Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pram dan Kolonialisme yang Tak Kunjung Mati

15 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hilmar Farid

  • Pendiri Jaringan Kerja Budaya

    SETAHUN lalu. ”Semuanya sudah saya serahkan kepada Indonesia. Semuanya. Tapi kenapa begini jadi-nya?” Pram tergeletak sakit di kamar depan rumahnya di Utan Kayu. Untuk pertama kali saya melihat Pram menangis. Saya hanya diam sambil memijat-mijat kakinya yang tidak sakit.

    Dengan puluhan buku karya sastra dan ratusan cerita pendek serta esai, yang sebagian diterjemahkan ke semua bahasa utama di dunia dan beberapa bahasa lain di Asia dan Eropa, Pram menjadi penulis yang paling giat memperkenalkan Indonesia kepada dunia. Selama beberapa tahun- nama-nya disebut sebagai calon penerima Hadiah Nobel di bidang sastra. Beberapa universitas di Amerika memberinya gelar doktor honoris causa. Pinggan dan piagam penghargaan menghiasi dinding dan meja di kamar tamunya yang luas. Hanya satu-dua yang berasal dari Indonesia.

    Di negerinya sendiri, untuk waktu cukup lama, Pram justru dihujat. Setelah dilepas dari kurungan, ia masih dilihat seperti duri yang harus dijauhi karena jika terlalu dekat bisa tertusuk. Entah sengaja atau sekadar ceroboh, sampai -akhir 1990-an kantor Telkom masih mencantumkan namanya di halaman kuning buku telepon sebagai Pramoedya Ananta Tour di kolom biro perjalanan wisata. Rumahnya sampai cukup lama ditongkrongi intel yang membuat gerah tamu-tamunya. Sampai sekarang namanya tidak ada dalam kurikulum sastra untuk sekolah menengah, dan hanya beberapa guru yang berpikiran merdeka mau membahas karya dan pemikirannya saat mengajar.

    Tapi bukan ketiadaan penghargaan atau pengakuan yang membuatnya menangis. Toh, dalam beberapa tahun ter-akhir, ketika tekanan terhadap dirinya melonggar, pengharga-an dari dalam negeri bermunculan dalam berbagai bentuk: mulai dari penghargaan resmi lengkap dengan plakat dan upacara, sampai pada perayaan ulang tahun di gedung megah. Setahun terakhir bahkan ada yang mengklaim diri ”Pramis” atau pengikut Pram, yang membuatnya menjadi orang Indonesia kedua dengan pengikut yang -dengan sukacita mengidentifikasi diri dengan namanya, setelah -Soekarno.

    Pram risau melihat perkembangan Indonesia yang dicintainya. Jika Pangemanan dalam Rumah Kaca selalu melihat hantu Pitung dan mendesis ”zih!” Pram seperti melihat hantu kekuasaan kolonial berkeliaran dan berubah wujud dari waktu ke waktu. ”Kesalahan ini tidak pernah kita koreksi.” Suaranya parau. ”Nama Indonesia saja kita ambil tanpa tahu dari mana datangnya. Pemimpin republik sampai sekarang tidak berpikir soal ini.” Indonesia, seperti kata mantan Sekretaris Umum Lekra Joebaar Ajoeb, sekitar sepuluh tahun lalu, ”lambat-laun hanya akan tersisa sebagai nama di atas peta.” Sebuah kenyataan geografis dalam bahasa Pram.

    Memang benar. Ia mengabdikan seluruh usia produktifnya untuk mempelajari, berpikir, dan menulis tentang Indonesia. Seusai perang yang memastikan keberadaan Indonesia secara politik dan hukum, ia angkat pena untuk merajut Indonesia menjadi kenyataan sosial. Sejak 1956 ia mulai sibuk mempelajari sejarah negerinya dengan menjadi tamu tetap di perpustakaan Museum Nasional di Jakarta dan juga berkeliling Indonesia menemui orang untuk diwawancarai. Selama tiga tahun ia tidak banyak menulis. Seperti-nya mengumpulkan tenaga dan mengerahkan pikiran untuk- sebuah proyek besar.

    Pada awal 1960 buku pertamanya mengenai sejarah terbit, Hoakiau di Indonesia. Buku itu sempat membuatnya mendekam di penjara selama setahun. Tulisannya memang menyentak. Sementara para pejabat saat itu berlomba menonjolkan ”keaslian” dan mengobarkan permusuhan terhadap orang Tionghoa yang dianggap ”asing”, Pramoedya justru menyatakan bahwa darah Tionghoa mengalir deras dalam tubuh Indonesia. Bukan hanya di bidang perdagang-an dan teknologi, di bidang sastra pun pengaruh Tionghoa peranakan sungguh besar.

    Pram sering mengutarakan pendapat yang mengejutkan dan mungkin terkesan eksentrik. Misalnya, masih di sekitar persoalan hoakiau, ia berpendapat bahwa bercak biru di pantat bayi Asia dan Eropa adalah ”warisan” yang ditinggalkan tentara Mongol saat menyerbu dan menduduki sebagian wilayah di kedua benua itu. Pendapat ini tentu memukul kesadaran tentang keaslian ras dan kebudayaan. Saya tidak percaya ”tesis” itu—mungkin karena kurang banyak pantat bayi yang saya periksa—dan akhirnya sampai pada kesimpulan yang sama tentang ”keaslian” melalui jalan berbeda.

    Begitulah Pram, dengan caranya sendiri berusaha memahami Indonesia. Sementara banyak ilmuwan sibuk mengunyah teori dan pemikiran orang lain untuk berbicara, Pram memilih menyerap dan mencerna kenyataan lalu mengeluar-kannya sebagai kenyataan baru. ”Materi hulu ia hilirkan dalam benaknya, dengannya dan dengan kata ia membikin kenyataan baru. Dia bukan menjiplak kenyataan hulu, dia membikin kenyataan baru dengan kenyataan hilir.” Demikian pendapatnya mengenai tugas seorang penulis. ”Saya nggak ngerti teori,” katanya suatu ketika. Dan saya kira ia jujur.

    Usaha mempelajari Indonesia mulai mendapat dorongan kuat ketika ia keluar dari penjara karena kasus Hoakiau. Tawaran mengajar di Universitas Res Publica diterimanya, dan mempertemukannya dengan puluhan mahasiswa yang memungkinkannya melanjutkan proyek penulisan sejarah yang kolosal itu. Setiap semester ia mengirim mahasiswanya- mempelajari bahan-bahan sejarah di perpustakaan Museum Nasional, yang lambat-laun membantunya membangun sebuah perpustakaan sejarah yang luar biasa, dengan sekitar 5.000 judul buku, belum termasuk salinan surat kabar dan majalah lama, rekaman wawancara, arsip, dan dokumen lainnya.

    Dalam periode ini ia mulai menyusun riwayat Indonesia secara sistematis. Tidak semua setuju pada pikirannya, pun pada keinginannya untuk membangun Indonesia seperti yang dicita-citakannya. Dan inilah sumber ”polemik” yang terkenal itu. Sejak 1962 lembar kebudayaan Lentera dalam harian Bintang Timur menjadi corong utamanya untuk bicara. Ia menggasak sastrawan dan tokoh kebudayaan yang tidak sepaham, menyudutkan mereka sebagai ”agen imperialis”. Ia bahkan dituduh membunuh beberapa tokoh penting dalam sastra Indonesia. Dengan pena.

    Namun, jika melihat isi Lentera secara keseluruhan, jelas bahwa kecaman pedas dan ”polemik” tajam itu adalah bagian dari kritik yang menyeluruh terhadap kolonialisme. Setiap minggu ia menulis sekurangnya 40 halaman ketik rapat untuk Lentera, belasan halaman lain untuk studinya tentang berbagai aspek sejarah negerinya, seperti dua jilid Panggil Aku Kartini Sadja, studi tentang asal-usul sastra Indonesia dan studi tentang perkembangan bahasa Indonesia. Di sini Pram merajut pengertiannya tentang Indonesia dan melahirkan sejumlah tesis penting—yang tidak eksentrik—mengenai asal-usul negerinya.

    Polemik dan serangan kadang menjadi keras dan bahkan kasar tidak lain karena Pram menganggap suasana saat itu sungguh genting. Persoalan baginya adalah to be or not to be, dan peristiwa 1965 yang kemudian mengubah hidupnya secara drastis menjadi bukti bahwa pendapatnya tidak salah. Tidak semua karyanya, baik berupa monografi sejarah atau kumpulan bahan sejarah, seperti antologi sastra pra-Indonesia, kumpulan cerita pendek Soekarno, dapat diterbitkan. Kerja kreatif yang kolosal ini terhenti ketika Orde Baru menyerbu rumahnya pada pertengahan Oktober 1965.

    Di Pulau Buru ia melanjutkan kerja raksasa ini. Ia ingin terus menulis sejarah, ”Tapi karena takut dikira memalsu sejarah, saya memilih novel,” katanya. Ia tidak salah pilih. Melalui tokoh-tokoh dalam tetralogi Buru ini ia memperlihatkan bahwa ”Indonesia” dibangun dari keinginan me-lawan ketidakadilan yang berakar pada kolonialisme dan tradisi feodal Timur. Nasion Indonesia digambarkannya sebagai sebuah proyek politik yang tumbuh dalam masyarakat jajahan. Ia harus dibela dan dirawat untuk berkembang.

    Bagi Pram, pembelaan terhadap Indonesia dimulai -dengan merebut kembali pengetahuan tentang masa lalu yang se-lama ini dikuasai penguasa kolonial dan para pengikutnya di zaman merdeka. Dekolonisasi pikiran ini dilakukannya tidak hanya dengan menulis tapi juga dengan membuat bahan sejarah dalam bahasa Indonesia, misalnya dengan menerbitkan kembali karya sastra berbahasa Melayu pra-Indonesia dan memperkenalkan tokoh yang disingkirkan oleh kekuasaan kolonial.

    Karena itu, sungguh tragis ketika ia kemudian disingkirkan dan dianiaya seperti tokoh-tokoh yang dipelajarinya. Tragis bagi Pramoedya, tragis pula bagi Indonesia, karena membuktikan bahwa Orde Baru tidak lain adalah kelanjut-an dari negara kolonial. ”Dan sayangnya sampai sekarang masalah ini tidak pernah dikoreksi,” katanya mengomentari situasi politik setelah Soeharto jatuh. Rumah dan naskahnya yang dirampas dan tidak pernah dikembalikan menjadi simbol bahwa kekuasaan congkak yang sama masih tegak.

    Ketika negeri ini dicabik kekerasan dan eksploitasi, Indonesia bergerak menjauh dari cita-cita Pram dan seluruh gerakan nasionalis seangkatannya. Saat berlutut di hadapan jenazahnya yang terbaring di tanah dan memandangi wajahnya, saya meneteskan air mata. Untuk Pram. Untuk Indonesia. Selamat jalan, Bung! Obor yang kaunyalakan pada malam gelap-gulita sudah dipegang angkatan kemudian.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus