Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA seorang tokoh perempuan yang ganjil yang terselip sebentar di tengah 3.500 halaman Serat Centhini, karya sastra bahasa Jawa dari awal abad ke-19 itu. Perempuan itu Retna Ginubah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Centhini jilid ke-10, profilnya mencolok. Suatu saat pendapa Kabupaten Lembuasta yang ramai oleh perhelatan tiba-tiba jadi senyap. Di pintu gerbang tampak seorang gadis berkuda, duduk tegak dengan pakaian prajurit.
Samya angungun ningali—semua terkesima menyaksikan itu. Retna Ginubah putri Demang Wiracapa, penguasa wilayah, tapi ia bukan putri kabupaten. Ia hidup di hutan dan hanya sesekali pulang. Di sebelah kiri kudanya tampak seekor anjing loreng merah yang mengikutinya ke mana-mana. Di sekitar pelananya diikat dua ekor rusa dan dua kepala banteng, hasil buruan yang hendak ia bawa sebagai oleh-oleh.
Centhini, dalam puisi Sinom, menggambarkan penampilannya yang “tak lumrah” itu lebih rinci:
Tan lumrah marang wong kathah |
sasolah tingkahing èstri |
sikêpe lir wong wawanan |
prajuritan siyang ratri |
lancingan panji-panji |
klambi singsêt kuthung wulung |
Saya kutip saduran bebas bahasa Indonesia yang ditulis dengan memikat oleh penulis Agus Wahyudi: Retna Ginubah berpakaian “tidak seperti layaknya wanita”. “Busana yang dikenakan seperti [seragam] prajurit, dengan celana panji, baju ketat lengan pendek warna hitam”. Sikapnya siang lama seperti penghuni hutan; di pinggangnya tersisip tombak (towok) kecil dan sebilah pedang.
Putri bupati ini juga tak menggunakan bahasa Jawa halus kepada siapa saja: Deksura tan bisa basa, saben wong tan den basani. Ia bahkan memanggil teman bercakapnya, juga yang lebih tua, “kowe”.
Gadis itu sendiri bangga, ia memang lain. Ia anggap dirinya mukti, berjaya, dalam rimba, meskipun secara lahiriah tak nampak; terkadang nyandhang kadhang walulaning kewan, berbaju kulit binatang, ia hampir tak makan nasi, hanya buah dan mungkin cuma setahun sekali menyantap daging.
Kepada tamunya, para bangsawan Giri yang terheran-heran, ia menegaskan mengapa ia demikian: karena makhluk mendapatkan nasib [dalam perbedaan]. Baya wus bagining titah.
Kata-katanya berwibawa dalam tiap kejadian. Ia berhasil menggertak dan menaklukkan empat orang bangsawan yang menghunus keris siap menyerang keluarga Wiracapa. Ia mengambil alih posisi ayahnya, sang Demang, untuk menyelesaikan konflik dalam keluarga.
Dalam konstelasi Centhini, Retna Ginubah sosok di tepi. Para feminis kini akan menyimpulkan, bahwa buku 12 jilid yang ditulis satu tim pujangga istana di bawah perintah Amangkunagara III di awal abad ke-19 ini sebuah kitab misoginis par excellence. Perempuan, dalam ratusan tembang Centhini yang mengasyikkan, umumnya hanya dikisahkan dalam posisi sekunder—atau dalam peran seksual.
Centhini dimulai dan dibangun dengan kisah pangeran-pangeran Giri (plus seorang putri) yang melarikan diri setelah kerajaan itu ditaklukkan Mataram pada 1636. Pada dasarnya cerita berkisar pada perjalanan pengungsian Jayengraga dan Jayengresmi disertai paman bungsu mereka, Kulowirya, terutama setelah pangeran sulung yang alim, Jayengresmi, jadi “Syekh Amongraga” dan menghilang.
Disertai para abdi mereka, Jayengraga dan Kulawirya berjalan menempuh desa, hutan, dan gua, mencari Amongraga di seantero pedalaman Jawa. Selama itu diperlihatkan bagaimana perempuan-perempuan lokal terpikat Jayengraga yang rupawan. Bahkan kita menemui wanita-wanita agresif yang haus seks.
Widuri, putri ningrat yang dinikahkan dengan Jayengraga, tak ingin berpisah sedikit pun dari suaminya yang memberinya kenikmatan tubuh. Ia jadi hilang ingatan ketika Jayengraga pergi. Sêmbada, seorang janda setengah baya dari desa Pulung, mandiri dan berkuasa. Dengan hartanya ia bayar laki-laki untuk menyetubuhinya dan ia bayar perempuan yang lebih muda dan cantik untuk merangsang laki-laki yang ia hasratkan.
Tapi, pada saat yang sama, Widuri membuat sebal dan bosan suaminya dan Sembada digambarkan dengan jijik. Tubuhnya telah ringsek, tulis Centhini di jilid ke-10; buah dadanya seperti “papaya kosong, menggelambir”. Perempuan itu dipandang hanya dari fisiknya—dan dicemooh sebagai benda bekas.
Tubuh perempuan hanya sebagai benda untuk dilihat juga dinyatakan dalam ceramah Ki Wiracapa tentang apa akibatnya jika [pria] memandang farji (aningali preji), yakni “kulit dan daging” yang juga disebut gembok…
Tatapan misoginis ini mungkin lumrah bagi para sastrawan Jawa abad ke-19: pujangga keraton. Mereka pemegang kuasa atas bahasa yang, dalam theori Julia Kristeva, memegang “fungsi simbolik”, bukan “semiosis” yang lepas bebas. Tapi bahwa kita sempat bersua dengan Retna Ginubah menunjukkan bahwa puisi—dan Centhini adalah puisi—tak hendak patuh pada tata simbolik yang cenderung meletakkan manusia dalam kategori dan dikhotomi (“perempuan”, “laki-laki”). Bahasa dalam puisi ibarat “terbang” seraya mencuri otoritas para pujangga dan penjaga tata tertib.
Bagaimanapun, karya panjang ini kisah pengembaraan. Ia ditempa pelbagai tindakan antitabu dan kelaziman—juga pengalaman bahwa aturan, bahkan syariat, tak pernah bisa murni, tanpa tercampur . Ia bernafas dari perbedaan ke perbedaan. Ia bukan, seperti umumnya karya sastra Jawa abad ke-19, piwulang, ajaran yang hanya jadi berwibawa karena diulang-ulang. Ia bukan hafalan para santri yang cemas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo