Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mochtar Pabottingi
MENTERI Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra berada di barisan terdepan korus para petinggi ne-gara yang menghendaki penghentian proses peradil-an atas Soeharto. Dengan gagah dia mengklaim diri sebagai ”saksi sejarah” bahwa Presiden Soeharto ”sudah meminta maaf” saat dia mengundurkan diri. Aneh bahwa sebagai sarjana hukum ia tak menjelaskan ”meminta maaf” dalam konteks apa, bagaimana, untuk apa, dan kepada siapa. Bukankah semua itu harus jelas-tandas jika permintaan maaf yang memenuhi kehendak bangsa kita ini betul yang dituju?
Korus para pejabat tinggi tersebut kita pertanyakan atas tiga dasar: reduksi keadilan pada awal pengajuan dakwaan terhadap Soeharto yang akhirnya disusul dengan peleceh-an keadilan sepenuhnya; penipuan wacana sekaligus pembodohan lebih jauh dalam kehidupan politik serta hukum. Kendati imaterial, perangkulan apa yang bisa disebut se-bagai pengkhianatan masif potensial berdampak negatif luar biasa- atas psikopolitik serta harkat bangsa kita ke depan.
Upaya menghentikan proses peradilan terhadap mantan presiden Soeharto memukul rasa keadilan kita tiga kali. Kita tahu bahwa dia dituntut dalam pengadilan hanya untuk- sebagian dari rangkaian kasus korupsi-kolusi-nepotisme besar yang bisa dituduhkan kepadanya. Belum lagi jika kita bicara tentang pelanggaran hak asasi manusia besar sepanjang pemerintahannya serta kerusakan sendi-sendi peme-rintahan dan kenegaraan yang ditimbulkan oleh format politiknya. Kini penuntutan parsial itu pun dengan- murah hati hendak dihentikan pula. Dilupakan bahwa proses per-adilan atas diri Soeharto, in absentia sekalipun, bukan ha-nya -sangat penting dalam kumulasi kasusnya sendiri, melainkan juga bagi peluang pengungkapan kasus-kasus korupsi para kroninya. Sebab, hampir semua korupsi itu berkaitan atau berhulu pada Soeharto. Bangsa kita juga bisa terbebas dari kelimbungan akibat ketidakberanian menyikapi salah satu bagian krusial dari sejarah kita.
Jika keputusan penghentian proses peradilan tersebut jadi dilaksanakan, dikukuhkanlah preseden yang luar biasa buruk bagi kehidupan negara-nasion serta reputasi internasional kita selanjutnya, yaitu bahwa pada sistem peradilan Indonesia, kita boleh-boleh saja mereduksi magnitude ke-salahan tersangka dan akhirnya menguburnya sama sekali.
Penipuan wacana juga berlangsung seru lewat dalih kema-nusiaan—dalih yang tak pernah dikaitkan dengan jutaan korban perilaku politik dan ekonomi Soeharto sewaktu- -masih menjadi presiden. Sama sekali diabaikan bahwa lebih dari mengadili Soeharto, tujuan sentral peradilan ini adalah untuk memutus akar korupsi yang kian merajalela kini dan sekaligus mencegah terulangnya mahabencana penyalahgunaan kekuasaan demikian pada masa yang akan datang. Dengan kata lain, para penguasa yang sangat berperikemanusiaan tadi lebih menyantuni Soeharto daripada Repu-blik kita.
Dulu, pasca-1966, para penguasa pun gencar dan sistemik mewacanakan pengkhianatan Demokrasi Terpimpin (DT) terhadap Pancasila. Atas dasar ofensif wacana itulah cikal bakal Orde Baru melakukan, mendorong, atau membiarkan terjadinya pembantaian bengis terhadap para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia praktis di seluruh Tanah Air. Paralel, begitu pulalah perlakuan keji Orde Baru terhadap mantan presiden Soekarno dalam tahanannya. Dengan panjangnya rangkaian korupsi dan pelanggar-an hak asasi manusia masif serta rangkaian kebijakan serta praktek ekonomi dan politik Orde Baru yang secara struktural menyengsarakan dan memelaratkan mayoritas rakyat hingga kini, sesungguhnya lebih patut lagi jika kita bicara tentang pengkhianatan terhadap Pancasila.
Jika dalam pewacanaan kasus Presiden Soekarno praktis hanya dua sila dari Pancasila yang dijadikan sumber penuntutan, yaitu sila pertama dan keempat, dalam kasus Presiden Soeharto kita patut menunjuk sila kedua, ketiga, keempat dan kelima sekaligus sebagai sumber penuntutan. Wacana pengkhianatan rezim Soeharto terhadap Pancasila menjadi kian relevan jika kita menghitung betapa rapuh jadinya serat-serat yang dirangkum oleh keempat sila tadi, yang tiada hentinya diinjak-injak selama 32 tahun Soeharto berkuasa. Dan itu semua lantaran format politik darurat Orde Baru, khususnya perpetuasi format tersebut sejak 1975 ketika keadaan darurat sudah hampir sepuluh tahun berlalu.
Dari kaca mata ilmu politik, besarnya perbedaan bobot pengkhianatan rezim Demokrasi Terpimpin dan rezim Orde Baru juga terbaca pada bagaimana keduanya memperlakukan nasion dan demokrasi. Presiden Soekarno melecehkan demokrasi dengan membubarkan konstituante serta peme-rin-tahan hasil pemilihan umum dan mengangkat sendiri para anggota kedua lembaga perwakilan kita. Sebagai tokoh pa-ling terkemuka dalam bina-bela nasion, dia tidak menyadari bahwa dengan melecehkan keabsahan prosedural- yang dituntut demokrasi, proses dan mekanisme pemerintahannya pun lambat-laun bergerak menghantam nasion sekaligus.
Presiden Soeharto memulai ofensif penegakan pemerintahan dan rezimnya dengan langsung menginjak-injak nasion, yaitu lewat dorongan dan/atau komplisitas dalam pembantaian ratusan ribu saudara kita senasion. Persekusi atas rakyat di banyak bagian Tanah Air berlangsung terus dari waktu ke waktu sepanjang rezim Orde Baru.
Lalu sedari 1971 hingga 1998, antara lain dengan melanjut-kan praktek otoritarian model Demokrasi Terpimpin meski- dengan tujuan yang sama sekali lain, dia mulai meng-injak-injak- demokrasi, yaitu dengan menopengkan keenam lembaga- demokrasi untuk tujuan-tujuan persis kebalikan dari tujuan substansial tiap lembaga itu. Begitulah maka lembaga peradilan, misalnya, dijadikan lembaga penerus ketidakadilan (seperti yang kini masih berlanjut), prinsip kedaulatan rakyat- dirampas, prinsip saling imbang saling kontrol (checks and balances) semata-mata disandiwarakan.
Pengkhianatan rezim Soeharto tidak berhenti pada penginjak-injakan nasion dan demokrasi. Presiden Soeharto- pun menggunakan momen lengser untuk menghantam telak upaya dan gerakan reformasi, yaitu dengan mengangkat Wakil Presiden Habibie sebagai penggantinya. Menafikan salah satu tuntutan pokok reformasi untuk mengganti UUD 1945—payung irasionalitas sistemik kita selama 47 tahun—dia justru tetap memanfaatkan Pasal 8 darinya sebagai patokan lengsernya, dan ipso facto membuat agenda reformasi kembali berada sepenuh-penuhnya di tangan Orde Baru. Masif dan berketerusannya kehancuran yang kita alami sejak- 1998 hingga kini tak lain dari kumulasi dari ketiga faset pengkhianatan tersebut.
Sulitnya penerapan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) model Afrika Selatan yang sungguh terpuji itu hanya bisa dimengerti sepenuhnya dari sinyalemen pengkhianatan di atas. Kendati kita harus mengakui orisinalitas dan kejeniusan KKR di Afrika Selatan, kita harus pula menyadari bahwa konteks politiknya berbeda sangat jauh dengan konteks politik kita. Di Afrika Selatan, KKR disusun dan dilancar-kan dengan latar belakang konteks kolonial, tapi di Indonesia itu hendak dilaksanakan sudah dalam konteks RI dan pengkhianatan terhadap ideal-idealnya.
Praktis mustahil bagi para pelaku megakorupsi serta pelanggar hak asasi manusia besar untuk mengakui pengkhianatan mereka sebagai syarat niscaya bagi rekonsiliasi-. Begitulah maka inisiatif KKR tidak pernah datang dari para pentolan Orde Baru, melainkan hampir semuanya dari eksponen reformasi. Para pentolan Orde Baru terlalu kerdil dan terlalu pengecut untuk mengakui pengkhianatan me-reka secara sportif.
Di sini adalah juga irasional untuk menuntut kelapangan hati barisan reformasi atau para korban rezim Orde Baru untuk memelopori rekonsiliasi. Sebab, rekonsiliasi terutama- ditentukan justru oleh ada-tidaknya kekesatriaan pada barisan Orde Baru—perpetrators dari segenap kemelut-kehancuran yang masih terus melanda bangsa kita. Ramainya- dorongan ke arah penghentian proses peradilan dan/atau ke arah pengampunan berdalih kemanusiaan dari para peting-gi negara bagi Soeharto hanyalah mempertegas jati diri mereka sebagai komponen bablasan Orde Baru.
Pada titik ini, satu hal amat sangat sentral lagi-lagi dilupa-kan, yaitu bahwa pengampunan begitu saja bagi pimpinan rezim yang sesungguhnya telah melakukan pengkhianat-an masif atas ideal-ideal kemerdekaan kita, atas Pancasila, bisa merisikokan hancurnya segenap sisa harkat nasion atau hancurnya prinsip-prinsip mulia dan bajik dalam kehidupan politik dan hukum kita. Sesuatu yang suci dan luhur tiba-tiba dibuat hambar dan kehilangan arti.
Jika berkat kepandiran dan kepengecutan, kehendak korus tadi benar-benar diwujudkan, nyala obor di tengah badai yang masih terus kita pertahankan itu pun akan padam. Lalu terpatrilah di dada dan di punggung manusia-manusia Indonesia selanjutnya risalah Manusia Indonesia Mochtar Lubis dan puisi panjang Taufiq Ismail Malu Aku Jadi Orang Indonesia. Dalam interaksi masa depan antara sesama kita dan dengan dunia, jika Republik kita masih ada, sulitlah bagi kita untuk tidak merunduk dan membungkuk-bungkuk, menyembunyikan wajah dan jati diri yang sungguh buruk dan nista.
Saya, salah satu di antara jutaan saudara senasion, sama sekali tak benci kepada sesama manusia dan saudara bernama Soeharto. Hanya, saya cinta sepenuh-penuhnya kepada Indonesia dan tiada hentinya mensyukuri dan menjunjung setinggi-tingginya amanah kemerdekaan dan amanah Tanah Air kita, rahmat Allah yang nilainya tiada terperi. Bersama jutaan saudara tadi, saya muak terhadap kebohongan, kemunafikan, apalagi pengkhianatan berketerusan terhadap- keduanya. Dan, juga di antara jutaan penjunjung kedua amanah tadi, saya ingin tetap terus berjalan tegak sembari mengangkat wajah, di mana pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo