Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya berjudul This Thing #6 itu mengingatkan saya pada meja gambar mahasiswa seni yang dilapis plywood zaman kuliah dulu. Tapi ada lingkaran di salah satu sudutnya yang membuat karya ini juga mirip dengan meja kopi yang pernah saya lihat di salah satu toko furnitur.
Karya ini jelas bukan meja. Tidak ada kaki meja yang terpasang. "Meja" ini juga dipajang vertikal, bukan horizontal. Ada pipa biru melengkung di satu sisi untuk menjaga keseimbangan. Sementara itu, di sisi lain "meja" ini, terpasang pipa-pipa bergaris layaknya rak piring.
Tak jauh dari sana, ada This Thing #8, pipa stainless steel melengkung yang dipoles warna kuning lembut. Lengkungan berulangnya mengingatkan saya pada hanger untuk menggantung pakaian. Ah, tapi bila dilihat lebih lama ada juga kemiripannya dengan tempat memarkir sepeda di jalan.
Lewat karya-karyanya, Faisal Habibi ingin mendekonstruksi obyek-obyek fungsional di sekitar kita. Sementara salah satu pekerjaan desainer adalah memberikan branding pada obyek, perupa lulusan Institut Teknologi Bandung ini melakukan hal sebaliknya: dia membongkar bentuk-bentuk yang sudah melekat pada obyek fungsional, lalu mengubahnya menjadi obyek estetik.
Dalam pameran bertajuk "This is not an apple..." ini, bentuk benda rumah tangga yang lazim kita kenal lahir kembali menjadi sesuatu yang dekat sekaligus asing. Tajuk pameran ini sendiri merupakan kalimat negatif yang menjelaskan isi pameran, tempat pengunjung akan melihat obyek estetik sembari berpikir ini bukanlah sesuatu yang biasa bersentuhan dengan keseharian mereka, meski terasa familiar. "Pameran ini merupakan keambiguan Apple. Apple sebagai obyek konsumsi. Buah atau merek," kata Faisal, Selasa malam pekan lalu.
Faisal tak sekadar mengurangi fungsi obyek dalam pameran ini, tapi juga mengeksplorasi bentuk, material, dan warna sekaligus menjadikannya medium menyampaikan interaksi intelektual. "Pameran ini merupakan pengalaman saya dengan obyek-obyek fungsional," ujar perupa kelahiran Jakarta yang berbasis di Bandung ini. Karya-karya yang dibuat Faisal selama enam bulan terakhir ini bisa disaksikan di ROH Gallery, Equity Tower lantai 40, Jakarta Selatan, hingga 17 Januari 2016.
Faisal kerap mengkritik material culture—obyek dan hubungannya dengan kehidupan manusia—lewat karya-karyanya. Dalam dunia seni rupa, nama Faisal mulai melambung lewat Hanky Panky III, karya serupa dekonstruksi bangku bar menggunakan kayu, baja, dan karet. Karya ini memenangi Kompetisi Karya Tiga Dimensi dari Komunitas Salihara, yang membawanya pada program residensi tiga bulan di Zentrum für Kunst und Urbanistik (ZKU—Pusat Seni dan Urbanisme) di Berlin, Jerman.
Jauh sebelum itu, pemenang Indonesia Art Award (pilihan favorit juri) pada 2008 ini sering menggelar pameran gabungan dengan seniman lain. Karyanya sudah dipamerkan di Bandung, Jakarta, Yogyakarta, sampai Singapura dan Australia. Tapi baru kali ini Faisal berkesempatan menggelar pameran tunggal perdana. "Saya sudah merencanakan pameran selama beberapa lama, tapi waktu itu belum mantap. Saya merasa masih harus mendalami beberapa hal," katanya.
Pameran ini merupakan pengembangan ide dari karya-karya Faisal sebelumnya. Menurut Faisal, setiap hari kita dikelilingi obyek fungsional yang memiliki banyak varian. Dari material, bentuk, hingga warna. "Saya concern sekali pada varian-varian itu. Ini semacam kritik bagaimana varian-varian ini menjelma menjadi banyak kepentingan ekonomi, sosial, dan politik," ucap Faisal.
Pada karya Cute and Paste, Faisal mengkritik pisau sebagai budaya material. Instalasi dinding itu merupakan satu kelompok yang terdiri atas 18 karya stainless steel dan kayu—dua bahan pembuat pisau. Pada karya ini, dia menampilkan bentuk yang dekat dengan imaji pisau, penggaris segitiga, jangka, busur, bahkan nunchaku dan gerinda. Tapi sudut-sudut janggal, potongan-potongan asing, dan lengkungan-lengkungan tanggung dari stainless steel ini tidak sesuai dengan pisau atau imaji-imaji yang sempat terlintas tadi.
Faisal memperlakukan stainless steel dan kayu bukan sebagai benda yang dikenal sebagai pisau, melainkan sebagai komponen dasar yang dieksplorasi dalam bentuk-bentuk baru. Garis-garis presisi, ketajaman sudut, dan tingkat kerapian dalam karya ini memperkuat nilai estetiknya.
Konsep ini dia kembangkan lagi pada Straight Curves, di mana ia memainkan bentuk-bentuk lurus, melengkung, hingga bergerigi dalam baris-baris stainless steel yang ditopang sebilah kayu. "Saya sengaja mencari jarak dengan fungsi. Obyek keambiguan itu yang hendak saya angkat."
Pada karya Sweet Savoring of Depletion I-III, Faisal membuat karya rupa painted steel dengan bentuk mirip piring, cangkir, dan mug. Bentuk cangkir dengan dasar bolong tanpa gagang, piring tanpa alas, dan mug dengan sisi samping terbuka menjadi bentuk-bentuk negatif dari benda-benda pecah belah yang kerap menjadi pusat kehidupan manusia.
Distorsi ergonomi sengaja diterapkan untuk karya-karya ini. Maka ukuran karya ini jauh lebih besar daripada benda asli yang terekam di kepala saya. Distorsi ini memberi jarak dengan fungsi. Faisal juga menekankan bidang-bidang pada karyanya lewat permainan warna kontras putih, merah, dan biru.
Tapi karyanya yang paling mencuri perhatian dalam pameran ini adalah Mind the Gap, kelompok karya potongan besi dengan bentuk-bentuk unik yang ditata menjadi instalasi dinding. Potongan-potongan besi separuh lingkaran, melengkung, sampai bersudut janggal ini dibeli Faisal di pasar besi Jatayu di Bandung. "Saya melihat bentuk-bentuk potongan yang sudah bagus. Saya ingin menggunakan ini untuk membangun obyek," katanya.
Selama dua minggu, Faisal bolak-balik ke sana mencari besi bekas berpotongan unik. "Saya tidak tahu apa yang sebenarnya hendak dibuat dari sisa-sisa bahan ini, tapi saya lihat sisa-sisa bentuk yang presisi, terhitung, dan terukur. Berangkat dari sana, saya membuat karya yang mengkritik fungsi," ujarnya. Faisal menggambarkan besi-besi sisa itu sebagai sampah-sampah representasi perayaan keteraturan, celebration of limitation, sekaligus sisa-sisa euforia orang membuat sesuatu yang fungsional.
Lalu "sampah" itu dibiarkan menumpuk di salah satu sudut studionya di Bandung. Sebagian dari besi itu sudah berkarat sejak awal dia beli. Tapi beberapa yang lain berkarat dengan sendirinya. "Ada yang terkena cairan kimia, lalu berkarat."
Total 200 kilogram besi tua dia kumpulkan untuk karya ini. Semuanya dipilih dengan saksama. "Saya memperhatikan bentuk potongan, juga berat. Kalau terlalu berat, akan sulit dipasang di dinding," katanya. Karya yang terpasang di ROH Gallery itu tidak memuat seluruh besi tua yang dikumpulkan Faisal. "Karya ini on going, dalam artian akan saya teruskan dan disesuaikan dengan dinding dan lokasi," ucapnya.
Amandra M. Megarani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo