TUBUH wanita itu meregang, putih, kaku. Mati. Suaminya
memeluknya dengan kedua tangan - dengan kepala yang ia lekatkan
ke dada Almarhumah. Seolah ia ingin menahannya jangan pergi.
Kita tak tahu apakah lelaki itu menangis. Tapi kita tahu - dari
genggaman jari-jarinya, dan lekuk matanya yang dalam, dari
mulutnya yang sedikit mencong - penderitaan apa yang
menghantamnya.
Buruh miskin yang kehilangan teman hidup Wanita proletar yang
putus asa di depan baymya yang sakit. Pekerja yang kepalanya
terjatuh, capek, di meja di dekat lampu. Jika Tuan belum pernah
menyaksikan kemiskinan, jika Tuan tak pernah menengok
buruh-buruh bangunan yang jongkok di tepi jalan Jakarta hingga
jauh malam, lihatlah gambar-gambar Kathe Kollwitz.
Pelukis wanita itu membuat sketsa hitam-putih yang paling muram
dalam sejarah seni rupa, tentang kemelaratan di Eropa di akhir
abad ke-18. "Sepanjang hidupku," demikian tulisnya, "aku
meneruskan suatu percakapan dengan maut."
Maut memang satu-satunya alternatif bagi mereka yang hidup
dengan nafkah yang terhimpit. "Hidup Bebas, atau Mati!" Vivre
Libre, ou Mourir! Itulah slogan yang tertulis pada poster Komune
Paris 1871. Ketika itu? orang-orang miskin yang marah menguasai
ibu kota Prancis selama 62 hari, dan Sungai Seine jadi merah.
Ada 25.000 orang yang tewas di jalan-jalan dalam bentrokan
antara revolusi dan kontrarevolusi.
Pilihan memang seakan dibikin terbatas. Orang-orang miskin Kota
Paris telah mengalami bagaimana rasanya ketika kota itu dikepung
tentara Jerman selama empat bulan sampai akhir Januari 1871.
Ada 150.000 biri-biri, 24.000 sapi, dan 6.000 babi yang
disiapkan untuk penduduk selama pengepungan itu, tapl ternyata
tak cukup. Kuda pun mulai dimakan, gajah di kebun binatang telah
ditembak, dan tiap penduduk dijatah 120 gram daging buat tiga
hari yang dingin. Tapi itu cuma teori. Orang kaya tetap bisa
mengunjungi restoran dan memesan daging kambing bakar yang enak.
Si miskin makan tikus. Para borjuis Paris rupanya, memang lupa
bahwa Eropa sedang penuh oleh tanda-tanda zaman. Beberapa tahun
sebelumnya, 1848, Karl Marx toh telah mengumumkan Manifesto
Komunis-nya. Di London, Mikhail Bakunin tiba, setelah melarikan
diri dari Siberia, pada 1861. Anarkis besar ini ingin
menghancurkan segala-galanya seraya mengutip Proudhon: "Milik
adalah hasil curian."
Tapi bukankah hari kemakmuran sedang mendekati? Bukankah,
menurut statistik yang disusun kemudian hari, antara tahun 1870
dan 1900 upah nyata para buruh naik sampai 50%? Kenapa justru
pekerja Paris demikian marah - dan meletupkan pember ontakan
yang bahkan bikin kaget Karl Marx sendiri ?
"Manusia harus hidup untuk sesuatu yang lebih baik," kata Maxim
Gorky. Bahwa ternyata kemudian "sesuatu yang lebih baik" itu
terlepas lagi, agaknya, bukan alasan untuk mencemooh impian
orang yang tiap hari diludahi kemiskinan.
Banyak hal misalnya yang menggelikan selama Paris dikuasai
Komune 62 hari. Tapi para pemberontak itu toh bersedia mati dan
sanggup bertahan tujuh hari dari serangan balik pasukan
pemerintah: suatu heroisme yang, betapa pun konyolnya, tetap
suatu heroisme. Untuk suatu impian.
Mungkin itulah satu-satunya makna yang tinggal jika kini orang
berbicara untuk sosialisme. Makna yang lain kian kabur, ketika
di masa ini sosialisme ternyata hanya melahirkan birokrasi besar
yang menindih manusia.
Makna yang bahkan hilang, ketika "kediktatoran kaum buruh"
ternyata hanya jadi "kediktatoran terhadap kaum buruh".
Sosialisme mungkin tokoh yang telah mati, seperti kata Peter
Berger. Tapi ia bisa punya roh, ia punya hantu. Ia akan
menampakkan diri dan menggamit kita di antara warna hitam-putih
lukisan derita Kathe Kollwitz. Maka, jika Tuan belum pernah
menyaksikan kemiskinan, lihatlah gambargambar itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini