Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berpolitik, atas nama tuhan

Agama & pendeta menurut marx, selalu mengintegrasikan diri ke dalam struktur kekuasaan. kelompok al-ihwal al-muslimun berusaha mengguncang struktur kekuasaan di mesir. politik yang mengatasnamakan tuhan.

17 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDROPOV sakit, atau bahkan meninggal dunia, tidaklah penting. Yang menarik adalah doa para pendeta Kristen Ortodoks Uni Soviet yang meminta umur orang terkuat negara komunis itu diulur lebih lanjut. Suatu doa yang memerlukan tarikan napas panjang. Tapi di sinilah terletak masalahnya. Sejak dahulu kala -demikianlah Marx pernah berkata - agama dan pendeta selalu punya kecenderungan menginterasikan diri ke dalam struktur kekuasaan. Itu pula sebabnya mereka tidak peka terhadap kesewenangan kekuasaan para raja, yang bagi Marx dianggap menindas rakyat. Betapa pun jitunya serangan Marx terhadap agama, toh sejarah di kemudian hari menunjukkan fakta lain. Pemerintahan otoriter Amerika Latin yang lahir dari perpaduan kapitalisme dan militerisme telah mendorong terjadi pergolakan politik yang menjurus pada penumbangan kekuasaan di negara-negara itu. Kelompok yang berada di belakangnya adalah kaum pendeta - suatu kaum yang secara pedas dikritik Marx. Bahwa sikap teologi para pendeta ini tidak terlalu berkenan di hati Paus adalah benar. Namun, toh sang Paus asal Polandia ini menyerang jantung Marxisme. "Kalau Anda menyerang Polandia, saya akan meninggalkan tahta Petrus untuk berjuang bersama orang-orang sebangsaku," ujarnya dalam sepucuk surat kepada Breznev. Banyak hal telah berubah, seperti juga banyak yan tidak. Bagi Marx tidaklah begitu penting - sebagian karena dia telah meninggal. Namun, generalisasi pandangan Marx, yang hanya melihat sejarah agama di Eropa, ada gunanya juga dipakai untuk melihat pergulatan agama dan politik dunia Islam. Gunanya, bukan karena banyak ditemukan kebenaran analisa Marx, melainkan justru karena berubah-ubahnya fungsi dan peran variabel yang sama agama dan ulama di pelbagai negara dunia Islam. Pembentukan kekuasaan politik, yang kemudian melahirkan kerajaan Arab Saudi, misalnya, bukanlah karena manipulasi agama oleh elite penguasa, melainkan justru ajaran moral. Moral puritanisme ajaran Islam yang digerakkan Muhammad bin Abdul Wahab - yang kemudian dikenal dengan gerakan Wahabiah menarik perhatian Ibnu Sa'ud, penguasa lokal Jazirah Arabia abad ke-18, untuk bergabung. Jadilah satu gerakan yang pengaruhnya saling menyilang. Suatu gerakan menegakkan moral agama, sekaligus menegakkan struktur kekuatan politik dan kekuasaan. Sampai kini, sisa-sisa keturunan kelompok Wahabi yang kemudian membentuk kelas ulama masih tetap penting sebagai kekuatan pengimbang kebijaksanaan pemerintah dalam memodernisasikan diri dan masyarakatnya. Semacam NU, peran kaum ulama Arabi Saudi kemudian menjadi pemberi legitimasi spiritual terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan. Sedangkan kaum politisi dan birokrat berfungsi sebagai perencana dan pelaksana pembangunan dan pemerintahan sehari-hari. Dengan demikian, terjadilah dikotomi "syu'riah-tanfidziah" jika kita pakai analoginya dengan NU di Indonesia. Tapi Islam Iran memberikan wajah lain. Agama adalah keseluruhan kehidupan. Revolusi Iran - yang menumbangkan mitos bahwa hanya komunis yang mampu menggerakkan revolusi di abad ke-20 meletakkan kaum ulama pada posisi strategis, baik dalam dunia politik maupun pemerintahan. Sampai di sini, dikotomi "syu'riah-tanfidziah" tidak ditemukan. Masalah yang menarik adalah, mampukah corak keagamaan seperti itu nanti memelihara semangat kritisnya, kali ini justru terhadap kekuasaan yang baru dibangunnya sendiri. Di Mesir soalnya lain lagi. Dua kelompok paham keagamaan berdiri dalam dua pola yan ekstrem dan tidak bisa dipertemukan. Kelompok pertama diwakili ulama Al-Azhar. Sepanjang sejarah, Al-Azhar memang tidak jemu-jemu mengeluarkan fatwa untuk selalu patuh kepada penguasa. Lembaga pendidikan tinggi agama yang didirikan Bani Fatimiah tahun 1972 ini selalu mengintegrasikan kepada kekuasaan elite yang bertahta. Tidak peduli dari mana dan siapa pun. Dalam tahun 1798, ketika Mesir di bawah Prancis, ulama Al-Azhar berseru "Kita berlindung kepada Tuhan dari aneka ragam fitnah (fitan) dan kita mohonkan kepada-Nya untuk melenyapkan orang-orang yang menyebarkan kemurkaan di muka bumi serta merusakkan hubungan baik rakyat Mesir denan tentara Prancis." Ketika giliran Inggris yang berkuasa, ulama Al-Azhar pun berbuat yang sama. Juga waktu Sadat berkuasa dan berdamai dengan Israel. Kelompok kedua tidak kalah hebatnya. Mulai dari tokoh dan kalangan revolusioner yang konseptual sampai pada kelompok revolusioner yang awut-awutan. Kelompok ini memberikan citra yang bertentangan dengan kaum ulama Al-Azhar, meskipun sama-sama menekankan utamanya al-asala (kemurnian ajaran Islam) dan menolak al-mabadi al-mustawrada (doktrin impor). Bedanya, yang kelompok kedua meletakkan Islam sebagai blueprint untuk segala aspek kehidupan. Pandangan keagamaannya mengenai politik dan kekuasaan tidak bias pada kehendak penguasa, seperti yang dilakukan kelompok pertama. Tesis mereka, sejauh pemerintah tidak menelurkan kebijaksanaan yang sesuai dengan corak keislamannya, konsep al-nizam al-jahili atau darl harb tetap relevan dikenakan untuk pemerintah. Dari sinilah kita menyaksikan lahirnya kelompok al-Ihwan al-Muslimun. Suatu kelompok yang secara terus-menerus berusaha mengguncangkan struktur kekuasaan di Mesir. Logika keislaman mereka membenarkan tindakan pengguncangan itu. Bahkan, sejauh yang dapat direkam dari pengadilan Sayyid Quthb tahun 1966 - tokoh kedua setelah Hasan Al-Banna yang terbunuh tahun 1949 tindakan-tindakan kekerasan yang bagaimanapun bisa dibenarkan. Ideologi radikalisme Islam inilah yang secara terus-menerus menjaga api gerakan al-Ihwan al-Muslimun. Hanya satu dasawarsa setelah Sayyid Quthb, muncul pula pada tokoh muda yang karismatis, Ahmad Shukri Mustafa. Berdasarkan ideologi radikal itu ia mendirikan suatu kelompok baru, perwujudan rain dari Ai-Ihwan alMuslimun, yang tidak kalah ekslusifnya, al-Takfir wal Hijra. Di tangan merekalah Anwar Sadat dibantai. Suatu pertumpahan darah yang dahsyat yang, sayangnya, tetap mengatasnamakan Tuhan. Persis yang dilakukan ulama Al-Azhar, dalam bentuk yang sebaliknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus