Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Lima Kartini Penjaga Bumi

Pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19 membuat polusi menurun dan lingkungan lebih bersih. Perlu keputusan politik untuk membuat perubahan ini menjadi permanen.

25 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Lima Kartini Penjaga Bumi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENCANA besar seharusnya membuat manusia belajar. Lima puluh tahun lalu, sejumlah aktivis merayakan Hari Bumi untuk mengingatkan publik akan ancaman kerusakan lingkungan. Peringatan itu digagas setelah ledakan dahsyat sumur minyak di lepas pantai Santa Barbara, California, menewaskan puluhan ribu satwa liar. Hari ini, wabah Covid-19 memaksa kita mengubah cara manusia hidup di dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hampir dua bulan setelah pembatasan sosial diberlakukan di banyak wilayah negeri ini, perubahan mulai terlihat. Polusi udara menipis, pencemaran alam berkurang, dan satwa liar yang semula bersembunyi mulai keluar ke alam bebas. Bumi mengalami fase pembersihan setelah bertahun-tahun menanggung beban berat. Ada pelajaran tersembunyi dari wabah yang begitu menakutkan.

Pertanyaannya: jika kelak pandemi mereda, akankah kita mengulangi siklus hidup yang sama? Banyak pakar memprediksi kegiatan industri dan aktivitas ekonomi bakal melonjak berkali lipat pasca-pagebluk, untuk mengatasi ketertinggalan semasa wabah. Sebelum itu terjadi, ada baiknya kita belajar dari mereka yang selama ini menjaga alam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak awal tahun ini, Tempo menjaring nama-nama perempuan yang bergerak diam-diam melestarikan lingkungan. Sengaja dipilih perempuan karena alam kerap diasosiasikan dengan peran ibu yang melahirkan dan membesarkan kita. Kisah para perempuan yang menjaga bumi juga bisa menjadi pengingat jasa Raden Ajeng Kartini, yang kelahirannya diperingati sehari sebelum Hari Bumi.

Di Bengkalis, Riau, ada Solfarina, 36 tahun, yang dengan segala keterbatasannya menjaga keberlangsungan hidup gajah-gajah yang tersisa di Suaka Margasatwa Balai Raja dan Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil. Di Bulungan, Kalimantan Utara, ada Sri Tiawati, 27 tahun, yang sendirian meyakinkan pentingnya pendidikan untuk anak-anak suku Dayak Punan nun di pedalaman rimba raya. Di Bandung, Jawa Barat, ada Lasma Natalia Panjaitan, 29 tahun, yang tak kenal lelah menggugat pencemaran alam dari pembangkit listrik batu bara di Indramayu dan Cirebon.

Di Malang, Jawa Timur, ada Lia Putrinda, 26 tahun, yang sejak kecil bersama ayahnya menanam lagi puluhan hektare mangrove di Pantai Clungup. Terakhir, di Surabaya, Jawa Timur, ada Eva Bachtiar, 33 tahun, yang gigih mengumpulkan makanan berlebih yang layak dikonsumsi dari restoran, kafe, dan pesta-pesta perkawinan untuk dibagikan kepada fakir miskin. Aksinya tak hanya mengurangi sampah, tapi juga mengajarkan pentingnya mengerem konsumsi kita.

Kelima perempuan ini mewakili aksi nyata warga memulihkan bumi. Mereka menjaga, melestarikan, dan membela lingkungan, sekaligus mendidik dan menggerakkan publik untuk sama-sama peduli. Semua berusia belia, menyadarkan kita bahwa kaum muda mampu menghasilkan karya-karya besar untuk alam dan negeri.

Solfarina, Sri, Lia, Eva, dan Lasma adalah bagian dari gerakan besar anak muda yang kian memahami gentingnya situasi dunia akibat perubahan iklim. Penggunaan energi fosil yang tidak terbarukan, eksploitasi sumber daya alam yang tak berkesinambungan, dan pencemaran lingkungan yang tak terkendali membuat emisi karbon terus terjadi dan suhu bumi terus memanas. Jika kita tak bisa membendung laju pemanasan global di bawah dua derajat Celsius sesuai dengan Perjanjian Paris 2015, anak-cucu kita tak bakal punya tempat tinggal di masa depan.

Di tengah kesadaran publik yang terus meningkat tentang bahaya krisis iklim, sejumlah kebijakan pemerintah yang justru membahayakan lingkungan terasa ironis. Lambatnya pengembangan sumber-sumber energi baru dan terbarukan, melemahnya aturan pelindungan lingkungan, dan pembiaran tindak pidana pencemaran alam menunjukkan kurangnya keberpihakan pemerintah. Tanpa keputusan politik para pengambil kebijakan di negeri ini, gerakan-gerakan swadaya masyarakat tak bisa punya dampak luas dan sistematis.

Kita belum tahu kapan wabah Covid-19 berakhir, tapi kita tahu bumi tak boleh dibiarkan merana. Tidak kembali ke gaya hidup sebelum pandemi bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Tanpa perubahan permanen dari cara kita hidup di planet ini, kita sedang berjalan bersama menuju kepunahan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus