Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang terjadi ketika 20 pekerja anak, enam di antaranya di bawah umur, menghabiskan waktu dan tenaganya di sebuah rumah pengap dan bau anyir? Bekerja dari tahun ke tahun mengolah dan memasukkan nugget ikan ke dalam kemasan dan mereka tetap saja dibayar dengan upah di bawah standar upah minimum provinsi? Inilah pemerkosaan hak anak secara telanjang, terjadi di Ibu Kota, dan tak ketahuan meski berlangsung sekian lama.
Masalah ini jelas tidak berhenti hanya dengan memberikan sanksi kepada orang tua yang memilih mempekerjakan ketimbang menyekolahkan anaknya. Atau dengan mengganjar pemilik pabrik yang bernama Tio Tju Meng itu dengan Pasal 185 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: mempekerjakan anak di bawah umur dan membayar pekerja dengan upah di bawah upah minimum regional diancam empat tahun hukuman penjara.
Tentu apresiasi harus diberikan kepada kepolisian yang pada akhir Juni lalu telah membongkar praktek tak manusiawi itu di sebuah rumah merangkap pabrik di bantaran Kali Sekretaris. Dan hukum—yang sesungguhnya juga buah perjuangan kaum buruh itu—harus ditegakkan sehingga orang akan berpikir dua kali sebelum melakukan kecurangan ini.
Kendati sangat menyakitkan, harus diakui bahwa mempekerjakan anak-anak di pabrik nugget ikan itu adalah kompromi dengan realitas. Gaji mereka Rp 450-900 ribu, jauh di bawah standar upah minimum provinsi Rp 2,2 juta. Tapi, bagaimanapun, itu income yang sangat berarti buat keluarga. Hukum ketenagakerjaan jadi kehilangan makna ketika nilai-nilai normatif itu menjadi relatif lantaran kenyataan terlalu pahit. Dalam keadaan yang serba terjepit, orang tua pun tidak memandang anak sebagai investasi masa depan—tapi sebagai tulang punggung keluarga.
Ya, kemiskinan telah merelatifkan nilai-nilai yang mutlak. Negeri ini menyaksikan lebarnya jurang antara si kaya dan si miskin. Memang ada masanya ketika membicarakan perbedaan kelas di negeri ini disamakan dengan membahas komunisme. Tapi masa itu telah berlalu. Kini, ironis sekali, ketika sebagian orang membicarakan optimisme atas masa depan Indonesia yang dimotori kelas menengah konsumtif, masa depan para pekerja anak di pabrik nugget itu gelap pekat.
Melihat disparitas seperti ini, mau tidak mau, tanpa harus menghentikan peran mereka sebagai tulang punggung keluarga, pemerintah mesti memainkan peran lebih sentral untuk menyekolahkan mereka. Pendidikan adalah satu-satunya sarana mobilitas vertikal yang dapat mengangkat kedudukan sosial mereka dan keluarga di kemudian hari. Tanpa pendidikan, mereka tersingkir.
Ironis sekali, manakala pemerintah dengan dukungan dana Bantuan Operasional Sekolah meningkatkan wajib belajar—dari 6 tahun (sekolah dasar) menjadi 9 tahun (sekolah menengah pertama)—jumlah pekerja anak seperti di pabrik nugget itu justru meningkat. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2011 menunjukkan, pekerja usia 10-14 tahun meliputi hampir lima persen—atau 878 ribu orang—dari angkatan kerja. Data lain bahkan menyebutkan 2,3 juta anak usia 7-14 tahun menjadi pekerja di bawah umur di negeri ini.
Kalau sudah begini, pemerintah harus fleksibel dan kreatif. Kita senantiasa menunggu terobosan kreatif kebijakan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengembalikan anak-anak yang terjebak dunia kerja informal ini ke sekolah. Sebab, kita juga harus memastikan bahwa hilangnya pendapatan keluarga perlu digantikan dengan income yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo