Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Variasi dalam Bahasa

Pengguna bahasa cukup kreatif melakurkan ngabuburit dengan kata bahasa Inggris seperti ngabuburead, ngabuburide, ngabubureat.

 

23 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Lakuran dalam KBBI dimaknai sebagai kata baru yang terbentuk dari hasil penggabungan dua kata atau lebih sehingga menghasilkan arti gabungan dari kata-kata pembentuknya.

  • Kebanyakan lakuran dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa Inggris.

  • Lakuran asli bahasa Indonesia biasanya dibuat oleh pejabat pemerintahan untuk kepentingan tertentu di lingkungan mereka.

KATA ngabuburit kini tak hanya dimiliki masyarakat Sunda. Kata itu sudah menjadi warga bahasa Indonesia dan diakui oleh sebagian besar penutur bahasa Indonesia. Konsep kata ngabuburit memang unik karena hanya ada pada masyarakat Sunda saat Ramadan. Ngabuburit adalah kata kerja (verba) turunan dari kata dasar burit (petang) yang dapat dimaknai sebagai kegiatan (apa pun) untuk menunggu waktu petang menjelang azan magrib, tanda waktu berbuka puasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tampaknya, ngabuburit diserap ke bahasa Indonesia sebagai bentuk dasar. Keterangannya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak jelas dan pemaknaannya pun hanya disebutkan mengabuburit. Bentuk itu terasa janggal bagi orang Sunda karena awalan nga- dalam bahasa Sunda berfungsi sama dengan awalan me- dalam bahasa Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baiklah, untuk sementara, bentuk mengabuburit di KBBI kita terima saja walaupun sebenarnya bentuk ngabuburit sudah lazim di masyarakat. Kita lupakan dulu bentuk janggal di KBBI itu karena ada bentuk-bentuk “janggal” lain berupa lakuran (portmanteau) dari ngabuburit. Para pengguna bahasa cukup kreatif melakurkan ngabuburit dengan kata dari bahasa Inggris seperti ngabuburead, ngabuburide, atau ngabubureat.

Di kalangan pegiat literasi, ngabuburit berubah bentuk menjadi ngabuburead sebagai nama kegiatan mengabuburit sambil membaca. Biasanya, mereka melakukan ngabuburead di taman bacaan masyarakat dengan acara bedah buku, peluncuran buku, dan sebagainya.

Sementara itu, komunitas rider (penyuka kegiatan bersepeda atau bersepeda motor) memilih bentuk ngabuburide sebagai nama kegiatan menanti petang sambil berkendaraan. Mereka biasanya melakukan perjalanan “tipis-tipis” (ringan atau dengan jarak yang tak terlalu jauh) agar tak merasa bosan menunggu waktu magrib.

Komunitas kuliner lain lagi. Mereka membuat lakuran ngabubureat. Namun itu bukan berarti mereka menanti saat berbuka puasa dengan kegiatan makan. Biasanya, mereka mengadakan acara semacam bazar yang menyediakan makanan untuk berbuka puasa. Acara ini biasanya yang ditunggu-tunggu kru “PPT”, para pencari takjil.

Mungkin masih ada bentuk lakuran lain dari ngabuburit, tapi tiga contoh tersebut sudah mewakili kreativitas masyarakat. Ya, kreativitas membuat kegiatan dan kreativitas membuat nama kegiatan dengan lakuran. Walaupun bukan barang baru dalam bahasa Indonesia, jumlah lakuran masih belum banyak. Kebanyakan lakuran dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa Inggris, seperti siborg dari cyborg (cybernetic and organism), alfanumerik ­dari alphanumeric (alphabet and numeric), dan advertorial (advertisement and editorial).

Lakuran asli bahasa Indonesia biasanya dibuat oleh pejabat pemerintahan untuk kepentingan tertentu di lingkungan mereka (gaya selingkung), seperti diklat (pendidikan dan pelatihan) dan cekal (cegah dan tangkal). Namun, “tanpa disadari”, lakuran-lakuran itu memasyarakat (bukan gaya selingkung lagi) dan kita sering menyebutnya sebagai akronim, hipernimi dari lakuran. Hal itu menyebabkan kerancuan pemahaman dan pencampuradukan lakuran dan akronim.

Contohnya, artikel tentang lakuran di beberapa media menyebutkan bahwa surel (surat elektronik), sinetron (sinema elektronik), dan menpora (menteri pemuda dan olahraga) sebagai lakuran, padahal bukan.

Lakuran dalam KBBI dimaknai sebagai kata baru yang terbentuk dari hasil penggabungan dua kata atau lebih sehingga menghasilkan arti gabungan dari kata-kata pembentuknya. Artinya, makna kata-kata yang digabungkan bertahan dalam kata baru (baca: lakuran) itu. Contoh pada diklat, makna kata pendidikan dan pelatihan tidak mengalami perubahan. Kondisi yang berbeda pada surel, makna kata surat menyempit dengan adanya tambahan kata elektronik. Kata surat menjadi inti dan kata elektronik merupakan keterangan. Dengan kata lain, surel adalah hiponimi dari surat. Demikian juga pada akronim sinetron dan menpora yang menunjukkan bahwa kata pertama merupakan inti (hipernimi).

Keberadaan lakuran sebagai hiponimi dari akronim tampaknya belum terakomodasi dalam ketatabahasaan Indonesia. Bahkan dalam Pedoman Ejaan yang Disempurnakan Bahasa Indonesia hanya disebutkan dua jenis akronim, yakni akronim nama diri dan akronim bukan nama diri. Bagaimana dengan lakuran, abreviasi, dan inisial yang sebenarnya sudah tercantum dalam KBBI? Masuk golongan manakah mereka? Apabila lakuran termasuk sebagai akronim, bagaimana membedakan lakuran dengan jenis akronim lain?

Secara sambil lalu, saya mencoba mengidentifikasi bahwa lakuran adalah hasil penggabungan—lebih tepatnya peleburan­—konsep yang setara. Dengan demikian, kita dapat menandainya dengan kata penghubung dan atau dengan. Misalnya pada lakuran cekal yang dapat diketahui sebagai lakuran karena berarti cegah dan tangkal atau ngabuburead yang berarti ngabuburit dengan (cara) membaca.

Kembali pada lakuran dari ngabuburit, kreativitas itu bisa berdampak positif. Selain bisa mengangkat gengsi, pembuatan lakuran seperti itu bisa menginternasionalkan kosakata bahasa daerah. Boleh jadi pengguna bahasa Inggris merasa penasaran ketika membacanya, sama halnya ketika kita melihat tulisan glocalization, prosumer, edutainment, infotainment, atau journalyst. Pelakuran semacam itu rasanya lebih bernilai dibandingkan dengan penggunaan istilah asing secara serampangan, seperti OTW pada kalimat “Sebentar lagi saya OTW (on the way)” atau “Kalau bisa ASAP (as soon as possible), ya!”.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Artikel ini terbit di edisi cetak dengan judul "Lakuran"

Tendy K. Somantri

Tendy K. Somantri

Pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan, Bandung

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus