Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Konflik Papua di Tengah Kontestasi Politik

Kontestasi politik pemilihan presiden 2024 tak menghasilkan gagasan tepat untuk mengakhiri konflik di Papua. Isu Papua hanya jadi dagangan politik. 

7 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fatia Maulidiyanti dan Norman Voss
Pegiat Hak Asasi Manusia dan Koordinator Human Rights Monitor

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada tahun politik, berbagai isu sosial, ekonomi, hak asasi manusia, dan demokrasi kerap menjadi perbincangan yang merupakan salah satu tolok ukur dalam mempromosikan agenda-agenda pemimpin bangsa ke depan. Beberapa isu yang sebelumnya tidak mendapat ruang ataupun menjadi topik pembahasan sehari-hari di tengah publik ataupun pemerintah akhirnya dibicarakan dalam beberapa momentum kampanye calon presiden dan wakil presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, dalam Pemilihan Umum 2024, topik mengenai Papua yang kerap kali menjadi sarana mempromosikan gagasan politikus serta selalu menjadi “mainan” elite untuk merebut perhatian warga Papua, rasa-rasanya tidak mendapat perhatian khusus dan jawaban riil dari para calon presiden dan wakilnya. Padahal topik ini kerap dimanfaatkan para politikus karena Papua masih menjadi titik nadir konflik serta wilayah dengan kondisi penegakan hak asasi manusia yang buruk.

Pada masa kampanye Pemilu 2024, para kandidat sebetulnya mengangkat topik soal Papua. Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, misalnya, menyatakan bahwa akar persoalan dari berbagai konflik yang terjadi di Papua ialah tidak adanya keadilan. Mereka menilai pihak pemerintah pusat memiliki perbedaan pandangan ihwal masalah di Papua dengan orang asli Papua. 

Sedangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang hampir pasti keluar sebagai pemenang pilpres 2024, menyatakan bahwa masalah pelanggaran HAM di Papua rumit karena adanya gerakan separatisme. Selain itu, Prabowo menyinggung campur tangan asing di Papua. Sementara itu, pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. menyatakan bahwa absennya dialog dengan orang asli Papua menjadi titik persoalan dari terus berlanjutnya konflik di sana. 

Dari pandangan ketiga pasangan calon tersebut, terlihat bahwa sesungguhnya mereka tak sanggup memberikan gagasan solusi atas konflik di Papua hingga ke akar persoalan. Mereka juga tak punya solusi tepat guna untuk menyelesaikan rantai impunitas dan konflik di Papua. 

Topik mengenai Papua tidak banyak dibicarakan di panggung-panggung kontestasi pilpres 2024 karena dianggap terlalu sensitif. Dalam berbagai forum dan perdebatan, tak satu pun pasangan calon presiden dan wakilnya yang berani menyebutkan bahwa titik persoalan dari pelanggaran HAM dan konflik di Papua ialah militerisme yang harus ditarik dari Papua. Tudingan soal masih dominannya kepentingan pemerintah pusat yang sempat disinggung dalam beberapa kesempatan pun pada akhirnya tidak melahirkan sebuah gagasan untuk menghentikan kondisi yang menyebabkan berbagai pelanggaran HAM hingga kerusakan lingkungan tersebut. 

Konflik Papua yang Terus Memanas

Meledaknya konflik di Intan Jaya, Papua Tengah, beberapa waktu lalu, yang ditandai dengan baku tembak antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) dan TNI, serta pembakaran kampung di Distrik Mamba yang mengorbankan warga sipil, sampai sekarang pun belum mendapat jawaban dan solusi konkret atas situasi yang terjadi. 

Berdasarkan laporan Human Rights Monitor pada Oktober 2023, setidaknya terdapat 76.228 pengungsi internal atau internally-displaced persons dari enam wilayah: Maybrat, Pegunungan Bintang, Nduga, Intan Jaya, Yahukimo, Fakfak, dan Kabupaten Puncak, dengan 700 orang di antaranya meninggal. Hingga kini belum ada bantuan yang diberikan oleh pemerintah terhadap para pengungsi. 

Penduduk di wilayah dataran tinggi Papua kerap kali menjadi pihak yang paling terkena dampak operasi militer dan sama sekali tidak mendapat perlindungan dari negara. Warga sipil mengevakuasi diri sendiri sebagai satu-satunya cara untuk menghindari konflik bersenjata yang terjadi di tanah mereka. Hal ini pada akhirnya menimbulkan trauma bagi anak-anak, kelompok muda, dan perempuan. Mereka pun kehilangan harapan akibat konflik berkepanjangan dan tidak pernah mendapat perhatian.

Padahal, jika merujuk pada ketentuan pendudukan militer dalam hukum humaniter internasional berdasarkan Konvensi Jenewa Keempat, hak-hak mengenai perlindungan terhadap populasi penduduk sipil telah jelas diatur. Aturan ini mengakui keberadaan penduduk dengan status hukum sebagai kedaulatan de facto

Konvensi yang diadopsi pada 1949 tersebut sebagian besar (Bagian III–Pasal 27-141) mengatur status dan perlakuan terhadap orang-orang yang dilindungi. Ketentuan-ketentuan ini membedakan antara situasi orang asing di wilayah salah satu pihak yang berkonflik dan situasi penduduk sipil di wilayah pendudukan.

Kenyataannya, sampai saat ini, dalam setiap operasi penegakan hukum dan operasi militer di Papua, Presiden belum menerbitkan aturan tentang pengerahan anggota TNI dan penggunaan kekuatan TNI sesuai dengan ketentuan Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Itulah mengapa operasi militer yang diadakan di Papua bisa dianggap ilegal.

Berbagai langkah pemerintah untuk menyelesaikan konflik di Papua hingga saat ini masih jauh panggang dari api. Berbagai penolakan justru menggema akibat pemberlakuan kebijakan yang bersifat top-down, kurang partisipatif, serta sentralistis sehingga terkesan memaksakan. Salah satu kebijakan yang mendapat penolakan masif adalah revisi UU Otsus dan Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua. Masyarakat Papua menganggap pemberlakuan DOB bermotif politik dan ekonomi yang berasal dari kepentingan elite. Di sisi lain, kebijakan tersebut hanya akan memperlebar konflik di antara sesama penduduk lokal dalam memperebutkan sisa-sisa kekuasaan dari para elite.

Konflik Papua Setelah Pemilu

Pemerintah memutuskan menggunakan pendekatan keamanan untuk menciptakan perdamaian di Papua. Pertanyaannya, apakah hal tersebut merupakan langkah yang tepat dan bagaimana di era pemerintahan yang baru nanti? Berdasarkan dokumen visi-misi calon presiden dan wakil presiden, kita dapat melihat para kandidat tak mempunyai gagasan untuk menyelesaikan konflik ataupun meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sana. 

Adapun agenda pembangunan di Papua hari ini tidak mengacu pada kepentingan orang asli Papua. Pada akhirnya hal tersebut terus mempertebal konflik dan krisis kemanusiaan di Papua. Kondisi masyarakat di sana hanya menjadi barang dagangan politik dalam setiap pemilu, tapi tak pernah menghasilkan solusi penyelesaian konflik untuk menjawab krisis kemanusiaan yang terjadi.

Pada era Orde Baru, pemerintah membentuk daerah operasi militer (DOM) untuk mengamankan Papua dari berbagai kelompok masyarakat sipil bersenjata. Setelah Orde Baru runtuh, kebijakan itu pun dihentikan. Namun pemerintah masih menggunakan pendekatan ala DOM dengan membangun pos-pos keamanan dan menambah jumlah personel militer di Papua untuk mengatasi konflik.

Padahal keadaan di Papua timbul akibat keberadaan personel keamanan yang tak menjawab kebutuhan masyarakat. Pelanggaran HAM yang terjadi di Papua justru timbul dari para aktor keamanan tersebut. Jika pola-pola semacam ini diteruskan, ke depan nasib Papua dan masyarakatnya kian tak jelas. Terlebih jika upaya yang dilakukan tidak melibatkan perwakilan orang asli Papua dan tak menyentuh akar konflik, yakni militerisme dan konflik kepentingan atas proyek pembangunan di sana.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Fatia Maulidiyanti

Fatia Maulidiyanti

Pegiat Hak Asasi Manusia

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus