Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Legasi atau Dinasti

7 Juli 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUGAS terakhir—dan sering tersulit—seorang pemimpin adalah menyiapkan penggantinya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang menghadapi tantangan itu. Tahun depan masa jabatannya sebagai orang nomor satu negeri ini akan berakhir. Siapakah yang disiapkannya menjadi pemimpin berikut?

Jawabannya mungkin mulai terkuak, walau masih samar. Kabar tentang pengangkatan Jenderal Purnawirawan Pramono Edhie Wibowo sebagai anggota Dewan Pembina Partai Demokrat menimbulkan spekulasi di seputar suksesi ini. Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat yang juga adik ipar Presiden Yudhoyono ini mungkin sedang disiapkan sebagai calon presiden 2014.

Kemungkinan masuknya putra Jenderal Sarwo Edhie Wibowo ini sebagai kandidat telah membuat para pengamat politik bagai mendapat pasokan energi tambahan dalam berspekulasi. Mereka melontarkan wacana munculnya pertarungan politik dinasti pada pemilihan umum tahun depan. Bahkan ada yang telah menamakannya pertandingan dinasti "Triple-S", yaitu antara keturunan Sarwo Edhie, keturunan Sukarno, dan keturunan Sumitro Djojohadikusumo.

Memang sebagian nama yang diperkirakan masuk gelanggang pemilihan presiden tahun depan adalah Prabowo Subianto Djojohadikusumo, Megawati Soekarnoputri, dan kini Pramono Edhie Wibowo. Bila hanya ketiga nama ini yang masuk gelanggang, pendapat bahwa perpolitikan RI telah terjebak dalam politik dinasti akan terbukti. Ahwal ini bukanlah sesuatu yang sehat dalam kehidupan berdemokrasi.

Untunglah luas persemaian pemimpin politik Indonesia tak selawah daun kelor. Berbagai jajak pendapat yang independen menyimpulkan ketiga partai politik asal dinasti "Triple-S" ini ternyata belum cukup kuat untuk menampilkan calon presidennya sendirian, karena belum berhasil meraih kepercayaan 20 persen calon pemilih. Bahkan, ketika responden ditanya siapa calon presiden favorit mereka, ternyata yang selalu unggul adalah Joko Widodo—alias Jokowi.

Jokowi jelas bukan produk dinasti politik. Kariernya dimulai sebagai pengusaha mebel yang sukses, lalu masuk politik ketika mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo—dan terpilih. Karakternya yang jauh dari kehidupan glamor kaum elite dan kegemarannya berkomunikasi dengan rakyat jelata rupanya membuat penduduk mendukung upayanya membenahi Kota Solo.

Maka kinerja pelayanan masyarakat pemerintah kota terus membaik dan keberhasilannya mulai menarik perhatian masyarakat di luar wilayahnya. Majalah Tempo menobatkannya sebagai satu di antara sepuluh kepala daerah terbaik di Indonesia pada 2008. Banyak lagi anugerah pernyataan apresiasi datang dari dalam dan luar negeri. Tak aneh jika rakyat berbondong memilihnya kembali ketika masa jabatannya berakhir.

Bahkan rakyat Jakarta kemudian meliriknya ketika kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo dinilai sebagian besar penduduk tak lagi memberikan harapan akan membaiknya ibu kota Republik ini. Kendati masuk bursa di saat menjelang tenggat, ternyata Jokowi berhasil menga­lahkan inkumben yang didukung semua partai politik di luar PDI Perjuangan dan Gerindra.

Akankah Jokowi mengulang suksesnya dengan memasuki pemilihan presiden 2014? Pertanyaan ini masih mencari jawab. Soalnya, Jokowi belum menyatakan akan bertanding dan masih berfokus pada upaya membenahi Jakarta. PDI Perjuangan pun belum menentukan sikap: akan kembali memajukan Megawati sebagai calon presidennya atau calon lain, termasuk Jokowi.

Bila Jokowi tak menjadi calon, jajak pendapat saat ini umumnya menyimpulkan peluang menang ada di tangan Prabowo. Namun, untuk maju sebagai calon, Prabowo perlu mendapat dukungan partai lain. Ia mungkin perlu mengumpulkan dukungan banyak partai kecil agar memenuhi syarat. Soalnya, partai besar seperti Golkar sudah mendeklarasikan ketua umumnya sebagai calon. Hanya, tingkat keterpilihan sang ketua, Aburizal Bakrie, masih amat rendah.

Situasi partai besar tak punya calon populer dan calon populer tak memiliki partai pendukung yang memenuhi syarat ini menunjukkan lebarnya jurang pemisah antara keinginan elite partai dan aspirasi mayoritas rakyat. Situasi ini perlu segera dibenahi. Inilah sebetulnya peluang emas bagi Yudhoyono sebagai presiden yang sekaligus memegang kendali Partai Demokrat.

Upayanya mengadakan konvensi terbuka untuk mencari calon presiden dan wakil presiden 2014 melalui Partai Demokrat sudah berada di jalur yang tepat. Tinggal dikawal bahwa calon yang dipilih nanti benar-benar menggambarkan aspirasi mayoritas pemilih Republik. Tidaklah relevan apakah sang calon kader Partai Demokrat atau bukan, berhubungan keluarga dengan Yudhoyono atau tidak. Sebab, seperti pernah dikatakan John Fitzgerald Kennedy, "Kesetiaan saya kepada partai berakhir begitu kesetiaan saya kepada bangsa dimulai."

Legasi ini bolehlah jadi contoh bagi Presiden Yudhoyono dalam mempersiapkan penggantinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus