Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI-HARI ini tidak mudah menjalankan praktik jurnalisme dengan baik. Pandemi Covid-19 membuat pertemuan tatap muka jurnalis dengan narasumber harus dilakukan ekstrahati-hati. Kebijakan pembatasan sosial juga membuat pergerakan reporter di lapangan tak leluasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah semua keterbatasan itu, tekanan terhadap jurnalis meningkat terus. Sampai Juli tahun ini saja, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sudah mencatat sedikitnya 13 kasus kekerasan terhadap wartawan. Artinya, rata-rata terjadi dua insiden setiap bulan. Itu baru puncak gunung es, karena bisa jadi ada banyak kasus yang tidak dilaporkan kepada organisasi profesi jurnalis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya dihalangi saat meliput peristiwa, wartawan kerap diintimidasi setelah beritanya terbit. Perisakan online dan pengungkapan data pribadi juga menimpa dua pemeriksa fakta Tempo pada akhir Juli lalu. Gangguan ini terjadi setelah mereka menulis artikel Cek Fakta yang mengungkap ketidakakuratan klaim viral soal pandemi di media sosial.
Pendeknya, pekerjaan melaporkan realitas secara jernih, jujur, dan apa adanya belakangan memang kian penuh tantangan. Terlebih untuk media seperti Tempo, yang selalu berusaha menuliskan kisah di balik berita dan mengungkap apa yang tak tampak di permukaan.
Karena itu, kami sungguh berbahagia ketika AJI Indonesia memberikan penghargaan Udin Award kepada Tempo dalam peringatan ulang tahun mereka yang ke-26, Jumat, 7 Agustus lalu. Dalam malam resepsi yang digelar virtual itu, dewan juri yang dipimpin Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Fatia Maulidiyanti menilai Tempo memenuhi semua kriteria: konsisten, berintegritas, profesional, dan kerap menjadi korban kekerasan.
Ini bukan pertama kalinya Tempo menerima Udin Award. Dua tahun lalu, kami menerima penghargaan serupa setelah kartun yang diterbitkan Tempo menuai protes yang diwarnai kekerasan dari Front Pembela Islam. Tahun ini, penghargaan diberikan karena sejumlah liputan kami mendapat gugatan hukum, ancaman, dan teror digital.
Kami menilai penghargaan semacam ini bukan prestasi. Diancam, diteror, dan digugat bukan sesuatu yang layak dirayakan. Tapi, sesuai dengan semangat Udin Award, yang diabadikan dari nama Fuad Muhammad Syafruddin, jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta yang dibunuh pada Agustus 1996, kami merasa penghargaan ini merupakan bentuk dukungan moral dan penanda bahwa kami tak sendiri. Untuk itu, kami berterima kasih.
Fakta bahwa tiga tahun terakhir AJI terus memberikan Udin Award memang menegaskan kondisi kebebasan pers yang kian buruk di Indonesia. Masa-masa ketika dewan juri tak bisa menentukan pemenang karena minimnya kasus kekerasan terhadap jurnalis kini tinggal kenangan.
Apalagi pekan lalu Pengadilan Negeri Kotabaru, Kalimantan Selatan, baru saja menjatuhkan vonis penjara 3 bulan 15 hari kepada Diananta Putra Sumedi. Mantan pemimpin redaksi situs berita online Banjarhits.id itu dinilai bersalah melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Padahal Dewan Pers sudah menjatuhkan sanksi atas berita yang dipersoalkan.
Vonis Diananta seperti mengirim sinyal tanda bahaya yang kian lama kian nyaring. Ketika sebuah berita bisa dipidana, meski sudah diperiksa lembaga penjaga etika jurnalistik, pastilah tercipta iklim ketakutan di kalangan wartawan. Ujungnya, redaksi bisa-bisa menerapkan kebijakan swasensor untuk berita-berita yang penting tapi sensitif.
Sejak terbit pertama kali pada 6 Maret 1971, Tempo tak pernah mundur dari kewajibannya menyajikan berita yang jujur dan akurat untuk publik. Komitmen itu akan kami pegang terus sampai kapan pun.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo