ANDROPOV sakit, atau bahkan meninggal dunia, tidaklah penting.
Yang menarik adalah doa para pendeta Kristen Ortodoks Uni Soviet
yang meminta umur orang terkuat negara komunis itu diulur lebih
lanjut. Suatu doa yang memerlukan tarikan napas panjang.
Tapi di sinilah terletak masalahnya. Sejak dahulu kala
-demikianlah Marx pernah berkata - agama dan pendeta selalu
punya kecenderungan menginterasikan diri ke dalam struktur
kekuasaan. Itu pula sebabnya mereka tidak peka terhadap
kesewenangan kekuasaan para raja, yang bagi Marx dianggap
menindas rakyat.
Betapa pun jitunya serangan Marx terhadap agama, toh sejarah di
kemudian hari menunjukkan fakta lain. Pemerintahan otoriter
Amerika Latin yang lahir dari perpaduan kapitalisme dan
militerisme telah mendorong terjadi pergolakan politik yang
menjurus pada penumbangan kekuasaan di negara-negara itu.
Kelompok yang berada di belakangnya adalah kaum pendeta - suatu
kaum yang secara pedas dikritik Marx.
Bahwa sikap teologi para pendeta ini tidak terlalu berkenan di
hati Paus adalah benar. Namun, toh sang Paus asal Polandia ini
menyerang jantung Marxisme. "Kalau Anda menyerang Polandia, saya
akan meninggalkan tahta Petrus untuk berjuang bersama
orang-orang sebangsaku," ujarnya dalam sepucuk surat kepada
Breznev.
Banyak hal telah berubah, seperti juga banyak yan tidak. Bagi
Marx tidaklah begitu penting - sebagian karena dia telah
meninggal. Namun, generalisasi pandangan Marx, yang hanya
melihat sejarah agama di Eropa, ada gunanya juga dipakai untuk
melihat pergulatan agama dan politik dunia Islam. Gunanya, bukan
karena banyak ditemukan kebenaran analisa Marx, melainkan justru
karena berubah-ubahnya fungsi dan peran variabel yang sama
agama dan ulama di pelbagai negara dunia Islam.
Pembentukan kekuasaan politik, yang kemudian melahirkan kerajaan
Arab Saudi, misalnya, bukanlah karena manipulasi agama oleh
elite penguasa, melainkan justru ajaran moral.
Moral puritanisme ajaran Islam yang digerakkan Muhammad bin
Abdul Wahab - yang kemudian dikenal dengan gerakan Wahabiah
menarik perhatian Ibnu Sa'ud, penguasa lokal Jazirah Arabia abad
ke-18, untuk bergabung. Jadilah satu gerakan yang pengaruhnya
saling menyilang. Suatu gerakan menegakkan moral agama,
sekaligus menegakkan struktur kekuatan politik dan kekuasaan.
Sampai kini, sisa-sisa keturunan kelompok Wahabi yang kemudian
membentuk kelas ulama masih tetap penting sebagai kekuatan
pengimbang kebijaksanaan pemerintah dalam memodernisasikan diri
dan masyarakatnya.
Semacam NU, peran kaum ulama Arabi Saudi kemudian menjadi
pemberi legitimasi spiritual terhadap
kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan. Sedangkan kaum politisi
dan birokrat berfungsi sebagai perencana dan pelaksana
pembangunan dan pemerintahan sehari-hari. Dengan demikian,
terjadilah dikotomi "syu'riah-tanfidziah" jika kita pakai
analoginya dengan NU di Indonesia.
Tapi Islam Iran memberikan wajah lain. Agama adalah keseluruhan
kehidupan. Revolusi Iran - yang menumbangkan mitos bahwa hanya
komunis yang mampu menggerakkan revolusi di abad ke-20
meletakkan kaum ulama pada posisi strategis, baik dalam dunia
politik maupun pemerintahan.
Sampai di sini, dikotomi "syu'riah-tanfidziah" tidak ditemukan.
Masalah yang menarik adalah, mampukah corak keagamaan seperti
itu nanti memelihara semangat kritisnya, kali ini justru
terhadap kekuasaan yang baru dibangunnya sendiri.
Di Mesir soalnya lain lagi. Dua kelompok paham keagamaan berdiri
dalam dua pola yan ekstrem dan tidak bisa dipertemukan.
Kelompok pertama diwakili ulama Al-Azhar. Sepanjang sejarah,
Al-Azhar memang tidak jemu-jemu mengeluarkan fatwa untuk selalu
patuh kepada penguasa. Lembaga pendidikan tinggi agama yang
didirikan Bani Fatimiah tahun 1972 ini selalu mengintegrasikan
kepada kekuasaan elite yang bertahta. Tidak peduli dari mana dan
siapa pun.
Dalam tahun 1798, ketika Mesir di bawah Prancis, ulama Al-Azhar
berseru "Kita berlindung kepada Tuhan dari aneka ragam fitnah
(fitan) dan kita mohonkan kepada-Nya untuk melenyapkan
orang-orang yang menyebarkan kemurkaan di muka bumi serta
merusakkan hubungan baik rakyat Mesir denan tentara Prancis."
Ketika giliran Inggris yang berkuasa, ulama Al-Azhar pun berbuat
yang sama. Juga waktu Sadat berkuasa dan berdamai dengan Israel.
Kelompok kedua tidak kalah hebatnya. Mulai dari tokoh dan
kalangan revolusioner yang konseptual sampai pada kelompok
revolusioner yang awut-awutan. Kelompok ini memberikan citra
yang bertentangan dengan kaum ulama Al-Azhar, meskipun sama-sama
menekankan utamanya al-asala (kemurnian ajaran Islam) dan
menolak al-mabadi al-mustawrada (doktrin impor).
Bedanya, yang kelompok kedua meletakkan Islam sebagai blueprint
untuk segala aspek kehidupan. Pandangan keagamaannya mengenai
politik dan kekuasaan tidak bias pada kehendak penguasa, seperti
yang dilakukan kelompok pertama. Tesis mereka, sejauh pemerintah
tidak menelurkan kebijaksanaan yang sesuai dengan corak
keislamannya, konsep al-nizam al-jahili atau darl harb tetap
relevan dikenakan untuk pemerintah.
Dari sinilah kita menyaksikan lahirnya kelompok al-Ihwan
al-Muslimun. Suatu kelompok yang secara terus-menerus berusaha
mengguncangkan struktur kekuasaan di Mesir. Logika keislaman
mereka membenarkan tindakan pengguncangan itu. Bahkan, sejauh
yang dapat direkam dari pengadilan Sayyid Quthb tahun 1966 -
tokoh kedua setelah Hasan Al-Banna yang terbunuh tahun 1949
tindakan-tindakan kekerasan yang bagaimanapun bisa dibenarkan.
Ideologi radikalisme Islam inilah yang secara terus-menerus
menjaga api gerakan al-Ihwan al-Muslimun. Hanya satu dasawarsa
setelah Sayyid Quthb, muncul pula pada tokoh muda yang
karismatis, Ahmad Shukri Mustafa. Berdasarkan ideologi radikal
itu ia mendirikan suatu kelompok baru, perwujudan rain dari
Ai-Ihwan alMuslimun, yang tidak kalah ekslusifnya, al-Takfir wal
Hijra.
Di tangan merekalah Anwar Sadat dibantai. Suatu pertumpahan
darah yang dahsyat yang, sayangnya, tetap mengatasnamakan Tuhan.
Persis yang dilakukan ulama Al-Azhar, dalam bentuk yang
sebaliknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini