Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dari mana kita mendapatkan istilah kotak Pandora untuk makna sesuatu yang misterius lalu terbongkar.
Istilah kotak Pandora berasal dari Yunani, yang memiliki dua versi cerita kotak Pandora.
Mitos kotak Pandora telah menyebar ke pelbagai bahasa dan kebudayaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBERAPA kata ternyata memiliki makna yang telah dikenal secara baik oleh masyarakat bahasa kita, sehingga penggunaannya—tanpa penjelasan yang detail pun—akan menemukan korelasinya dengan konteks baru yang dibangun oleh penulis/penutur. Hal itu dapat terjadi lantaran di belakang kata-kata tersebut ada sebuah sejarah besar, peristiwa tak terlupakan, ikonik, yang bertahun-tahun kemudian tetap dikenang lantaran menjadi simbol makna tertentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata-kata tersebut telah terbentuk (maknanya) dan mengkristal menjadi bagian dari entitas budaya. Memang, beberapa kata yang masuk kelompok ini, meski konteks maknanya bisa menyesuaikan, makna aslinya mampu bertahan, sepanjang zaman. Beberapa bahkan menjadi semacam ungkapan filosofis, peribahasa, atau bahkan norma budaya. Makna yang dikandung mewakili makna yang terus saja berulang sebagaimana sejarah mengulang dan memperbarui dirinya dalam setiap periode.
Salah satu contohnya adalah kata “Pandora”. Ada dua versi kisah dari mitologi Yunani yang menceritakan perihal “Pandora”. Dua versi tersebut memiliki inti cerita yang sama, bahwa kotak Pandora merupakan “hadiah” yang berisi kutukan kemarahan Zeus bagi siapa saja yang penasaran dan berniat membukanya. Kutukan itu berisi berbagai penyakit, penderitaan, dan kejahatan bagi umat manusia. Kotak itu akhirnya dibuka juga, dan terjadilah malapetaka yang menyebar ke mana-mana. Satu-satunya hal baik yang ada dalam kotak tersebut adalah harapan.
Mitologi tersebutlah yang tampaknya kemudian selalu digunakan untuk mengisi makna kata “Pandora” dalam konteks di mana pun ia berada. Coba perhatikan petikan kalimat yang saya cari secara acak berikut ini: “Amandemen UUD 1945 memang sah-sah saja karena konstitusi itu sendiri telah mengaturnya, tapi menurut penulis langkah itu akan membuka kotak Pandora” (Tribunnews.com, 14 Oktober 2019). “Membuka data HGU barangkali seperti membuka kotak Pandora yang akan membongkar aneka persoalan di dalamnya. Ia bukan cuma mengungkap peta pemilik lahan, tapi juga mengganggu tatanan status quo gurita oligarki agraria dan sumber daya alam yang lebih luas” (Tempo.co, 21 Maret 2019).
Pemaknaan dua narasi opini dan berita di atas jelas tak lepas dari mitos kotak Pandora. Dengan situasi dan posisi permasalahan yang serupa, pemaknaannya kemudian masuk ke konteks/permasalahan yang diapungkan oleh penulisnya. Pembaca yang telah mengetahui mitologi kotak Pandora pasti akan langsung memahami maknanya.
Ada banyak contoh kata lain yang serupa, yang memiliki makna bawaan, bisa bertahan sampai kapan pun, tapi maknanya kemudian menyesuaikan dengan konteks yang dibangun pemakainya. Sebut saja Rahwana, Mahabharata, Sengkuni, Sisifus, Roro Jonggrang, Pak Ogah, Elvis Presley, atau lubang hitam. Dengan diambilnya kata-kata tersebut, pembaca/pendengar sudah langsung bisa digiring ke arah maksud tertentu—yang dianggap sesuai atau mirip dengan makna bawaannya.
Misalnya pernyataan berikut ini: partai politik A memiliki banyak Sengkuni. Pernyataan tersebut akan menggiring penggambaran ke arah sosok licik, jahat, dan sering menghalalkan segala cara demi melanggengkan kekuasaan. Sosok siapakah dalam partai A yang cocok dan memiliki banyak kemiripan sifat dengan Sengkuni? Sangat efektif. Tanpa perlu disebut nama, publik akan mendapatkan jawabannya. Seno Gumira Ajidarma mencontohkannya dengan sangat pas dalam cerita pendek berjudul “Paman Gober”. Deretan kata tersebut menjadi investasi perbendaharaan bahasa sekaligus memperkaya kamus kebahasaan kita.
Pembentukan bahasa seperti ini tampaknya juga masih dan akan terus berlangsung. Apakah Anda tahu sosok Kakek Sugiono, yang konon merupakan sosok ikonik yang membintangi sejumlah film porno? Bisa kita lihat dalam kelakuan bahasa netizen kita, yang selalu menyebut (tak peduli dengan nada humor atau serius) para pelaku kejahatan/penyimpangan seksual sebagai cucu atau malah reinkarnasi sosok tersebut. Anda mungkin masih ingat peristiwa ibu-ibu yang dengan cerobohnya menyalakan lampu sein sepeda motor bagian kiri tapi ternyata malah belok ke kanan. Anda bisa langsung dikatai sebagai anggota atau manusia sejenis kelompok ibu-ibu ini jika melakukan perbuatan bodoh yang esensinya serupa.
Ternyata pola tingkah laku kita juga turut menyumbang perkembangan bahasa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo