Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERPENTALNYA Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dari agenda Program Legislasi Nasional 2020 menunjukkan betapa bebalnya para politikus kita. Dalam menentukan prioritas pembuatan undang-undang, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah bisa seenaknya mengabaikan aspirasi masyarakat, termasuk para korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sejatinya sangat mendesak. Kalangan masyarakat sipil mendorong rancangan tersebut sejak 2016, tak lama setelah gadis berusia 13 tahun dibunuh dan diperkosa oleh 14 pemuda di Bengkulu. Sejak saat itu, penambahan kasus kekerasan seksual kian mengkhawatirkan. Per tahun kasusnya rata-rata meningkat 13 persen. Terakhir, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat, sepanjang 2019, terjadi 4.898 kasus kekerasan seksual di ranah privat dan komunitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lewat lobi-lobi panjang, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akhirnya menjadi inisiatif DPR pada 2017. Draf undang-undang itu mengatur pidana atas pelbagai jenis kekerasan, seperti pemerkosaan, perbudakan seksual, perkawinan paksa, dan penyiksaan dalam rumah tangga. Draf undang-undang ini juga mengatur perlindungan atas hak korban ketika kekerasan telanjur terjadi. Jaminan bagi keselamatan korban ini amatlah penting. Sebab, selama ini, sebagian besar kasus kekerasan tak terungkap karena korban tak berani melapor.
Sejak awal, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendapat penolakan dari kalangan politikus Islam konservatif. Di DPR, yang terang-terangan menolak adalah Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Politikus partai itu menuding RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bakal melegalkan hubungan seksual di luar nikah, hubungan sesama jenis (homoseksual), dan praktik aborsi. Mereka juga membangun opini bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bakal mengkriminalkan para pengkritik pergaulan bebas. Padahal tak ada satu pun pasal dalam rancangan itu berbunyi demikian.
Masalahnya, politikus dari partai yang selama ini mengklaim liberal, sekuler, atau pluralis pun tak serius mengupayakan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Suara politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Senayan, misalnya, nyaris tak terdengar. Begitu pula suara fraksi pendukung pemerintah lainnya. Padahal jumlah mereka di DPR jauh lebih banyak ketimbang kelompok Islam konservatif. Dari total 26 anggota Panitia Kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, hanya dua orang yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera. Belakangan, partai-partai nasionalis sekuler pun malah segendang sepenarian dengan partai Islam konservatif.
Dalih Panitia Kerja bahwa pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tak bisa dilanjutkan karena tak ada titik temu terdengar mengada-ada. Itu lebih mencerminkan kemalasan dan ketidakpedulian para politikus terhadap korban. Bandingkan dengan semangat mereka membahas revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, RUU Pertambangan Mineral dan Batu Bara, serta draf omnibus law Cipta Kerja. Revisi Undang-Undang KPK, misalnya, bisa selesai dalam 12 hari pada September tahun lalu. Padahal, di luar gedung DPR, masyarakat menentang keras revisi undang-undang untuk mengebiri lembaga antikorupsi itu.
Kini wajar bila orang beranggapan bahwa DPR hanya bersemangat meloloskan undang-undang yang menguntungkan para politikus atau RUU yang didukung para “bohir”. Maka nasib sial menimpa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tanpa “sponsor”, betapapun itu sangat diperlukan masyarakat dan korban. Ketika saluran aspirasi resmi di gedung DPR tersumbat, jangan salahkan masyarakat bila mereka kembali beramai-ramai turun ke jalan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo