Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Aneka Manipulasi Dana Aspirasi

29 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Zainal Arifin Mochtar

DEWAN Perwakilan Rakyat berhak "mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan". Pasal 80 huruf J Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah—dikenal sebagai UU MD3—Itu dijadikan landasan hukum untuk melahirkan "dana aspirasi", yang disahkan pekan lalu.

Anggota DPR membungkus pasal itu dengan tambahan alasan bahwa dana sangat penting untuk "mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan pembangunan, dan percepatan turunnya dana pembangunan ke daerah" yang selama ini dirasakan kurang memuaskan. Dana itu diklaim sebagai cara untuk memotong rantai birokrasi pemerintah yang buruk. Sederhananya, serahkan Rp 20 miliar kepada setiap anggota DPR yang akan menjalankan tujuan mulia itu di daerah pemilihan masing-masing.

Pada dasarnya, dana aspirasi tidak memiliki landasan kuat, selain keinginan politik DPR untuk menafsirkan UU MD3 menurut kepentingan mereka. Sesungguhnya, secara konstitusional, mekanisme sistem checks and balances memberikan hak pelaksanaan anggaran kepada eksekutif. Itu sebabnya, proses legislasi perumusan anggaran dimulai dari pemerintah.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara juga mengatur bahwa pelaksana anggaran adalah pemerintah. Di situ disebutkan bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara ada pada presiden, yang dikuasakan kepada menteri, dan diserahkan kepada gubernur/bupati/wali kota. Sebagai alat checks and balances pengelolaan uang negara oleh pemerintah tersebut, DPR tak pernah ditinggalkan. DPR memiliki kekuasaan untuk membahas dan menyetujui secara terinci sampai jenis kegiatan dan belanja anggaran.

Memang Mahkamah Konstitusi telah membatalkan kewenangan DPR untuk membahas kegiatan dan jenis belanja di kementerian/lembaga pemerintah, yang secara teknis merupakan kewenangan pemerintah. Meski begitu, DPR tetap punya kekuasaan besar dalam menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara secara terinci sampai unit organisasi, fungsi, dan program. Bahkan DPR juga diberi kewenangan mengawasi pelaksanaan anggaran tersebut.

Ada segregasi yang jelas dalam konstitusi, yakni pemerintah sebagai pelaksana dan DPR menjadi counterpart dalam membahas serta menyetujui lalu melakukan pengawasan. Dana aspirasi sangat jelas merusak pakem konstitusional. Klaim DPR bahwa dana ini merupakan terobosan karena model penganggaran pemerintah dianggap tidak merata sangat mengherankan.

Dana aspirasi juga memanipulasi bahasa pemerataan dan percepatan pembangunan di daerah. Guna memacu pemerataan ke daerah, mustahil dilakukan dengan membagikan dana kepada anggota DPR. Sebab, model sistem pemilihan umum kita tidak memungkinkan terwujudnya pemerataan.

Sistem pemilihan umum kita menggunakan model proporsional berkursi majemuk (multimember constituency) untuk setiap daerah pemilihan. Undang-undang mengatur daerah pemilihan terdiri atas 3-10 kursi. Ada dua level kesalahan logika mengalokasikan dana aspirasi berdasarkan daerah pemilihan. Pertama, daerah pemilihan "gemuk" dan berkursi banyak umumnya berada di Jawa. Artinya, Jawa akan mendapat jumlah dana aspirasi terbanyak dibandingkan dengan luar Jawa. Apakah ini yang dimaksud dengan pemerataan?

Kedua, pemerataan di satu daerah pemilihan dengan kursi majemuk pun sulit dilakukan. Bisa saja terjadi penumpukan dana aspirasi di daerah tertentu pada satu daerah pemilihan. Luas dan tidak meratanya penduduk membuat anggota DPR sering kali tidak bisa dianggap mewakili semua wilayah di daerah pemilihannya. Apakah ini yang dimaksud dengan pemerataan?

Hal ini sedikit berbeda dengan model pemilihan distrik (single member constituency), yang membuat daerah pemilihan menjadi lebih kecil, dengan pemenang tunggal. Kesempatan pemerataan "sedikit" lebih terbuka dalam sistem ini. Model sistem pemilihan distrik biasanya lebih kuat mendorong electoral accountability linkage—relasi antara anggota Dewan dan pemilih lebih dekat serta lebih mudah dikontrol. Model dana aspirasi atau pork barrel dianggap lebih pas dalam sistem pemilihan dengan daerah pemilihan kecil yang berkursi tunggal.

Mengherankan, ada pula pikiran manipulatif yang menyebutkan dana aspirasi untuk memperbaiki kehidupan partai politik agar anggota Dewan tidak lagi merampok anggaran dengan berbagai cara. Benar, semua sepakat bahwa diperlukan perbaikan pembiayaan partai politik. Namun tidak pas menggunakan dana aspirasi sebagai cara mewujudkan keinginan tersebut. Dana aspirasi tidak mungkin dipakai untuk pembiayaan partai politik. Menyamakan dana aspirasi dengan dana partai membuat kita terjebak pada pola pikir koruptif itu sendiri.

Ada manipulasi lain soal dana aspirasi. Di sini disebutkan bahwa dana aspirasi penting dan baik untuk publik. Yang perlu dibuat, menurut pembuat manipulasi, hanya tinggal metode pengawasannya. Padahal pengaliran dana ke daerah akan lebih mudah dilakukan dengan memacu dan membesarkan dana desa. Pengawasannya juga lebih kuat karena Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengaturnya dalam satu bab tersendiri. Ide pemerataan akan tercapai dan pada saat yang sama pengawasannya lebih kuat.

Pertanyaannya: apakah dana aspirasi dibuat untuk dana publik atau hanya untuk memenuhi hasrat politik para anggota Dewan? Menurut saya, dana itu dimunculkan untuk pemuasan hasrat politik para anggota DPR—harus dibaca minus partai yang dengan jelas menolak dana aspirasi. Tujuannya agar mereka memiliki dana politik yang akan mempermudah pada pemilihan umum berikutnya.

Anggota DPR semestinya membangun sistem yang kuat dan terpadu dalam penganggaran. Jika yang diangankan adalah anggaran kuat dan merata, itulah yang wajib diperjuangkan anggota DPR dalam setiap pembahasan anggaran bersama pemerintah. DPR punya kewenangan kuat untuk mengontrol pemerintah agar anggaran bisa lebih menyejahterakan daerah. Secara simultan, pendanaan partai juga harus diperbaiki. l

Pengajar Ilmu Hukum dan Ketua PuKAT Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus