Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zainal Arifin Mochtar
TAHUN 2015 adalah masa-masa yang menentukan proses megatruh bagi Komisi Pemberantasan Korupsi. Suara lirih dan menyedihkan, yang dimulai pada akhir 2014, terjadi bergelombang. Sengkarut antara KPK dan Kepolisian Republik Indonesia karena penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan menjadi pemicu utama. Dampaknya, dua pemimpin dan penyidik KPK dijadikan tersangka, meski sangat terkesan dipaksakan. Inilah serangan pertama dari empat gelombang serang ke komisi antikorupsi.
Gelombang ancaman kedua datang setelah adanya pelaksana tugas pemimpin KPK. Mereka, para pemimpin sementara ini, dikreasikan dengan aturan genting dan memaksa, peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Meskipun langkah Perpu Nomor 1 Tahun 2015 itu baik, terkesan ada hal yang amat-sangat dipaksakan. Perpu mengesampingkan batas usia 65 tahun, sehingga ada calon yang sudah berusia lebih dari 65 tahun bisa masuk. Pengecualian itu sebenarnya sulit diterima dengan logika konstitusi, yang mengatakan harus ada "hal ihwal kegentingan memaksa". Bahwa perpu mengisi jabatan kosong tentu memenuhi klausul kegentingan memaksa. Tapi apakah umur 65 tahun harus dikesampingkan? Sulit untuk menemukan analisis yuridisnya.
Gelombang ketiga masuk dengan menguatnya kesepakatan revisi Undang-Undang KPK. Setelah beredar versi yang amat aneh dan penuh dengan pelemahan, revisi itu juga dialihkan hak inisiatifnya. Dari semula pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat dengan barter Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak. Lagi-lagi sulit menemukan alasan yuridis dan sosiologis di balik pertukaran itu. Sebaliknya, yang muncul adalah kuatnya pengaruh politik dengan tujuan melemahkan KPK.
Gelombang terakhir tentunya adalah proses pemilihan pemimpin KPK. Sebagian besar yang terpilih adalah mereka yang tidak diharapkan terpilih oleh publik. Tapi, seperti rumus standar, akseptabilitas publik sering berseberangan dengan akseptabilitas politik. Komisioner KPK yang terpilih jauh dari simbolisasi ideal pasukan pemburu koruptor.
Sejujurnya, dari kuatnya nuansa politis, turunan yang paling harus ditakuti adalah ketika KPK kemudian menjadi kuda troya alias tunggangan kepentingan politik. Lembaga ini akan menyeruduk liar mengikuti penunggang politiknya. Pemberantasan korupsi bukan lagi pada ranah kepentingan bangsa, tapi ada pada pesanan oknum tertentu.
Bangkit atau Mati?
Artinya, pada awal 2016, empat gelombang itu memang telah menempatkan KPK seperti sedang meregang nyawa. Meski begitu, pada akhirnya masa depan lembaga ini akan sangat ditentukan kemampuan dan kemauan pemimpin KPK jilid IV.
Pertama, kemauan untuk lepas dari hegemoni isu bahwa KPK adalah lembaga yang seharusnya lebih mengedepankan pencegahan ketimbang penindakan. Semenjak proses seleksi, isu ini sudah mengemuka bahkan seakan-akan menjadi kata sakti yang diucapkan seragam, oleh panitia seleksi, kandidat, dan anggota DPR.
Padahal pencegahan sesungguhnya telah dilakukan oleh pemimpin KPK periode sebelumnya. Memang efek pencegahan tidak begitu kuat dengungnya. Selain karena jauh dari publisitas, pencegahan bukan hal yang langsung terasa hasilnya. Secara hukum, pencegahan itu bukanlah porsi sesungguhnya dari KPK, karena titik berat pencegahan itu diberikan kepada semua kementerian dan lembaga yang ada di republik ini. Jadi kerja KPK sebenarnya adalah mengkoordinasi dan menguatkan pencegahan yang ada di berbagai kementerian dan lembaga. Misalnya whistleblower system di sejumlah kementerian dan lembaga yang disatukan oleh KPK.
Berbeda dengan penindakan yang hanya khusus milik KPK dan aparat penegak hukum tertentu. Makanya penindakan oleh KPK yang semestinya harus diperkuat. Apalagi penindakan yang kuat sejatinya bisa menjadi momentum pencegahan karena dapat memberi efek jera. Walhasil, kesadaran para komisioner soal pentingnya penindakan sangat menentukan corak KPK dan potret pemberantasan korupsi pada tahun-tahun mendatang.
Kedua, kemampuan meneguhkan kembali budaya kerja KPK sebagai lembaga negara independen. Prinsip kolektif kolegial harus dihidupkan. Prinsip ini menjadikan pengambilan keputusan tidaklah dilakukan dalam tendensi kepentingan pribadi, tapi harus kepentingan kolektif. Aturan ini menciptakan mekanisme saling kontrol antarkomisioner.
Budaya inovasi, terobosan, dan aspirasi juga seharusnya kembali dihidupkan. Harus diingat, meski komisioner adalah pemegang kuasa tertinggi, ada dua unsur lain yang juga penting, yakni tim penasihat dan pegawai. Jika mereka hidup dengan langgam dan semangat yang lebih egaliter, kinerja yang dihasilkan adalah ghirah pemberantasan korupsi yang kuat dan bukan semata hasil perintah pimpinan. Konsep ini sekaligus memberikan kontrol kepada komisioner, yang tidak hanya melulu model kolektif kolegial, tapi juga bottom-up.
Bukan hanya itu, peneguhan budaya KPK ini juga mengharuskan adanya iktikad komisioner untuk pembelaan yang kuat atas segala kemungkinan kriminalisasi dan ancaman tak menyenangkan bagi unsur KPK. Bukan dengan menyerah dan "menjual" unsur KPK demi harapan normalisasi hubungan kelembagaan dengan lembaga lain.
Ketiga, kemampuan para komisioner KPK membaca kepentingan politik yang dibaluri dengan semangat penguatan KPK. Misalnya jeli membaca ide penguatan KPK versi politikus: memberikan kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), badan pengawas, soal penyadapan, dan rekrutmen penyidik. Keempat usul itu sangat mungkin diperdebatkan secara teori dan doktrin hukum. Ada peluang yang sama untuk menguatkan, tapi juga ada potensi pembunuhan secara sistematis.
Misalnya soal SP3. Aturan ini hanya konsekuensi logis hukum alasan penetapan tersangka yang menggunakan dua alat bukti sehingga ujungnya tidak diakhiri dengan penghentian penyidikan. Berbeda dengan di lembaga penegak hukum lain yang penetapan tersangkanya menggunakan alasan bukti permulaan yang cukup, sehingga membuka peluang menerbitkan SP3. Jadi memang seharusnya ada pembedaan KPK dengan lembaga penegak hukum lain, dalam soal SP3.
Hal serupa ada di isu yang lain. Kemampuan memahami problem hukum itu harus dibarengi dengan tingkat penciuman akan kemungkinan cawe-cawe politik di belakangnya. Jika yang sesederhana SP3 saja dibuat berbelit-belit, mudah untuk menerka itu sebagai upaya menguatkan atau sebenarnya hanya permainan politik melemahkan.
Pada intinya, komisioner KPK harus sadar, tak ada kesepakatan legislasi yang bisa dipegang. Meskipun hanya sepakat pada empat isu, tak ada jaminan jika kemudian tidak melebar ke mana-mana. Artinya, mendukung RUU KPK akan sangat berpotensi menjadi lambang pembukaan "kotak pandora" dan munculnya berbagai kepentingan jahat.
Dukungan atau Tunggangan
Tahun 2016 berpotensi muncul praktek korupsi yang benihnya telah ditanam pada tahun-tahun sebelumnya. Permainan anggaran, sektor keuangan, sumber daya alam, pemilihan kepala daerah, dan pelbagai korupsi besar amat kerap berkorelasi dengan tindak-tanduk kepentingan politik. Pada titik itulah KPK diharapkan menjadi lembaga yang kuat dan memiliki kapasitas mumpuni.
Tentu tidak hanya cukup kepada KPK untuk menentukan masa depan pemberantasan korupsi Indonesia. Negara, dalam konteks terdekat pemerintah dan parlemen, juga harus melindungi. Publik harus memberi kontrol kuat dan berimbang. Memproteksi KPK dari kemungkinan serangan tapi pada saat yang sama harus kritis kepada KPK, yang sangat mungkin ditunggangi kepentingan tertentu. Meskipun pemimpinnya bisa diganti, KPK sebagai kelembagaan yang penting bagi pemberantasan korupsi tak boleh mati. Kontrol publik akan menjadi vitamin yang membantu meluruskan penyehatan KPK. Perlindungan publik terhadap serangan akan menjadi antibiotik perlawanan atas bakteri perusak KPK.
Selain itu, kembali ke KPK sendiri yang harus memproteksi, minimal dengan mengagregasi tiga hal di atas. Tanpa itu, KPK hanya sedang menjemput proses kematiannya. Jika ini terjadi, pemimpin KPK jilid IV akan dicatat dengan perasaan penuh curiga karena rela menjadi kuda troya, tunggangan kepentingan politik. l
Pengajar ilmu hukum dan Ketua PuKAT Korupsi pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo