Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dua 'Perjalanan' di Hutan Kecil

Dua pentas dilakukan Lab Teater Jakarta di Hutan Kota Sangga Buana, Kali Pesanggrahan, Karang Tengah, Lebak Bulus. Membuka kemungkinan ruang pertunjukan.

28 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALANAN licin. Hujan masih belum sepenuhnya reda, Sabtu malam, 19 Desember lalu. Begitu masuk pintu gerbang, terasa di kanan-kiri bayang-bayang lebat pohon dalam kegelapan. Lilin-lilin kecil ditaruh di tanah untuk penunjuk jalan. Pada pengujung tahun ini, sebuah eksperimen tak terduga disajikan Lab Teater Jakarta di Hutan Kota Sangga Buana, Kali Pesanggrahan, Lebak Bulus, Jakarta. Tak banyak yang tahu Jakarta memiliki kawasan hutan seluas kurang-lebih 120 hektare, terentang sepanjang 38 kilometer mengikuti Sungai Pesanggrahan.

Berjalan beberapa menit, setelah itu kita melihat sebuah persimpangan. Ke bawah ada jalan curam. Di kiri, di antara pohon-pohon besar, terlihat ada saf-saf tempat duduk dari bambu. Posisi duduk mengarah ke bawah. Ternyata di bawah terdapat area tanah yang dikelilingi rimbunan semak, dibuat sebuah stage. Sorot cahaya mula-mula menampilkan seorang aktor (Aseng Komaruddin) membawa belencong—alat penggali batu atau pemecah batu. Ia berbicara tentang sebuah mata air. Ia mengayun-ayunkan belencongnya. Inilah pertunjukan Mata Air Mata karya sutradara Bambang Prihadi.

Suasana alam memang membuat pertunjukan ini jauh berbeda dengan sebuah pertunjukan di gedung. Apalagi gerimis masih mengguyur. Naskah Bambang berkisah tentang seseorang bernama Tuamata, yang mata airnya kering dan ingin agar masyarakat ataupun dunia "lelembut" membantu mengalirinya. Ini bukan drama realis. Naskah Bambang menampilkan gaya Arifin C. Noer. Ada dua dunia. Dunia sini dan sana yang membaur menjadi satu. Tuamata melakukan perjalanan meminta air sulingan Nyai Sima. Terjadi dialog antara Nyai Sima dan para "penghuni alam" lain yang di antaranya mengenakan kostum serba putih, termasuk kaus tangan putih. Naskah Bambang sesungguhnya memiliki potensi digarap magis.

Sir Ilham Jambak, yang memainkan sosok serba putih, dalam beberapa adegan sedikit melakukan gerak akrobatik dan pantomim. Bila sosok-sosok "dunia lain" lebih diperkaya koreografinya serta menggunakan aneka unsur properti yang mengandaikan "dunia antah berantah, dunia gaib", katakanlah menggunakan unsur-unsur topeng, dalam bayangan saya magis itu terasa.

Yang menarik adalah gerombolan orang. Menyaksikan mereka menyeruak dari kegelapan dengan membawa alat-alat cangkul, sekop, dan garu, mengandaikan mereka suatu kolektivitas petani radikal. Adegan saat mereka berebutan menadah tetes-tetes air dengan gelas kecil atau saat berlari memutar-mutar mengelilingi Tuamata terasa sebagai ekspresi kegetiran para petani.

Tapi yang paling mencuri perhatian adalah adegan seorang perempuan yang terus menggali di dalam sebuah lubang. Mula-mula badannya terlihat separuh sampai kemudian ia terbenam hingga sebatas leher. Seluruh tubuhnya tertimbun daun. Hal begini yang tidak bisa dilakukan di dalam sebuah gedung pertunjukan.

* * *

Pertunjukan kedua pukul 21.30. Penonton sekitar 150 orang dari tempat pertunjukan Bambang. Mereka dipersilakan menuruni jalan licin ke bawah untuk menyaksikan pentas berjudul Suluk Sungai karya sutradara Abdullah Wong dan penata artistik Aidil Usman. Di situ kita melihat sebuah kubangan besar yang dipagari turap bambu di pinggirnya. Abdullah Wong menggali tanah sekitar 25 x 8 meter. Bangku-bangku bambu sederhana untuk penonton dibuat di empat sisi. Penonton seolah-olah mengelilingi sebuah "teater arena". "Kami mengalirkan air Sungai Pesanggrahan dengan pompa ke tanah yang kami gali," kata Aidil Usman.

Suasana kubangan itu surealistis. Ada lima tunggul atau sisa-sisa pohon yang berbeda tingginya tertancap dalam kolam. Lumpur seakan-akan menyedot dan membuat pohon itu gersang dan kehilangan daun. Pendaran statis cahaya secara visual berhasil membawa kita ke sebuah suasana yang lain. Memandang air cokelat, keruh, dan tenang seolah-olah kolam itu dalam, padahal airnya cuma sebatas lutut. "Tunggul-tunggul pohon itu kami ambil dari kayu tua yang hanyut di Sungai Pesanggrahan. Di sini tidak boleh memotong pohon," Aidil menambahkan.

Dari sisi kiri, seorang perempuan berkerudung, yang mulanya duduk bersama penonton, tiba-tiba berdiri, mencopot kerudungnya, dan masuk ke genangan air. Di bagian tengah dan kanan juga masuk dua aktor laki-laki. Mereka mulanya memeluk tunggul-tunggul itu dan lalu berebutan. Seseorang bersusah payah naik ke sebuah tunggul dan berdiri di puncak seraya berteriak: "Perjalanan kita telah jauh...." Lalu ia meloncat ke air, mencipratkan lumpur ke arah penonton.

Sama seperti Bambang, karya Wong berbicara tentang perjalanan. Hanya dalam adegan perwujudannya lebih eksplisit. Dialog ketiga aktor di dalam kubangan berlumpur itu mengandaikan mereka melakukan perjalanan jauh. Sebuah perjalanan menyakitkan. Mereka tersesat. Dan mereka lelah. Mereka mencoba bertahan tak mengeluh, tapi kelelahan, kesia-siaan, dan kebosanan mendera. Horizon masih saja menjauh. Terjadi konflik di antara mereka: "Apakah kita harus berbalik arah dan kembali ke asal-usul kita?"

Wong cukup berhasil membangun situasi dan konflik di dalam genangan. Teaternya menjadi setengah physical dan setengah realis. Gerak-gerak aktor yang latihannya dibantu oleh koreografer Jefriendi Usman tidak menjadikan pementasannya lebih berat ke tari, happening, atau performance. Cara para aktor menjatuhkan badan ke belakang atau mencebur dari ketinggian terlihat alami. Interaksi antaraktor yang menggambarkan solidaritas, seperti bergandengan tangan dan berlari bersama-sama, menyebabkan air semburat ke penonton, cukup menarik. Juga permainan pemaknaan terhadap tunggul dan batang-batang pohon.

Dalam salah satu adegan, para aktor lelaki, misalnya, memanggul batang-batang pohon yang berat. "Tugas kita membuat bahtera," teriak seseorang. Lalu mereka membuat sebuah rakit dari bambu. Yang perempuan duduk dan rakit "dilayarkan" meski tersendat oleh lumpur hitam. Kalau saja air dibuat lebih dalam, katakanlah sepaha, tentu adegan perjalanan rakit ini bisa lebih lancar.

Terakhir, tatkala konflik memuncak, ketiga aktor itu menutup mata. Masing-masing memegang tongkat bambu. Kemudian mereka menghantamkan sekeras-kerasnya tongkat dari berbagai arah ke tunggul-tunggul kayu. Seolah-olah terjadi perkelahian hebat. Adegan ini tak terduga. Dan, klimaksnya, tunggul-tunggul di dalam lumpur itu dibungkus kain putih. Itu membuat imajinasi melentik bahwa pohon-pohon itu suci atau malah pohon arwah—pohon yang dikafani.

Stamina para pemain—Ali Utsman, Dzatmiati Sari, dan Eko Yudiprast—harus diacungi jempol. Sampai detik terakhir, energi mereka sama sekali tak mengendur. Padahal tubuh mereka terbanting, terjerembap, dan terbenam di dalam air berlumpur. Yang menjadi catatan, semua ekspresi mereka baru tampak sekadar mencerminkan kelelahan fisik semata, belum sampai mencapai keletihan dan kelelahan rohani.

Saya melihat Suluk Sungai sesungguhnya adalah alegori dari penziarahan Sangkan Paraning Dumadi. Perjalanan memahami asal-muasal dan tujuan kehidupan. Dalam perjalanan itu yang tersesat bukan hanya fisik, tapi juga rohani. Keletihan batin dan "kebingungan metafisis" manusia yang kehilangan arah, tapi yang terasa belum menggumpal pada diri ketiga aktor. Keletihan rohani itu lebih banyak dinyatakan dalam kalimat yang kesannya berat-berat dan kerap berbau nasihat.

Juga andaikata tempo permainan lebih padat, pentas ini pasti lebih menggedor. Lantaran terlalu banyak kata dan pengulangan variasi adegan—misalnya adegan naik ke tunggul—irama permainan jadi turun-naik. Juga seolah-olah susah menemukan ending yang tajam. Tatkala sebuah suluk dilantunkan, Ada kupu-kupu yang melintas mengepakkan sayap di angkasa..., sebenarnya sudah cukup. Suluk itu membawa perasaan mengambang ke arah mana.

Meskipun demikian, pertunjukan Wong adalah sebuah gebrakan. Bisa dibayangkan bagaimana Wong menggembleng para aktornya. Bila dikatakan mulanya yang ikut latihan Suluk Sungai jumlahnya belasan dan kemudian sedikit demi sedikit ada yang mengundurkan diri, itu masuk akal. Pertunjukan Wong demikian menguras energi.

Salah satu isu teater kontemporer sekarang adalah kebutuhan memperkaya pentas selain di proscenium gedung. Teater mula-mula adalah tubuh dan ruang. Dan di sebuah hutan kecil di Lebak Bulus, Bambang dan Wong saya lihat mencoba menggodok, menempa kemungkinan-kemungkinan itu. Sebuah teater yang berbasis ekologi telah dimulai di Jakarta.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus