan para napi terorisme. Mereka seolah-olah diposisikan sebagai subordinat pemerintah yang harus diluruskan. Padahal tidak bisa dimungkiri ada narapidana teroris yang terseret ke jaringan teror bukan karena faktor ideologi. Banyak teroris terjerumus karena faktor kinship atau persaudaraan, bahkan sesederhana lantaran “berteman” dengan orang yang salah.
Walhasil, ukuran keberhasilan program deradikalisasi BNPT ini pun sangatlah sulit terlihat kasatmata. Padahal program ini harus bisa mengukur pemahaman orang yang berada di dalam tataran gagasan. Sering kali para napi ini ber-“taqiah”—berpura-pura kooperatif dengan menyatakan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk meringankan hukuman mereka. Karena itu, diperlukan alat ukur yang canggih dari psikolog untuk memahami turun-tidaknya kadar komitmen ideologi para napi setelah intervensi ini.
Program deradikalisasi Densus 88 berbeda lagi. Mereka lebih berfokus pada aspek kesejahteraan para napi. Penekanan ini tampaknya dipilih oleh komandan baru Densus 88, Inspektur Jenderal Marthinus Hukom. Dalam berbagai wawancara, Marthinus kerap mengatakan bahwa “banyak orang-orang baik yang termarginalkan dalam proses pembangunan bangsa”.
Sebenarnya, cara pandang Densus 88 ini amat menjanjikan keberhasilan karena tidak menghakimi langsung ideologi pelaku. Namun pendekatan ini bukannya tanpa catatan dan risiko. Misalnya, bagaimana menghilangkan dendam para pelaku terorisme jika dalam proses penegakan hukum mereka justru menjadi korban kekerasan aparat keamanan? Apakah kebaikan aparat Densus 88 selama masa tahanan dan setelah bebas dari penjara kelak dapat melunturkan dendam mereka? Lalu sampai kapan mereka harus menerima bantuan dari Densus 88?
Di tengah kerumitan tersebut, muncul pemain ketiga dari BIN. Mereka kerap bergerak mendekati mantan terpidana terorisme dengan pola “penggalangan”. Artinya, para agen BIN ini berusaha menjadi “teman”.
Dalam proses penggalangan ini, para agen BIN dan eks napi kerap duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Dari pola ini diharapkan para bekas terpidana itu bisa merasa mendapatkan kembali “signifikansi diri” dan kemudian berbagi informasi A1 mengenai gerak jaringan teror yang akan membahayakan negara. Sayangnya, pola gerak BIN serba senyap sangat menyulitkan koordinasi dengan lembaga keamanan lain, seperti Densus 88 dan BNPT.
Ketika terjadi dinamika antar-lembaga keamanan seperti ini, negara memasukkan pemain baru: Kementerian Sosial. Kementerian ini diberi tanggung jawab memuluskan proses integrasi sosial bekas napi terorisme ke masyarakat dengan gula-gula bantuan sosial.
Ironisnya, para operator di kementerian ini bukan spesialis dalam isu terorisme yang sangat kompleks dan berakar di dalam masyarakat. Rata-rata petugas Kementerian Sosial memang sangatlah terampil dalam proses rehabitasi sosial para gelandangan, wanita pekerja seks komersial, atau korban penyalahgunaan narkotik. Namun bisakah mereka mentransisikan kemampuan mereka dalam penanganan kasus terorisme? Belum lagi kementerian ini juga sedang menghadapi tudingan publik atas ketidakbecusan dalam penanganan bantuan sosial.
Di tengah semua kekurangan itu, patut diapresiasi bahwa setiap lembaga negara pelaksana program deradikalisasi sudah rutin melakukan evaluasi atas kinerja mereka. Namun, sayangnya, proses ini masih dilakukan oleh kalangan sendiri. Diperlukan kedewasaan untuk bisa menerima kritik eksternal dalam proses evaluasi ini.
•••
SEKARANG boleh dibilang negara mengalami serangan ganda dari dua musuh: organisasi yang terstruktur seperti Jamaah Islamiyah dan yang tidak terstruktur seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Serangan ini membuat fokus pemerintah dalam isu-isu besar, pengendalian pandemi Covid-19, misalnya, terganggu. Karena itu, agak kontraproduktif jika benar ada indikasi pemerintah ingin menambah musuh baru dengan memasukkan Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi teroris.
Tidak bisa dimungkiri bahwa beberapa pelaku teror yang tertangkap belakangan pernah menjadi anggota FPI sebelum mereka berbaiat kepada kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) serta menjadi pendukung JAD. Namun ini tidak berarti FPI adalah organisasi teroris. Aparat penegak hukum tidak boleh lupa bahwa FPI didirikan mantan jenderal militer yang pernah menjadi orang penting dalam kabinet Presiden Joko Widodo periode lalu.
Dalam hal keanggotaan, FPI sekarang beranggotakan ribuan orang yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan, di sejumlah wilayah, terutama di daerah tapal kuda di Jawa Timur, beberapa warga Nahdlatul Ulama kerap bertukar identitas. Pada siang hari, mereka menjadi anggota NU. Malamnya, mereka mengajak masyarakat menjadi anggota FPI. Bagi mereka, NU merupakan lembaga untuk “amar ma’ruf” (mengajak kebaikan) dan FPI untuk “nahi munkar” (mencegah kemaksiatan).
Karena itu, sulit rasanya membayangkan jika negara harus memenuhi penjara kita yang sudah “overcrowded” ini dengan teroris-teroris baru dari FPI. Janganlah kita jadikan kucing itu sebagai macan meskipun sama-sama loreng dan bercakar.
Di tengah berbagai dilema itu, kini aparat harus menghadapi tantangan radikalisasi di platform online, terutama di kalangan milenial. Itu masalah yang sampai detik ini sangatlah sulit diatasi. Ketimbang berebut kewenangan dan anggaran dalam hal deradikalisasi, alangkah baiknya jika penegak hukum kita mulai memperhatikan isu radikalisasi online ini. (*)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo