Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Label ‘Baru’

Suatu kebaruan akan berlalu manakala karakter khasnya luntur.

11 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bahasa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah merdeka, negeri ini dua kali memasuki era berlabel baru, yakni orde baru dan normal baru (alihan dari new normal). Arti kata baru dalam kedua istilah itu sama: “belum pernah ada (dilihat) sebelumnya” atau “belum pernah didengar (ada) sebelumnya” (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V). Beralaskan takrif itu, baru menyifatkan nomina orde; begitu pula terhadap normal—meski sejatinya kata sifat dalam bahasa Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Esensi dan konteks istilah orde baru dan normal baru tentu berbeda. Orde baru lahir setelah pergolakan politik 1965; dalam formulasi resminya disebutkan sebagai tatanan sistem politik baru berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang dilaksanakan secara murni dan konsekuen (Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, 1974). Jadi orde baru adalah istilah politik. Selanjutnya, Orde Baru (dengan huruf “o” dan “b” kapital) menjadi julukan populer pemerintahan Presiden Soeharto, yang dengan kekukuhan otoritasnya mendominasi hampir semua segi kehidupan sosial kebangsaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Istilah normal baru dibayangkan sebagai suatu tatanan baru kehidupan sosial disertai keharusan menjalankan protokol kesehatan dalam aktivitas sehari-hari masyarakat demi menghindari risiko pandemi. Di sini, normal baru terbaca sebagai istilah kebijakan politik yang terkait dengan soal mitigasi sosial dalam suatu keadaan kritis. Ditilik dari kesamaan latar belakang situasi kritikalnya, Normal Baru bermiripan—tapi tak serupa—dengan program New Deal di Amerika Serikat di bawah Presiden Franklin Delano Roosevelt (1932-1940). Tujuan program ini adalah memulihkan ekonomi Negeri Abang Sam setelah digempur malaise hebat kala itu.

Arti kata baru dalam kamus mengandung makna bahwa kata sifat itu bisa dilihat sebagai batas atau tonggak. Begitulah, Orde Baru menjadi pembatas tegas terhadap orde episode sebelumnya. Namun agak berbeda halnya dengan Normal Baru, yang senyatanya masih berada dalam garis “normal lama” yang tidak (atau belum) terhapus sepenuhnya. Normal Baru, jadinya, lebih terasa sebagai sekuel—alih-alih sempadan—yang melonggar dari suatu situasi genting yang tengah berkecamuk.

Sebelum itu, gagasan “kebaruan”—dalam konteks global—dilontarkan Presiden Sukarno saat berpidato di depan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan tajuk To Build the World Anew (1960): “Bangunlah Dunia ini kembali! ...suatu Dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan.” Pada masanya pula akronim naratif gerakan reformasi “Dunia Ketiga” terus bergaung: Nefo (New Emerging Forces), Ganefo (Games of the New Emerging Forces), dan Conefo (Conference of the New Emerging Forces). Dari kronik itu, Sukarno jelas mendahului Presiden George Bush, yang mengusung isu New World Order di depan Kongres Amerika Serikat pada 11 September 1990. Ironinya, pada tanggal yang sama sebelas tahun kemudian, sebuah gedung pencakar langit di negeri itu ditabrak terorisme pesawat terbang.

Suatu kali, di Kota Banda Aceh, saya berkenalan dengan Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA), antropolog muda cemerlang asli Aceh, yang bergiat menggagas “Aceh Baru”. Ketika saya bertanya tentang arti konsep itu, ia merujuk kembali bukunya, Aceh Baru Post-Tsunami (2014). Intinya, menurut KBA, (orang) Aceh harus menyiapkan hari depannya—terutama setelah tsunami melanda dahsyat pada 2004—dengan bekal ilmu pengetahuan rasional seraya tetap merengkuh tradisi autentiknya. Di sini, label baru mengingatkan kita pada ide revivalism atau kebangkitan kembali dari suatu “kegelapan” dengan kesadaran baru.

Label baru berimplikasi melipat entitas yang terdahulu menjadi “barang lama”. Ketika tampil sebagai penguasa anyar, Orde Baru segera mengotakkan rezim yang ditumbangkannya sebagai “orde lama”. Tapi stempel “lama” rupanya tak selalu berlaku otomatis. Pembangunan stasiun kereta Depok Baru, yang seiring dengan pembukaan permukiman Perumnas pada 1970-an—sekadar contoh yang berbeda—ternyata tidak diikuti dengan penyebutan “Stasiun Depok Lama” pada stasiun yang telah berdiri mendahuluinya. Stasiun lama itu tetap bernama Depok saja hingga kini.

Akhirnya, kata baru menyimpan ketakkekalan dalam dimensi waktu. Suatu kebaruan akan berlalu manakala karakter khasnya luntur. Kabarnya, kata new dicoret dari rencana penamaan sebuah bandar udara baru karena dipahami bahwa hakikat “baru” tak bisa berlaku selamanya. Cuma, berapa lama durasi suatu kebaruan tak pernah berjawab pasti.

KASIJANTO SASTRODINOMO*

*) KOLUMNIS INDEPENDEN, ALUMNUS FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus