Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kontroversi Sedekah Laut dan Agama

Persiapan tradisi sedekah laut di Pantai Baru, Bantul, Yogyakarta, dirusak dan dibubarkan oleh sekelompok orang pada 12 Oktober lalu.

23 Oktober 2018 | 07.03 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah nelayan mengikuti acara pesta laut di Muara Angke, Jakarta, 12 Desember 2015. Pesta Laut itu sengaja digelar para nelayan di pasar ikan di ujung utara Jakarta itu untuk memperingati upacara sedekah laut atau Nadran. TEMPO/M IQBAL ICHSAN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aris Setiawan
Pengajar Institut Seni Indonesia Surakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Persiapan tradisi sedekah laut di Pantai Baru, Bantul, Yogyakarta, dirusak dan dibubarkan oleh sekelompok orang pada 12 Oktober lalu. Sebelumnya, sebuah organisasi massa keagamaan di Banyuwangi mengeluarkan surat pernyataan yang mengecam tari Gandrung Sewu di Banyuwangi. Alasan mereka, dua tradisi itu dianggap bertentangan dengan ajaran agama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lono Lastoro Simatupang dalam Agama dan Seni (2010) memaparkan bahwa batasan-batasan akademis terhadap tradisi yang dulunya kokoh dan ketat lambat laun menjadi goyah dan longgar. Hal ini sebagai bentuk dari mengaburnya garis demarkasi antara kultural-etika-estetika dan ritualistik keagamaan yang dogmatik. Terlebih, kini kita tidak lagi menaruh perhatian serius terhadap persoalan tersebut. Hasilnya, kita sering rancu dalam menilai tradisi sebagai bagian dari siklus kehidupan atau kesenian sebagai kreativitas dan pemenuhan estiteka ataukah ungkapan religiositas yang bersentuhan dengan agama dan ketuhanan.

Manusia kerap tak mampu memberi jarak secara presisi antara dunia tradisi-kebudayaan dan dunia sufistik. Noveri Faikar Urfan lewat Agama dan Seni, Konflik dan Kemesraan di Simpang Jalan (2014) menjelaskan bahwa sebenarnya ekspresi simbolik dalam kebudayaan adalah media yang membawa manusia religius membentuk pola manifestasi pada Tuhan dalam wujud yang lain.

Katakanlah sedekah laut adalah wujud kecintaan manusia pada alam, sebentuk ungkapan terima kasih kepada Tuhan atas karunia berupa alam (laut) yang memberi kehidupan bagi masyarakat sekitar. Hal ini juga terjadi pada peristiwa-peristiwa serupa, seperti sedekah bumi, selamatan, petik laut, dan lainnya. Dalam konteks karya seni juga demikian, keris misalnya, sejatinya adalah perwujudan kreativitas (warisan intelektual) yang bersumber pada pencarian laku religius secara terus-menerus sehingga menghasilkan karya yang bercita rasa estetika tinggi. Ia bukan melulu harus dianggap sebagai wujud pemberhalaan akan sesuatu, hanya karena ia eksis bersama bunga, kemenyan, minyak wangi, dan dupa.

Dengan kata lain, tradisi sedekah laut adalah upaya dan ikhtiar "pertemuan" antara manusia dan Tuhannya. Tentu saja, menilai tradisi, seperti sedekah laut, kemudian akan tergantung dari sudut pandang mana kita akan berdiri, melihat, dan memihak. Batas-batas di antara keduanya hari ini tampak bias sehingga kita terlalu sulit melihat tradisi sebagai sebuah laku pewarisan nenek moyang yang harus dijaga atau bagian dari ritual yang kehadirannya senantiasa diadu dan dipertentangkan dengan dogma keagamaan.

Asumsi Clifford Geertz (1973) tentang batasan agama yang dapat berkembang selaras dengan kebudayaan kiranya patut untuk dipertimbangkan. Geertz menekankan bahwa kepercayaan akan agama mewujud dalam dimensi simbol dan kebudayaan lewat peristiwa-peristiwa tradisi dan karya seni. Pandangan ini sedikit banyak selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat (1977) bahwa sering kali agama mewujud dalam ritual-ritual dengan menempatkan kebudayaan sebagai episentrum penghayatan. Dengan kata lain, peristiwa tradisi sebenarnya adalah manifestasi dari nilai-nilai luhur keagamaan yang mendamba pada keharmonisan hidup, kebersamaan, dan kerukunan.

Pertentangan antara tradisi-kebudayaan dan dimensi keagamaan tentulah sebuah kemunduran cara pandang. Peristiwa itu semata dilihat berdasar ukuran-ukuran normatif dengan membacanya secara hitam-putih dan melupakan berbagai kemungkinan wilayah abu-abu, bahwa keduanya sering luruh dan menyatu secara imanen. Maka, dibutuhkan kearifan dalam memaknainya dengan mencari berbagai kemungkinan pertemuan yang harmonis antara kebudayaan dan keagamaan daripada mencari perbedaan dan pertentangan di antara keduanya. Ini sebagaimana kisah para wali di tanah Jawa dalam melihat kebudayaan yang mewujud menjadi lakon-lakon dan narasi-narasi keagamaan yang indah tanpa harus merusak, menyalahkan, dan melarangnya.

Aris Setiawan

Aris Setiawan

Etnomusikolog dan pengajar Institut Seni Indonesia Surakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus