Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tendy K. Somantri*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA tahun lalu, untuk memperingati Hari Bahasa Ibu, komunitas Carponn menyelenggarakan sayembara artikel dengan tema “Mengembalikan Bahasa Daerah sebagai Bahasa Ibu”. Komunitas Carponn adalah kumpulan pencinta bahasa Sunda di media sosial Facebook. Mereka berupaya membumikan (lagi) bahasa Sunda, yang sekarang mulai mengawang-awang di langit warganya. Carponn—carita pondok naker (cerita pendek sekali)—boleh dikatakan bentuk karya sastra kontemporer yang muncul seiring dengan perkembangan media sosial.
Sayembara tersebut diumumkan melalui media sosial sehingga terkumpul 192 naskah dari berbagai daerah di Indonesia. Penyelenggaraannya bolehlah dikatakan sukses untuk ukuran kegiatan sebuah komunitas di dunia maya. Di balik itu, ada “keberhasilan” lain sayembara tersebut, yaitu rekaman kondisi bahasa daerah sebagai bahasa ibu di berbagai daerah di Indonesia. Kemudian, sesuai dengan tujuannya, sayembara itu juga menghasilkan beberapa solusi untuk mengembalikan bahasa daerah sebagai bahasa ibu walaupun belum tentu tepat dan dapat diaplikasikan langsung oleh pemerintah dan masyarakat.
Sebagian besar peserta menyodorkan solusi yang terasa abstrak, seperti penggunaan bahasa daerah di rumah (keluarga). Ada penulis yang mengajak kaum ibu menggunakan bahasa daerah dengan anaknya. Pertanyaannya: bagaimana bila sang ibu juga tidak mampu berbahasa daerah? Di perkotaan, saat ini, makin sedikit ibu yang mampu menggunakan bahasa daerah dengan baik.
Dari naskah yang masuk, terkumpul informasi bahwa keberadaan bahasa daerah di perkotaan Jawa Barat, Lampung, Sumatera Barat, dan lain-lain makin terdesak oleh bahasa Indonesia dan bahasa asing. Konon, di Sumatera Barat, sebutan uda dan uni sudah sangat jarang digunakan di keseharian area publik dan berganti dengan sebutan abang dan kakak. Demikian juga nasib kata kekerabatan mamak, yang telah berganti menjadi om atau uncle. Di beberapa kota besar, panggilan bibik sudah kehilangan muruah karena sering digunakan sebagai panggilan kepada pembantu rumah tangga. Kata ateu (tante) dan aunty-lah yang kini kerap terdengar di masyarakat untuk menggantikan kata bibi(k).
Salahkah masyarakat? Kata para ahli, bahasa itu dinamis dan konvensional. Masyarakat bebas mau menggunakan bahasa apa pun. Celakanya, apabila masyarakat sudah enggan menggunakan suatu bahasa, boleh jadi bahasa itu akan punah. Itu terjadi pada beberapa bahasa daerah. Masyarakat tampaknya sudah makin enggan menggunakan bahasa daerah, termasuk sebagai bahasa ibu. Berdasarkan pengamatan sepintas, di perkotaan dengan masyarakat yang heterogen, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa ibu sebagian warga. Bahkan, di kalangan tertentu, bahasa asinglah yang menjadi bahasa ibu.
Selain kemajuan teknologi yang membawa serbuan kata dan istilah asing, perubahan topografi perkotaan telah memiskinkan kosakata daerah pada masyarakat. Banyak warga kota yang tidak tahu nama buah dan tumbuhan karena buah dan tumbuhan itu sudah langka. Padahal nama buah dan tumbuhan itu masih digunakan sebagai nama daerah. Di Kota Bandung, misalnya, kata tarum, loa, kiara, ganitri, kaliki, dan kareo sudah sangat jarang disebut karena memang tumbuhannya sudah langka. Jarang sekali terdengar kalimat, “Tuh, itu deukeut tangkal loa (Itu, di dekat pohon loa).” Padahal, di Bandung, ada daerah bernama Bojongloa. Rasanya, belum pernah juga terdengar suara dari mesin GPS, “Setelah pohon kaliki, belok kiri.” Dulu, nama tumbuhan kerap dijadikan patokan penunjuk arah.
Kondisinya makin mengkhawatirkan ketika derap teknologi pun menyerbu perdesaan. Sudah sering disebutkan, kehadiran penanak nasi listrik (rice cooker) setidaknya menghapus 50 kata bahasa Sunda (kata benda dan kata kerja). Alat ini sudah masuk ke desa-desa mengikuti traktor dan mesin penggiling padi. Berapa ratus kata bahasa Sunda yang tak digunakan lagi untuk menggambarkan proses penanaman padi hingga nasi terhidang di atas meja?
Itu kasus dalam bahasa Sunda yang mungkin juga terjadi pada bahasa daerah lain di Indonesia. Dampak dua masalah besar—kondisi topografi dan kemajuan teknologi—itu makin cepat ketika pemerintah daerah bergenit-genit menggunakan bahasa asing untuk penamaan tempat dan sebagainya. Dampak itu adalah kepunahan bahasa daerah karena tidak lagi menjadi bahasa ibu dan tak lagi digunakan dalam keseharian.
Lalu bagaimana dengan slogan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang salah satunya menyebutkan “lestarikan bahasa daerah”? Saat ini, jangankan “melestarikan”, sekadar “memelihara” saja tampaknya sulit. Ataukah kata “melestarikan” tersebut merujuk pada kata “mengawetkan” kosakata daerah dalam kamus seperti mengawetkan bangkai hewan langka dan menyimpannya di museum?
*) Pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan, Bandung; Manajer Media Data Center Wanadri
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo