Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Cermin Sejarah Dokter Kita

Sepanjang sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, para dokter punya peran krusial dalam pergerakan. Dunia kesehatan sekarang harus belajar pada mereka.

15 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI dokter Sulianti Saroso kita mesti belajar. Pada 1970, saat menjadi Direktur Jenderal Pencegahan, Pemberantasan, dan Pembasmian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, ia berhasil mengentaskan Indonesia dari wabah cacar. Sementara negara Asia Selatan terjerembap dalam pagebluk itu selama sepuluh tahun, Indonesia hanya butuh sepertiganya. Yang Sulianti lakukan adalah tiga hal kunci yang direkomendasikan para epidemiolog: pengetesan massal, pelacakan, dan pengobatan pasien tertular. Hari-hari ini kita membutuhkan tokoh trengginas seperti Sulianti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada masa pergerakan kemerdekaan, selain dihormati karena kepakarannya di bidang medis, banyak dokter dikenal sebagai pemimpin politik yang disegani. Mereka meletakkan dasar-dasar sistem kesehatan yang hasilnya kita warisi saat ini. Dokter Jonas Andreas Latumeten memelopori studi kesehatan jiwa, sementara dokter Slamet Iman Santoso mendirikan fakultas psikologi pertama. Dokter Kariadi, yang akhirnya tewas diberondong peluru pasukan Jepang dalam pertempuran di Semarang, dikenal sebagai penemu formula minyak daun kenanga sebagai terapi penyakit malaria dan tuberkulosis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dokter Johannes Leimena menggagas pentingnya jejaring pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di desa-desa. Sedangkan dokter Boentaran Martoatmodjo, yang mendirikan Palang Merah Indonesia, dan dokter Moewardi, yang ikut berperan mendirikan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, juga aktif di Persatuan Perjuangan dan Barisan Pelopor, yang dekat dengan Tan Malaka.

Para dokter legendaris ini menggabungkan ilmu kedokteran yang mereka kuasai dengan kepekaan sosial untuk membantu lingkungan sekitar. Mereka bukan sekadar tabib penjaja obat, melainkan agen-agen perubahan yang menggerakkan transformasi masyarakat menjadi lebih baik. Belakangan ini, kita makin kehilangan sosok dokter semacam itu.

Dunia kesehatan kita makin lama terasa makin komersial. Hubungan dokter dan pasien lama-kelamaan jadi sebatas relasi transaksional. Kita mendengar banyak keluhan publik soal rumah sakit yang semata berburu keuntungan finansial, dengan mengabaikan kualitas layanan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pun beberapa kali menemukan rumah sakit yang mencoba mengelabui sistem agar mendapat pembayaran jasa lebih besar daripada semestinya.

Sistem kesehatan kita perlahan berubah menjadi industri jasa yang menitikberatkan keuntungan finansial. Selama bertahun-tahun, pemerintah melalaikan kewajiban berinvestasi pada sistem pelayanan kesehatan publik. Tenaga dokter bertambah, tapi sistem yang memungkinkan rakyat menjadi sehat tidak terbentuk.

Situasi itu makin parah ketika para pengambil kebijakan cenderung membiarkan pelaku bisnis pelayanan kesehatan swasta bertindak semaunya sendiri. Lembaga pendidikan kedokteran, perusahaan farmasi, apotek, hingga klinik dan rumah sakit tak bekerja dalam sebuah regulasi yang menitikberatkan pelayanan kesehatan bagi publik. Sistem kesehatan nasional juga tak terintegrasi dengan sistem global. Akibatnya, industri kesehatan kita menjadi tak kompetitif. Yang belakangan terjadi adalah hukum rimba—mereka yang punya uang saja yang bisa mengakses pelayanan medis yang baik.

Keberadaan Sistem Jaminan Sosial Nasional sebenarnya bisa menjadi solusi untuk mengakhiri kesemrawutan ini. Namun tumpang-tindih kewenangan, kurangnya koordinasi antara lembaga dan kementerian, serta lemahnya dukungan politik membuat sistem itu tak berjalan efektif. Saban tahun BPJS Kesehatan menanggung defisit triliunan rupiah.

Kementerian Kesehatan Indonesia kini dipimpin menteri yang pernah dipecat Ikatan Dokter Indonesia. Rumah sakit terjerembap dalam dilema menyehatkan masyarakat dan “menyehatkan” diri sendiri sebagai lembaga bisnis. Sistem kesehatan masyarakat tidak terbentuk. Hubungan dokter, pasien, dan pabrik obat panas-dingin akibat kecurigaan terhadap praktik komersialisasi.

Dalam sengkarut itu, kita kini diterpa badai pandemi Covid-19.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus