Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kesepakatan iklim dalam COP28 di Dubai berakhir tanggung dan setengah hati.
Tekanan negara eksportir minyak membuat COP28 gagal menghentikan penggunaan bahan bakar fosil.
Negara maju harus mengambil prakarsa dan memikul beban lebih besar dalam memitigasi dampak perubahan iklim.
Moh. Samsul Arifin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerhati Energi Bersih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Entahlah apakah Dan Jorgensen serius atau basa-basi. Setelah Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-28 (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab, berakhir pada 13 Desember 2023, Menteri Kebijakan Iklim Denmark itu berujar, "Kita berdiri di sini, di sebuah negara minyak yang dikelilingi negara-negara minyak, dan kita menjauhi minyak dan gas."
Uni Emirat Arab memang negara minyak dan makmur berkat energi fosil yang kotor itu. Hari ini pun UEA ditaksir memiliki cadangan minyak menembus 113 miliar barel. Tuan rumah KTT iklim ke-28 ini juga anggota OPEC. Dikomandani Arab Saudi, OPEC sebagai organisasi negara pengekspor minyak dan menguasai 80 persen pasar nyaring menolak penghentian penggunaan bahan bakar fosil.
Langkah OPEC itu ikut memaksa kesepakatan iklim di Dubai berakhir "tanggung" dan setengah hati. Konferensi menyepakati akan mengurangi konsumsi bahan bakar fosil untuk mencegah dampak terburuk krisis iklim. Tidak ada tenggat (deadline) kapan pengurangan itu akan diakhiri sehingga negara-negara di planet bumi ini harus berpisah dengan energi cokelat yang tidak terbarukan tersebut. Disebutkan juga bahwa peralihan dari bahan bakar fosil dalam sistem energi akan dilakukan secara teratur dan berkeadilan demi mencapai karbon netral sesuai dengan sains pada 2050.
Ini seperti dejavu. Ingatan saya kembali pada perhelatan COP26 di Glasgow, Skotlandia, pada 2021. Waktu itu India dan Cina "mentorpedo" langkah negara-negara yang menginginkan komoditas energi yang tidak disebut Dan Jorgensen, yakni batu bara, dihapus alias tidak digunakan lagi karena menjadi biang kerok pemanasan global. Kedua negara itu sukses mengganti kata "menghentikan" dengan "mengurangi" batu bara secara bertahap hingga 2030 untuk negara kaya (maju) dan 2040 untuk negara miskin. Dan hingga kini kedua negara tersebut masih jorjoran menggunakan batu bara, antara lain, dengan membangun pembangkit-pembangkit listrik tenaga uap batu bara.
Studi kiwari menyebutkan kerugian akibat krisis iklim mencapai US$ 143 miliar per tahun. Bentuknya dari kebakaran hutan, gelombang panas, kekeringan, gagal panen, badai, hingga peristiwa ekstrem lain. Sains juga mewartakan bahwa krisis iklim yang makin gila terjadi akibat aktivitas manusia yang rakus mengeksploitasi bahan bakar fosil sejak revolusi industri ditabuh pada paruh kedua abad ke-18.
Saat ini kaum yang sinis atau ingkar terhadap krisis iklim telah berkurang secara drastis. Dulu banyak pengingkar yang berargumen sains tidak mampu memastikan bahwa krisis iklim adalah hal yang antropogenik, masalah yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Dalam The Joy of Science, Jim Al-Khalili memberi penjelasan: saintis memang tidak bisa memastikan sinisme kaum pengingkar bahwa krisis iklim terjadi akibat ulah manusia. Sebab, dalam sains, ujar Al-Khalili, tidak ada hal yang bisa 100 persen dipastikan. Namun, dia menambahkan, ada bukti berlimpah bahwa manusia bertanggung jawab atas perubahan iklim bumi yang sedemikian drastis selama beberapa dasawarsa terakhir. Lagi pula, ia melanjutkan, berjaga-jaga terhadap skenario terburuk itu jelas lebih bijak daripada abai dan berdiam diri.
Skenario kenaikan suhu bumi 2,7 derajat Celsius pada akhir abad ini (2100) diprediksi membuat sebagian tempat di bumi sulit dihuni karena saking panasnya. Skenario lebih buruk dan kelam akibat kenaikan suhu bumi yang terpanggang diungkapkan David Wallace-Wells dalam The Uninhabitable Earth. Kenaikan 3-5 derajat Celsius bakal mengakibatkan sebagian pojok bumi tidak dapat dihuni lagi. Itu sama dengan kiamat. Itulah mengapa Perjanjian Paris 2015 mematok ambang batas: kenaikan suhu bumi tidak boleh melewati 2 derajat Celsius. Syukur-syukur dalam kisaran 1,5 derajat Celsius.
Sains adalah rujukan, panduan, dan informasi bagi negara-negara di dunia ini untuk memitigasi dan merespons krisis iklim. Namun, pada kenyataannya, politik kerap menelikung sains. Keputusan politik pulalah yang jadi penentu akan ke mana bangsa manusia ini bergerak. Dan dalam COP28, lagi-lagi kepentingan nasional alias politik negara-negara yang "berat pinggul" berpisah dengan energi fosil, terutama minyak dan batu bara, yang menang. Padahal data suram mengenai muncratnya karbon dioksida ke atmosfer kian mengkhawatirkan. Pada 2023, dilaporkan bahwa 45,1 miliar ton karbon dioksida menyerbu atmosfer, naik 1,1 persen dari 2022. Target netral karbon pada 2050 bisa jadi omong kosong tanpa aksi iklim yang radikal dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, terutama oleh negara-negara maju yang menyumbang 67 persen emisi.
Simpul yang dapat ditarik dari COP28 adalah bangsa manusia memilih transisi ke energi terbarukan secara bertahap (gradual). Negara-negara yang bergantung pada energi fosil berkeberatan berpisah dengan energi cokelat ini. Namun—entah ini kabar baik atau bukan—retorika negara penolak menyebutkan masalahnya bukan sumber energinya (minyak atau batu bara), melainkan bagaimana mengurangi emisi gas rumah kaca. Maka dibuatlah rumusan untuk mempercepat pengurangan batu bara serta melekaskan teknologi penangkap dan penyimpan karbon bagi industri yang sulit dekarbonisasi.
Hal lain yang disepakati di Dubai menyangkut dana kerugian dan kerusakan. Ini tak lain adalah dana kompensasi yang ditagih atau dipungut dari negara maju untuk membayar kerusakan dan kerugian ekonomi yang ditanggung negara miskin (plus negara berkembang) yang disebabkan oleh krisis iklim. Ide ini telah disepakati dalam COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir, pada 2022 dan diperkuat di Dubai. Lumrah. Sebab, menurut PBB, 46 negara miskin di dunia, yang mewakili 14 persen populasi bumi, cuma menghasilkan 1 persen emisi karbon dioksida setahun. Selama pembicaraan dalam COP28, dana kerugian dan kerusakan itu terkumpul US$ 729 juta alias kurang dari 1 persen kebutuhan yang menembus US$ 100 miliar.
Hal yang juga layak disyukuri adalah kesepakatan dari setidaknya 132 negara untuk mendorong kenaikan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada 2030. Ini berarti secara global kapasitas energi terbarukan akan dinaikkan dari 3,4 terawatt pada 2022 menjadi 11 terawatt pada 2030. Langkah ini diikuti pula oleh seluruh anggota G8 (negara maju) minus Rusia. Anggota G8 yang meneken komitmen ini adalah Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Jerman, Australia, Kanada, dan Prancis.
Sebelum COP28 dimulai, pemerintah Indonesia telah merilis draf Dokumen Perencanaan dan Kebijakan Investasi Komprehensif (CIPP). Dokumen ini merupakan kelanjutan dari Kerja Sama Transisi Energi Berkeadilan (JETP) hasil KTT G20 di Bali pada 2022.
Dalam CIPP, target bauran energi terbarukan pada 2030 dinaikkan dari 34 persen menjadi 44 persen. Menurut saya, target pemerintah ini lumayan ambisius. Ini hampir dua kali lipat dibanding target pada 2025 yang sebesar 23 persen serta hampir empat kali lipat dari realisasi bauran energi baru dan terbarukan (EBT), yang hingga Juni 2023 hanya 12,8 persen. Saya kira Indonesia sudah lebih dulu ambisius sebelum 132 negara di Dubai meneken kenaikan tiga kali lipat energi terbarukan.
Target yang tertuang dalam CIPP itu bukan hal gampang untuk diwujudkan. Sampai 2030, contohnya, Indonesia membutuhkan Rp 3.500 triliun untuk mencapai target bauran energi terbarukan. Angkanya meningkat tajam jika diproyeksikan hingga 2060, ketika Indonesia butuh US$ 1 triliun atau Rp 15.500 triliun untuk mewujudkan netral karbon. Itu setara dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2017.
Pos belanja Indonesia dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 memang menembus Rp 3.325,1 triliun. Namun kesanggupan APBN dalam mendanai program penurunan emisi karbon hanya sekitar 10 persen dan tidak akan lebih dari 20 persen. Negara berkembang seperti kita tak mungkin sanggup membiayai dari kantong sendiri. Negara-negara maju wajib ambil bagian. Namun Indonesia punya cerita tidak enak mengenai pendanaan global.
JETP hasil G20 pada 2022, yang digembar-gemborkan senilai US$ 21 miliar, ternyata gagah di atas kertas. Janji negara-negara maju itu baru sebatas janji. Belakangan, ternyata komitmen dana itu lebih banyak berupa kredit komersial. Dana dalam bentuk hibah amat kecil. Bahkan rencana menyetop operasi sebagian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara (di luar yang telah pasti dipensiundinikan) dengan total kapasitas 5 gigawatt dihapus karena tidak jelasnya sumber pendanaan dalam skema JETP itu.
Maka dapat dimaklumi Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyentil negara maju. "Pendanaan iklim yang tersedia saat ini sebagian besar mengadopsi pendekatan business as usual. Pendanaan itu menuntut pengembalian modal seperti biasanya yang dapat membebani negara berkembang," ujar Luhut.
Memang business as usual rasanya tidak cukup untuk membantu negara berkembang dan negara miskin mempercepat transisi ke energi terbarukan. Negara maju harus mengambil prakarsa, memikul beban lebih besar, dan berperan lebih besar lagi.
Ucapan Presiden COP28 Dubai Sultan Al Jaber benar: kita adalah apa yang kita lakukan, bukan apa yang kita katakan. Sebab, kata-kata yang tidak dilaksanakan hanya akan menjadi omong kosong. Krisis iklim dan turunannya tidak butuh omong kosong.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo