Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Melisankan Singkatan

Ketepatan dalam melisankan akronim atau singkatan bisa menjadi salah satu cara mengukur ketaatasasan berbahasa.

25 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Melisankan Singkatan./Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA penampil di layar televisi—petinggi, narasumber, dan awak televisi sendiri—tampak terbelah dalam mengucapkan akronim atau singkatan Covid-19 secara lisan. Ada yang utuh menuturkannya dalam bahasa Inggris, “covid nineteen”; sebagian yang lain melisankannya “covid sembilan belas”. Dari sisi demokrasi berbahasa, pilihan atas kedua ragam pengucapan itu bolah-boleh saja. Namun, repotnya, pelaku kedua ragam ucapan tersebut dalam posisi berinteraksi langsung—berdiskusi, berwawancara, atau melapor dari lapangan—dalam ruang dan waktu bersamaan. Alunan “rima” komunikasi, jadinya, terasa tak selaras.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Boleh jadi, versi pelisanan “covid nineteen” didasari pikiran bahwa akronim Covid-19 sepenuhnya berunsur bahasa Inggris—bentuk majemuk coronavirus disease—sehingga logis pula diucapkan secara Inggris. Sementara itu, pengucapan “covid sembilan belas” mungkin didasari argumen bahwa struktur Covid-19 merupakan rakitan kata-kata asing dan angka titimangsa Masehi yang berlaku universal sehingga campuran itu mengundang tafsir bebas. Maka sah adanya jika akronim tersebut, sebagai pilihan, dilafalkan dalam bahasa Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Serupa tapi tak sama, kemenduaan pelisanan terjadi pada singkatan MRT (moda raya terpadu) dan LRT (lintas rel terpadu). Gejalanya, singkatan MRT lebih sering dibunyikan èm-ar-ti yang menginggris ketimbang ém-èr-té yang mengindonesia. Begitu pula LRT condong dilisankan èl-ar-ti alih-alih èl-èr-té. Sangat mungkin, pelisanan èm-ar-ti dan èl-èr-té terbawa oleh “atmosfer internasional” sejak proyek angkutan massal itu digagas. Di sisi lain, MRT dan LRT didaku sebagai singkatan kreasi asli yang bersumber dari bahasa Indonesia, bukan “terjemahan” dari mass rapid transit ataupun light rail transit—istilah Inggrisnya.

Jauh sebelumnya, pola penyingkatan yang serupa dengan MRT dan LRT ditemukan dalam kependekan ATM pada 1980-an. Dalam pikiran orang ramai, ATM dipahami sebagai anjungan tunai mandiri. Sepanjang ingatan dan pendengaran saya, sejak pertama kali muncul, singkatan ATM langsung dilisankan a-té-èm dan praktis tak pernah dipromosikan menginggris éi-ti-èm. Artinya, proses “internalisasi” bunyi a-té-èm telah berlangsung sejak dini. Jangan-jangan, kepanjangan ATM versi Inggris, automated teller machine, malah agak “terlupakan” di antara pemegang kartu plastik bank saat ini.

Meskipun mungkin dianggap sebagai hal kecil, ketepatan dalam melisankan akronim atau singkatan bisa menjadi salah satu cara mengukur ketaatasasan berbahasa. Pertanyaannya, dalam konteks berbahasa nasional, apakah akronim atau singkatan berbahasa Inggris harus tetap diucapkan sesuai dengan fonem Inggris atau dilafalkan seturut cara bahasa Indonesia. Demi menjaga ketaatasasan tadi, pelisanan akronim atau singkatan asing seyogianya mengikuti ucapan dalam bahasa Indonesia. Perkecualian selalu terjadi. Akronim covid sendiri, yang menyerupai kata, misalnya, tak bisa lain mesti dibaca atau dilisankan “ko-fid”.

Singkatan internasional seperti nama organisasi badan Perserikatan Bangsa-Bangsa pun semestinya dibaca dengan cara bahasa Indonesia meskipun nama organisasinya tetap dalam bahasa Inggris. Kita sudah terbiasa melisankan WHO (World Health Organization) sebagai wé-ha-o, misalnya, ketimbang double-yuw-éic-ow yang rada rumit. Lidah ini serasa kelipat-lipat saat mengucapkan alamat situs Internet www menuruti cara Inggris: double-yuw-double-yuw-double-yuw, dibanding wé-wé-wé yang terasa mulus meluncur.

Ada kalanya memang terjadi semacam kecanggungan untuk melisankan singkatan asing tertentu. Orang kadang ragu mengucapkan AC (air conditioner): akan dilafalkan a-sé menurut pedoman ejaan lama Indonesia ataukah a-cé versi ejaan sekarang. Sekali lagi, atas nama konsistensi, tak perlu ragu melisankan singkatan itu dengan fonem bahasa Indonesia yang berlaku saat ini. Jadi ucapkan a-cé saja. Ndilalah, atau anehnya, éi-sie (Inggris) rasa-rasanya tak pernah terdengar sebagai bunyi lisan singkatan itu dalam cakapan Indonesia.

Suatu hari, seorang mahasiswa berpamitan akan melanjutkan studi ke luar negeri. Ke mana? “U-ka,” jawabnya singkat. Menarik, ia tak “terpancing” mengucapkan yuw-kei untuk menyebut singkatan nama negeri yang telah memberinya beasiswa itu.

KASIJANTO SASTRODINOMO, KOLUMNIS INDEPENDEN, ALUMNUS FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus